9. Diboyong Pergi

165 24 1
                                    

Ayunda mengangguk selepas menerima uang kembalian, kemudian berlalu keluar dari sana. Setelah membeli ayam bakar dari warung nasi padang, bergegas Ia kembali ke rumah. Pikirnya, berencana menghabiskan hari dengan menonton televisi. Tiada niat sekedar bermain dengan teman sekolah, tatapan sendu sang Ayah merasuki pikirannya seakan memperingati diri agar tak kemana-mana.

Dari kejadian tadi terasa badan dibuat lelah, sadar betul Ayunda telah melakukan suatu hal tak patut diteladani. Demi lukisan aneh itu, Ia sampai rela berbohong diselingi keringat dingin di sekujur tubuh mempermainkan detak jantung yang menggila. Lukisan aneh itu tidak ingin Ia berprasangka, bahwa yang memberikan adalah Om Wisnu.

"Yunda!"

Sesaat ingin memasuki pintu, Ayahnya berteriak memanggil. Wajah penuh kusut itu tergambar kecemasan yang menjadi-jadi, menjadi sebab Ayunda berlari dan menghampiri dengan napas terengah-engah.

"Kenapa? Ada ap-"

"Om Wisnu telfon kamu, jawab."

Pak Tarno membalas datar, diberikan ponsel sedari tadi dipegang kepada Ayunda. Demikian pria paruh baya itu kembali masuk ke dalam rumah, upaya membiarkan putrinya dapat berbicara leluasa dengan sang paman.

"Yun, kamu udah lihat apa aja?"

Pembicaraan dari seberang telpon teramat sangat Yunda tidak memahami, dipandangnya ponsel Nokia versi jadul penuh kerutan dahi. Batinnya berkata, apa yang dilihat? Pertanyaan ambigu membuatnya menggaruk kepala.

"Gi-gimana, Om? Yunda nggak ngerti sama pertanyaannya."

Seakan mengulur waktu Om Wisnu tak juga menerangkan kembali penjelasan, membuat Ayunda sudah lapar semakin mengurangi kesabaran untuk memutus panggilan. Bahkan siang hari dengan panasnya mulai terasa terik, menjadikan kedua mata menyipit tajam. Awan-awan lekas berpindah akibat dorongan angin bergerak lantam, sepoi angin menggoyangkan dedaunan tak lepas dari perhatian Ayunda.

Apa nanti sore akan hujan?

"Om! Kenapa diam aja, sih? Kenapa coba, jelasin. Aku nggak paham,"

Dari dalam rumah, Pak Tarno keluar. Tanpa memedulikan Ayunda masih berdiri di posisi yang sama hanya melempar pandang, nampaknya pun sang Ayah masih terjebak pada mood-nya urung membaik. Demikian dapat Ia ketahui tatkala beliau memegang sebuah keris favoritnya yang biasa Ayunda lihat, dengan secarik lap telah kusam warnanya dibawa menuju pos di pertigaan sana.

Eh?

"Yun, dengerin Om ya. Kalau ada orang asing atau apapun yang ngajak kamu buat pergi jangan mau! Sekali pun itu dia kenal sama Ayah kamu-tuut tut tut."

Sambungan telepon terputus.

Semakin mengacak rambut kepala Ia dihadapi dua persoalan datang silih berganti, di antaranya menghadapi Ayahnya urung lingsir dari kekalutan dan pamannya yang berbicara tidak jelas.

Berpikir masa bodoh, Ayunda lantas berbalik. Sesaat kaki menginjak batas pintu pagar, lagi-lagi derap langkah begitu khas segera Ia urungkan niat memasuki rumah. Suara derap kuda kembali terdengar di jalan raya yang lengang, sebagian orang fokus akan kegiatannya mulai teralihkan.

Mengucek mata, diri sendiri tak ingin mempercayai hal konyol. Terpedaya oleh segala sesuatu kemustahilan yang dirasakan beberapa Minggu ini, tetapi jika dilihat postur tubuh dari penunggang kuda-yang tentu tidak salah Ayunda melihat.

Kuda berwarna coklat gelap itu berlari, menuruti sang majikan sibuk memegang tali kendali. Meringik keras di teriknya panas dari matahari bersinar terang, menjadi sebab Ayunda menutup telinga dan menjatuhkan ponsel tanpa sadar.

Lingkaran TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang