10. Datang

98 20 3
                                    

Sejak kejadian sore tadi rasa kesal masih melingkupi, terasa sulit Ayunda menyingkirkan kegondokan terhadap seorang lelaki kini bersamanya. Berujung enggan, mau tidak mau Ia harus menuruti permintaan lelaki itu untuk bersandiwara. Entah macam apa peran yang akan dilakoninya, Ayunda percaya semua ini bukanlah hal baik.

Pun Ayunda sendiri meyakini sosok tak dikenalnya sama sekali tak memiliki hati nurani, selama perjalanan entah ke mana arahnya Ia sendiri dibiarkan berjalan kaki berbanding terbalik dengan sang empu duduk berpijak pada pelana kuda. Bukankah-ini suatu hal cukup sulit dipercaya!?

"Jangan melamun, sampai kau tersandung batu adalah salahmu Aku meninggalkanmu."

Nyaris seperempat hari suasana hening menyelimuti, lelaki tersebut buka suara. Perkataan terdengar formal meyakinkan Ayunda untuk segera beradaptasi dan menyesuaikan hal serupa. Hutan perlahan menggelap, disertai semburat memudar dari ujung langit menjadikan keadaan terasa mencekam.

"Bukankah salahmu membawaku kemari?"

Berkata cetus Ayunda sembari membuang muka ke arah lain, terasa sia-sia menurutnya menghabiskan waktu dengan berbicara omong kosong.

"Seharusnya kau mengerti kalau Aku sendiri tidak tahu-"

"Bukankah kalau begitu seharusnya kau meminta maaf padaku?"

Mendadak terdiam Naraka, kalimatnya yang terpotong segera ditangkas perempuan itu cepat. Ah yang benar saja, kali pertama dirinya kalah adu berargumen oleh seorang perempuan. Toh, Ia sendiri juga mewaspadai akan adanya mata-mata yang belum diketahui pasti siapa dalangnya.

Ujungnya waktu yang terjeda cukup lama oleh keheningan berakhir hingga langit menunjukkan malam, pada saat itu pula dinyalakan api dari sebatang bambu dengan bagian atas terlapisi minyak tanah.

"Pegang ini, tidak lama lagi kita sudah sampai."

Demikian Naraka berujar singkat, diserahkan obor tersebut pada Ayunda kini memandang heran. Dalam diam menahan pegal dan lelahnya badan, diterimanya pemberian lelaki tersebut tanpa sepatah kata. Orang ini.. Bukankah terlalu janggal kalau Ayunda mempercayai sebegitu mudahnya?

Pikiran buruk itu rupanya terhenti sampai di sana, tatkala seseorang tengah bersamanya itu turun dari kuda sembari diberikan sebuntel kain yang berbentuk seperti tas dikalungkan di lehernya. Sedari tadi Ayunda memaki dalam hati, sekejap menatap bingung.

"Apa?"

Bertanya ketus, adalah cara Ayunda memulai interaksi upaya meminta kejelasan dari perilaku lelaki di hadapannya yang kelewat aneh.

"Aku akan bersamamu masuk ke Desa Sriwaca, dan pada saat itu juga mereka yang menyambutmu harus kau sapa ramah. Sekaligus, tunjukkan sedikit sandiwaramu bahwa kau salah satu korban yang selamat dari Desa Waya."

"Memangnya.. Sudah sampai?"

Ayunda melontar tanya, menjadi sebab sang empu berdiri di hadapan juatru sedikit menyingkir. Jauh dari kedua kaki berdiri dapat terlihat nyalanya api tampak mencolok di kegelapan malam, bagai sebuah titik dapat terlihat jika dipandang jeli sekali pun tampak remang. Entah kalau pada akhirnya Ayunda mengikuti permainan lelaki itu, akankah Ia bisa kembali ke dunianya seperti semula?

"Bagaimana denganmu? Kau yang memberiku ide akan semua ini, baik sekarang atau kedepannya bukankah Aku terus bergantung padamu?"

Berdeham Naraka menetralkan suara, tatapan mata kelewat tajam diarahkan menatap atas yang rupanya terdapat burung hantu bertengger di antara dahan. Seakan sedang berpikir, bibir tipis itu sejenak terlipat ke dalam.

Lingkaran TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang