5. Bohong

193 31 4
                                    

Tidak terasa, dalam seminggu waktu bergulir cepat. Keberadaan Wisnu yang sementara tinggal di rumah sahabatnya, cukup memberikan suasana ceria. Terlebih Ayunda, jika mereka sedang kumpul di ruang tamu tak segan gadis itu melempar berbagai pertanyaan. Baik menyangkut lukisan, besar pendapatan yang diperoleh sebagai seorang pelukis, hingga melibatkan tentang sosok istri idamannya.

Astaga, Wisnu dibuat mati kutu oleh Ayunda yang memberi masukan panjang lebar. Bahkan Tarno pun hanya menggeleng tak peduli, yang justru melanjutkan menonton televisinya yang tertunda. Selama Ayunda berbicara, ada satu kalimat membuatnya terus terngiang.

"Kalau Yunda ya, Om. Sejauh ini Yunda masih pengen punya sosok perempuan yang bisa jadi tempat Yunda bersandar. Entah itu kapan, Yunda juga mau merasakan apa yang orang lain punya. Jadi, itu kenapa Om Wisnu harus nyari calon istri yang bisa deket sama Yunda. Asal calon istri om bisa deketin aku, bakal aku beri restu."

Secara tersirat, Ayunda mengungkap isi hatinya. Akan kerinduan dari sesosok ibu, yang mana sahabatnya itu masih tak mampu mendapatkan wanita lain untuk Yunda. Sebagai gantinya, Wisnu lah yang harus mencari seorang istri dengan kriteria yang bisa mengambil hati anak itu. Tak habis pikir Ia, pelampiasan Ayunda menuntutnya untuk segera menikah. Tarno selaku ayahnya tak juga merasa tersinggung apa yang dilontarkan Yuyun, jelas pria itu terlalu kebal hatinya bahkan tidak bisa merasakan arti kalimat Ayunda bahwa Ia ingin mempunyai seorang Ibu.

"Siapa yang pernah dekat sama Om, sebelumnya? Aku pengen ketemu barangkali bisa berjodoh sama Om Wisnu. Asal mempelai wanitanya masih berstatus lajang, ya Om."

Demikian Wisnu mengangguk pelan, mendepas pasrah.

"Sudah lama sekali, Yun. Om juga sudah lupa, waktu itu pernah naksir tapi Om nggak berani ngungkapin. Lagian, waktu itu, masih jaman sekolah. Males rasanya, kalau dunia pendidikan diisi genre cinta-cintaan."

Sri Ayunda terkikik geli, sepanjang ngobrol dengan Om Wisnu lekas membuat mood-nya membaik. Di hari Jum'at malam seperti ini, akan menjadi momen yang dikenangnya menghabiskan waktu dengan keluarga yang Ayunda sayang.

"Ngomong-ngomong, Om Wisnu berangkat ke Jawa lagi, kapan? Aku mau anter Om juga ke terminal."

Tarno melirik putrinya, tengah berbincang asik dengan Wisnu. Seutas senyum timbul, Ayunda akan selalu lengket berdekatan dengan Wisnu ketimbang Ia sebagai seorang Ayah. Tetapi hal tersebut tak menjadi masalah, jika Tarno sendiri meyakini bahwa anak itu menyayangi dirinya lebih dari siapa pun.

"Besok. Kamu nggak usah ikut, Yun. Biar Ayah saja yang antar. "

Memasang wajah cemberut, Ayunda bersidekap.

"Nggak gitu. Masalahnya Yunda sendiri jarang ketemu, nggak asik ah. Om Wisnu sendiri aja nggak tau kapan mau ke sini lagi."

Merasa tidak tega, Tarno menghela napas. Menggeleng sabar mengahadapi sikap Ayunda keras kepala, yang bersikeras mengantarkan Wisnu ke terminal bus. Lantas, kedua mata melirik ke arah Wisnu. Pria tersebut hanya terkikik geli tanpa suara, menjadi guyonan baginya ketika tahu Tarno merasa gondok dan sebal bahwa putrinya berusaha mengantarkan Ia ke terminal. Sekali pun sahabatnya itu tak memperbolehkan, nyatanya Ayunda kekeuh untuk mengantar.

Besok adalah hari Sab'tu, ada niat tersembunyi di balik datangnya Wisnu kemari. Adalah Ia mencoba membuka portal dimensi waktu, dengan Tarno membersihkan keris pada kegiatannya yang dilakukan Sab'tu pagi. Ia mengklaim bahwa tak ingin berbuat sesuatu atau hal-hal tak baik, hanya saja Wisnu penasaran. Ada sesuatu hal ganjil dari salah satu keris Tarno punya, salah satu keris yang pernah diikutkan dalam menjalankan ritual belasan waktu silam. Keris itu tentu ada hubungannya dengan lukisan yang pernah Ia buat, entah apa relasinya masih terus Wisnu mencari.

Lingkaran TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang