12. Bocah Lelaki

139 23 3
                                    

Kepergian Naraka dan Ki Hunta beberapa waktu lalu membuat suasana terasa agak berbeda, terlebih Simbok Warta kembali dengan kesibukannya membuat Ayunda mau tak mau mengikuti sang pemilik rumah kini terduduk anteng sembari memarut kelapa.

Eh? Bahkan parutan tengah dipegang beliau tidak jauh berbeda bentuknya dengan parutan kayu kelapa di rumahnya. Kira-kira, tahun berapa Ia menginjakkan kaki pada zaman ini?

"Bagaimana kau bisa tersesat? Kalau bukan dari Kerajaan Gantra, benarkah dirimu berasal dari Kerajaan Waha?"

Kalimat pertanyaan Simbok Warta terlontar begitu saja, Ia sendiri tengah berdiri di tengah ruang hanya meneguk saliva kasar. Pandangan semula tanpa beban, justru terasa berat sekedar memandang wajah wanita paruh baya tersebut di hadapan. Ayunda harus menjawab apa? Bagaimana bisa Ia mulai mengarang cerita tanpa mengetahui seluk-beluk segala hal di sini?

"Kenapa? Kau gugup? Kau tidak perlu berpikiran dangkal, hanya karena kau rakyat dari Kerajaan Waha bukan berarti Aku akan merendahkan dan mengintimidasimu. Semua itu tidaklah berkaitan, hanya orang-orang pemerintahan yang melakukan. Lebih dari itu, rakyat apa pun tidak termasuk."

Begitu halus dan pelan wanita di depannya ini berujar, kalemnya beliau saat berbicara sekejap membuatnya terpana. Belum pernah Ayunda sendiri menemui seseorang seanggun ini dalam bertutur, bahkan tata kata yang terlontar meski terdengar tajam Ia jelas tahu bahwa Simbok Warta bukanlah orang seperti itu.

Beliau ini hanya mengungkapkan tidak seharusnya Ia takut untuk berkata jujur.

Lantas, memberanikan diri Ayunda melangkah. Lebih dekat jarak sampai-sampai Ia sendiri berjongkok tepat di samping Simbok Swarta. Aroma harum begitu semerbak, menambah ketenangan diri menjadi rileks. Demikian kedua netra menatap asbak berukuran kecil, ada sepantek api membakar sesuatu berbentuk tumpeng di atas meja kecil tidak jauh dari posisi.

Ah, rupanya aroma itu berasal dari sana.

Kembali fokus, mencoba Ayunda menjawab.

"A-aku bertemu dengan Naraka di Hutan. Pu—pun itu sebenarnya bukanlah untuk pertama kalinya, kami pernah bertemu—ketika—"

"Bersandiwara, tentu saja. Kau akan menjadi telinga untukku dengan wajah polosmu itu."

Ah, kalimat pria itu terngiang. Apakah Ayunda juga harus melakukannya di depan Simbok Warta?

Kalimat sempat terjeda, tak lama Ia melanjutkan.

"Ketika keadaan kacau balau. Aku tidak ingat nama tempatnya, yang jelas dia menuduhku bahwa Aku adalah mata-mata Kerajaan Waha. Padahal—"

"Padahal?"

Tangan kanan Simbok Warta tengah memarut mendadak berhenti, lantas kedua matanya beralih menatap Ayunda. Seakan memperhatikan raut wajah yang saat ini sudah pucat pasi.

"Padahal—Aku juga tidak tahu ada apa di sana. Berniat mencari jalan keluar dari jalan tikus, justru malah membawaku ke tempat membahayakan seperti itu."

Simbok Warta tampak berpikir, netranya memandang ubin tampak lebih menarik dibanding dirinya.

"Kau ada di sana saat pasukan Kerajaan Waha menyerang Desa Waya? Bagaimana kau bisa lari setelahnya? Ketika di malam hari itu juga desa Waya sudah dilahap api sampai hangus tak tersisa."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lingkaran TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang