Selepas Ki Hunta mempersilakan tamu masuk dan duduk, segera Naraka meminum teh hangat yang tersaji dalam sekali tenggak. Begitu kedua matanya memandang Ayunda, justru gadis itu menatap semua makanan dan minuman tergeletak di atas meja tanpa minat.
"Simbok, bisakah membawa Ayunda ke bilik kamar untuk beristirahat?"
Lantas netra beralih tatap kepada sang lawan bicara, sebuah rumah hanya dihuni oleh Ki Hunta dan Simbok Swarta cukup leluasa untuk Naraka bergerak dan berbicara. Mengetahui Ki Hunta dan Simbok Swarta adalah kakak beradik, masing-masing pasangan mereka sudah wafat lebih dahulu akibat kejadian dua puluh lima tahun lalu. Meninggalkan sisa-sisa memori pahit teramat enggan sekedar diingat.
"Tidak masalah, anakku. Akan ku rawat gadis ini dengan baik, tenang saja."
Melenggut lugas Naraka, sampai akhirnya Ayunda berdiri dari kursi dan berjalan menghampiri Simbok Swarta. Lalu keduanya berjalan melewati koridor cukup sempit yang terhubung pada ruang tengah berisikan barang-barang, tepat dua pintu berbeda salah satu diketahui Ayunda adalah kamar tidur.
Kepergian dua perempuan dari ruang tamu, ditatap oleh Naraka dengan lamat. Bahkan Ia baru menyadari betapa wajah gadis itu tampak kelelahan, merasa bersalah dirinya membiarkan dia berjalan jauhnya perjalanan. Tetapi kalau tidak begitu, bukankah Naraka tidak akan bisa mengenali karakter dan sifat Ayunda nantinya di kemudian hari?
"Jadi, Naraka. Kau sudah bergerak?"
Ki Hunta mengawali pembicaraan dengan suara pelan, posisi duduknya semula bungkuk kian tegak. Tangan kiri semula getar sembari memegang tongkat laun dilepaskan, wajah awalnya ramah berubah tegang dan serius.
"Aku tahu dosa ini tidak akan terampuni karena telah ingkar pada baginda raja, tetapi diriku sendiri juga tidak terima. Atas kematian ibu kandungmu, mendiang ratu permaisuri yang meninggal tepat setelah melahirkanmu."
Di malam itu, adalah malam di mana Naraka mengetahui kebenaran yang disembunyikan selama tiga puluh tiga tahun ini. Bicara empat mata, tanpa tahu Naraka menahan rasa geramnya dalam diam dengan mengepalkan kedua tangan.
~•••~
Mengerjap mata Ayunda.
Sekali.
Dua kali.
Langit-langit rumah tampak reot menyadarkannya bahwa Ia sendiri tidak sedang berada di rumah, dalam arti rumah yang jauh lebih baik biasa Ia tinggali bersama sang ayah. Kecemasan mulai melingkup hati, sekilas untuk ditatap akan terlihat kegundahan tercetak jelas di wajah.
Setelah Ia terbangun kembali dari lelap, urung pula keadaan kembali seperti semula. Batinnya bertanya-tanya, bagaimana ini bisa terjadi? Ayunda bahkan berpikir ini hanyalah bunga tidur.
Yang tidak hanya sekedar pindah ke dengan zaman dan budaya jauh berbeda, tetapi tampaknya Ia akan tertinggal di sini dalam waktu cukup lama.
"Bagaimana tidurmu, cah ayu? Begitu nyenyak sampai tak tega Aku membangunkanmu."
Bersamaan kokok ayam berbunyi, menegakkan badan Ayunda sambil mengucek mata. Pancaran sinar matahari belumlah terlihat, namun lebih dahulu Ia melihat Simbok Swarta sudah siap dengan pakaian telah ganti serta riasan model rambut kini berbeda.
Apa.. Mereka sudah mempersiapkan diri melakukan aktivitas di pagi buta dini hari?
Meski remang, di bilik ruangan tengah disinggahinya ini begitu jelas pada penglihatan dari penerangan dua obor diletakkan sudut-sudut ruang.
"Ah, iya. Te-terima kasih-"
"Simbok Swarta, kalau terlalu sulit panggil saja Simbok Warta. Jangan sungkan, bagaimana pun kau adalah salah satu korban dari konflik kerajaan yang sering muncul akhir-akhir ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lingkaran Takdir
AdventureDi pagi hari, semua dikagetkan oleh seorang lelaki berpakaian seperti prajurit kerajaan kuno melintas di jalan lingkungan dengan kuda hitamnya. Pak Tarno yang sedang membersihkan keris termangu kaget, bersamaan anaknya Sri Ayunda membuka lebar mulut...