4. Hutan

232 35 2
                                    

Dalam mimpi yang seakan membuatnya hampir mati, membuat Naraka segera membuka mata. Seperkian detik, kedua mata jatuh pada seorang gadis tengah tertidur pulas. Langit masihlah sore, tepat di mana matahari mulai turun dari peraduan setelah seharian bersinar. Setelah membenarkan posisi menjadi terduduk sila, Ia membatin. Pantas saja mimpi tadi adalah sesuatu yang dianggap sial, jika sore hari Ia malah terlelap dengan waktu cukup lama.

Pantang baginya, untuk tidur meski barang sejenak di saat warna semburat terlihat di ujung garis cakrawala. Naraka baru mengerti mengapa orang tua berkata ada berbagai macam pamali yang patut diingat. Nasihat orang tua memang tidak pernah salah, mereka yang berpengalaman akan asam garam kehidupan tentu tahu apa dampaknya. Sebagai seseorang baru saja bermimpi buruk, menjadi kapok Ia agar tak lagi mengulangi hal sama.

Dari diamnya, perlahan Naraka mulai berpikir dan mencerna. Nyawa baru terkumpul, sesaat mencoba memahami situasi apa yang sedang dilakukan. Namun tak lama kemudian, Ia menyadari sesuatu. Dahi mengerut heran pada suatu hal tak dimengerti. Kedua mata menjelajah seisi gubuk, yang di dalamnya terdapat berbagai alat untuk keperluan meladang. Kembali Ia menggeser arah pandang, menatap seorang gadis masih tetap di posisi sama.

Gadis ini... Bukankah gadis yang Naraka tawan kemarin? Tapi, bagaimana Ia bisa bersama dengannya? Bukankah sangat jelas Naraka sudah membawanya ke tempat kumpulan tawanan? Setelah itu kembali dirinya bertugas yakni memberi wara-wara kepada seluruh warga Desa Waya untuk segera mengungsi ke Desa Sriwaca. Lalu... Apa yang sedang terjadi sekarang?

Ia ingat betul, siang hari dirinya sibuk menunggangi kuda. Dari semua itu, tiba-tiba ada sebuah cahaya kesilauan membawanya ke tempat antah-berantah. Apakah ketika Naraka sedang menjalankan tugas, itu semua hanyalah halusinasi?

Sial, ini sesuatu yang gawat.

Demikian Naraka bangkit dari kursi, sembari diambilnya keris tergeletak di atas meja. Meski rasa pegal di punggung bukan main, tetap harus Ia hiraukan demi keselamatan warga yang merupakan bagian dari rakyat Kerajaan Gantra.

"Aduh.. Pusing banget nih kepala, astaga."

Baru saja ingin menarik pintu, gerakan Naraka terhenti. Suara erangan khas bangun tidur menjadi sebab Ia berpaling, menolehkan kepala mendapati gadis itu sudah bangun dari nyenyaknya.

"Bener deh ya, gini nih efek begadang semaleman." Ujarnya, menguap lebar sambil merenggangkan badan.

Kedua pasang mata saling bersitatap, Naraka yang terheran-heran hanya terbengong bersamaan dengan Ayunda menatap bingung. Sejenak terbesit satu pertanyaan dalam pikiran, segera Ayunda buka suara.

"Serius deh, pernah ketemu sama situ dalam mimpi sekitar seminggu lalu. Terus, kenapa sekarang ketemu lagi?"

Pertanyaan terlontar, segenap otak berpikir keras hanya bisa mengerut dahi dalam-dalam. Bahasa gadis di hadapannya ini seperti anak balita, gaya cara bicara serta tata kalimat yang acak cukup sulit untuk Naraka mengerti.

"Apa?"

Ayunda mendepas napas sabar, diselingi membenarkan posisi kedua kaki diluruskan yang sedari tadi tertekuk di kolong meja. Wajah bangun tidurnya tak bisa dipungkiri, tampak cantik alami meski ada jejak aliran sungai dari ujung bibir.

"Aku nanya, kenapa kita ketemu lagi? Sebenarnya mimpi kali ini cukup menyebalkan kalau udah ketemu situ."

Naraka menegakkan badan, pikirannya mulai berkelana, Apakah rakyat Kerajaan Waha memang memakai bahasa cukup rumit seperti ini? Tapi jika ditilik kembali, saudara dari temannya yang berasal dari Waha pun memakai bahasa yang masih bisa Naraka pahami. Apa ada pengaruh lain dari gadis itu? Kepala terbentur batu atau jalan, misalnya?

Lingkaran TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang