Bau daging terbakar, cukup membuat Naraka mual mengingat yang dipeluknya adalah daging manusia. Tetapi saat ini harus Ia lakukan demi mengambil kepercayaan mereka, meyakini bahwa Naraka merupakan seorang kakak di antara salah satu warga Desa Waya yang sebagian besar sudah tak bernyawa. Persetan tubuh teramat lengket akan keringat justru terkena getih, bersamaan itu perasaannya hancur lebur mengetahui hanya sedikit yang bisa diselamatkan. Salahnya memang, beberapa hari lalu Naraka hilang bak ditelan bumi oleh persoalan sama sekali tak bisa dimengerti. Nyaris melupakan akan tugasnya yang masih diemban, membiarkan mereka sengsara dari serangan Kerajaan Waha.
"Tuan, sebaiknya adik Tuan segera dibawa ke ruang pemeriksaan. Kasihan kalau dibiarkan seperti ini, kami turut berdukacita atas kematiannya. Dari hal tersebut, kami akan memperabukan mereka secara massal." Tidak berselang lama, seorang paruh baya datang. Kali ini tergenggam sebuah tombak di tangan kanannya, serta luka gores melintang tercetak jelas pada bagian depan tubuh dari dada hingga perut.
Kehadirannya tentu Naraka hiraukan.
Ditatapnya kunarpa perempuan, luka bakar hampir menyelimuti seluruh permukaan kulit. Kemben yang dikenakan habis ludes tak tersisa, kepala menjadi plontos akibat rambut tak lagi ada. Wajah di sisi kanan telah rusak, diingatnya baik-baik wujudnya yang mati mengenaskan. Anak kecil ini seharusnya memiliki masa depan cerah, persetan Ia merasa bersalah pada mayat-mayat di hadapan.
Parahnya keadaan seperti ini, memaksa Naraka untuk melakukan segala cara upaya menghentikan pertikaian antar kedua negara. Atau sekiranya segala konflik diusahakan tidak menimbulkan akan terpicunya perang, apalagi penyerangan secara mendadak seperti ini. Jika tidak, semua berimbas kepada mereka yang tak bersalah.
"Apa aku boleh membawanya? Aku hanya ingin melakukannya seorang diri, mengantarkan adikku ke nirwana untuk terakhir kali."
Lantas, Naraka menolehkan kepala. Sosok yang tak pernah Ia temui selama delapan tahun saat ini muncul. Dia merupakan anak tidak sah dari Rakryan Rangga, sekaligus teman masa kecilnya yang sudah mengajarkan Naraka banyak hal. Meski usia terpaut jauh lebih tua lima belas tahun di atasnya, tentu tak menjadi masalah. Setelah Ia direkrut sebagai prajurit, tak lagi melihat batang hidung Wiksa hingga detik ini. Persetan pertemuan mereka yang dahulu akrab, seperti ada celah besar menjadikan Naraka segan mempercayai Wiksa dengan entengnya.
"Kakang?"
Naraka bergumam, jelas Ia masih hapal betul bentuk muka meski sekarang jauh lebih dewasa. Tentu tidak salah mengenali, Wiksa yang teguh akan pendiriannya membuat Naraka terkagum-kagum. Ilmu kanuragan amat tangkas dan terlatih, Ia jadikan sebagai momentum dalam menekuni hal tersebut yang senantiasa bisa berguna untuk orang banyak. Tapi jika dipertemukan pada situasi macam ini, perlu baginya berpikir ulang.
"Sejak kapan kau mulai berbohong?"
Sepasang mata sedari tadi terpaku kini mengedip, lamunan akan masa lalu cukup menganggu pada situasi tak mengenakkan. Pertanyaan baru saja terlontar, acap Naraka menjawab tanpa keraguan.
"Aku tidak berbohong, apa aku tidak boleh menganggap gadis kecil ini sebagai adikku? Kita tidak pernah bertemu, bahkan sudah lama sekali. Kakang tahu? Sekarang ini aku sedang mencari banyak kenalan, termasuk anak ini."
Penuh nada riang Ia berujar, diselengi senyum ditampakkan. Mengelabui Wiksa justru memandang sinis.
"Kalau begitu, siapa namanya? Jangan membuang-buang waktu, kehadiranmu sama saja mengangggu pekerjaanku." Wiksa membuang muka enggan.
"Eh? Pekerjaanmu? Satu-kesatuan prajurit Ibu Kota?"
"Apa tidak boleh?" Ungkapan kalimat Naraka memang murni bertanya, tetapi ditanggap salah maksud oleh Wiksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lingkaran Takdir
AdventureDi pagi hari, semua dikagetkan oleh seorang lelaki berpakaian seperti prajurit kerajaan kuno melintas di jalan lingkungan dengan kuda hitamnya. Pak Tarno yang sedang membersihkan keris termangu kaget, bersamaan anaknya Sri Ayunda membuka lebar mulut...