Aroma sabun mandi merebak ke seluruh penjuru ruang tamu, Ayunda yang baru menuruni tangga segera berjalan cepat tatkala melihat Wisnu tengah memakai sepatu. Di hari Minggu cerah, alangkah baiknya Ia mengenakan kaos merah lengan pendek dipadu celana kulot jeans. Demikian dipakainya helm persetan rambut masihlah basah, tak peduli akan apek nantinya ketika tahu sang paman terburu-buru dikejar waktu.
"Om! Tungguin! Ini Yunda mau pake sepatu! Tunggu!"
Suara mesin motor, kian menambah rasa panik untuk bergegas cepat. Diambil tas selempang tergeletak di atas meja, lantas mendudukkan diri di jok motor belakang. Jangan tanya mengapa Om Wisnu berangkat jadi hari Minggu, kalau bukan Ayunda sendiri yang meminta tidak akan pamannya itu enggan dan segera pergi kembali ke kampung.
Selama perjalanan menuju terminal bus, Ayunda melihat sepinya jalan raya. Umumnya, pada hari Senin sampai Jum'at akan banyak kontainer serta mobil box yang berbaris panjang hingga di ujung pintu pelabuhan sana. Kalau bukan Ia sendiri merasa takut akan Rendi menikung jalan sana-sini, tidak akan memaksa Wisnu untuk tidak berangkat. Entah ada apa hati terus merasa gundah gulana, perasaan was-was mulai melingkupi bahwa ada suatu hal yang tak beres.
"Om—"
Ingin Ayunda membuka mulut, segera diurungkan. Omnya sedang fokus menyetir, sepantasnya tak berbicara tentang kegelisahannya semakin menjadi-jadi.
Di Terminal Tanjung Priok, Om Wisnu menuruni satu tas hitam besar yang diletakkan di tengah kaki. Merasa bersyukur Ayunda membeli motor matic, tidak terlalu menyusahkan untuknya membawa barang seperti yang dibawa sahabat Ayahnya ini.
"Sekarang kamu pulang sendiri, berani 'kan? Hati-hati, jangan meleng. Tali helmnya dipasang, pegang stang motor yang benar. Jangan sampai Ayahmu di rumah ketar-ketir nunggu."
Ayunda hanya mampu melenggut mengiyakan.
"Iya, tenang aja. Tapi tolong ya Om, kalau sudah sampai rumah di foto juga hasil lukisan karya Om Wisnu. Pengen Aku simpen terus dijadiin wallpaper, nggak apa-apa kan?"
Wisnu tersenyum, menggeleng-geleng kepala saat tahu sepenasaran itu Ayunda upaya melihat karya yang dibuatnya. Jika pun begitu, tentu Ia takkan bisa menolak.
"Santai, Om kirim langsung jepretan foto itu ke kamu. Nggak harus lewat foto, atau Om yang perlu datang ke sini. Kalau Om sempet, ada waktu luang, bakal dikirim satu lukisan spesial buat Ayunda."
Garis lengkung di bibir, sebagai tanda Ia senang bukan kepalang. Di hari Minggu rupanya ada hal membuat hati gembira menjadi sebab mood-nya kian membaik. Tak ada hal lain yang bisa Ayunda sanggah dari perkataan lawan bicara, jika sang empunya sudah berkata demikian. Apa yang bisa Ia lakukan selain mengangguk dan cukup mengatakan 'ya' saja?
"Ya, Ayunda tunggu ya."
Setelah itu, ditatapnya sang paman mulai menjauh menuju agen bis dengan tangan kiri tergenggam tali tas berukuran cukup besar. Om Wisnu, Ayunda tak pernah membayangkan kalau beliau akan datang kemari tanpa rencana jauh-jauh hari. Tapi biarlah, dirinya sendiri cukup dibuat senang akan kepulangannya. Mengisi hari-hari Ia bersama Ayahnya yang dirasa lumayan hampa.
"Nggak apa-apa kalau nggak bawa buah tangan, seenggaknya Om Wisnu juga masih inget Ayah."
Demikian Ayunda berucap pada dirinya sendiri, yang disibukan kembali untuk segera kembali ke rumah.
~•••~
Suasana sangatlah cerah, jalanan cukup sepi untuk dilalui banyak orang. Baru saja kedua kaki berpijak di depan pintu pagar rumah, berinisiatif Tarno menyebrang jalan. Pikirnya, sangat bagus memulai hari dengan olahraga pagi di sekitar rumah di hari libur. Sembari menunggu putrinya urung kembali, adalah salah satu cara upaya mengurangi kekhawatirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lingkaran Takdir
AdventureDi pagi hari, semua dikagetkan oleh seorang lelaki berpakaian seperti prajurit kerajaan kuno melintas di jalan lingkungan dengan kuda hitamnya. Pak Tarno yang sedang membersihkan keris termangu kaget, bersamaan anaknya Sri Ayunda membuka lebar mulut...