13 : Kainer

1.3K 123 7
                                    

Malam itu, hujan turun dengan derasnya. Sesekali, petir menyambar tanah dengan begitu hebat. Suasana mencekam itu, seolah mengikuti suasana hati Kainer saat ini. Vampir dengan kemampuan berpedang di atas rata-rata itu, kini sedang berjalan menuju kamar tempat tunangannya berada.

Dengan perasaan kacau, sedih, dan marah, Kainer masuk ke dalam ruangan Sophia. Tangannya menyeret pedang perak kebanggaannya, namun wajahnya muram dan terus mengarah ke lantai.

Tak seperti biasanya, pria itu bukan menyeret pedang karena baru saja memenggal kepala musuh, namun menyeret pedang karena tak sanggup menuruti keinginan Count Justin.

Kainer menghentikan langkah. Dilihatnya Sophia yang sedang duduk bersimpuh sambil termenung di lantai saat ini. Wajar. Wanita manis itu baru saja kehilangan ibu asuhnya, tentu saja ia amat bersedih hati.

Namun, lebih dari Sophia yang sedang dirudung duka, Kainer lebih sedih lagi karena harus kembali menyakiti wanita tercintanya. Sepanjang jalan, pria itu bahkan tak henti mengutuk dirinya sendiri.

Dengan penuh kehati-hatian, Kainer meletakkan pedangnya di atas sebuah sofa di ruangan itu. Pria jangkung itu tengah berusaha untuk tidak mengejutkan tunangannya yang masih diam termenung di lantai.

"Sayang," panggil Kainer pelan.

Sophia menoleh, kemudian bangkit dan berjalan ke arah Kainer. Matanya sembab, menandakan bahwa ia menghabiskan waktu untuk menangisi Anna sejak Kainer pergi.

Kainer memandang Sophia dengan rasa bersalah, kemudian bertanya, "Boleh minta pelukan, Sophia?".

"Kau tidak perlu meminta untuk itu," jawab Sophia sambil menghamburkan diri menuju tubuh Kainer.

Kedua tangan besar Kainer melingkar di pinggang Sophia. Wajahnya juga bersembunyi di tulang selangka tunangannya, tengah menghirup dalam-dalam bau wanita kesayangannya. Perlahan, tangan Kanan Kainer naik ke pucuk kepala Sophia. Tangan kekar itu mengusap lembut kepala Sophia, membuat sang empunya merasa aman dan nyaman.

"Padahal, yang harusnya butuh pelukan adalah dirimu. Yang sedang berduka itu dirimu, yang kurenggut kebahagiaannya itu dirimu, tapi dengan sangat tak tahu diri, aku malah datang dan meminta kau memelukku." Kainer mempererat pelukannya. "Jika aku tahu akhirnya akan jadi seperti ini, lebih baik kau tidak pernah bertemu denganku, Sophia. Hidupmu pasti akan lebih baik," lanjutnya.

Kainer memejamkan matanya. Sejujurnya, pria dengan mata kuning menyala itu tidak ingin mengatakan hal itu sebab bertemu dan memiliki Sophia adalah suatu kebanggaan baginya, namun sebagai seorang pria dewasa, Kainer tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa disini, dirinya lah yang salah.

Dirinya yang dengan sadar melibatkan Sophia dalam misinya, dirinya yang berambisi ingin memiliki Sophia, namun enggan melepas amanat dari ayahnya, dan dirinya juga yang sekarang tengah bersikap 'sok bisa' atas semua yang tengah terjadi. Bahkan pria itu enggan mengirimkan surat atau isyarat kepada Sang ayah di Ibu kota tentang kondisi mereka saat ini.

Pria itu selalu merasa bisa mengatasi semua masalahnya seorang diri, enggan meminta pertolongan, juga enggan mengalah. Kainer sadar betul kesalahannya itu, namun kembali lagi, dia masih saja bersikap 'sok bisa'.

"Bertemu denganmu adalah suatu keberuntungan, Kainer. Aku tidak ak-"

"Sophia, aku yang beruntung memilikimu di kehidupan ini! Kau tidak tahu betapa aku amat sangat mensyukuri pertemuan kita setiap harinya, Sayang," sela Kainer sambil menangkup kedua pipi Sophia.

"Lalu mengapa kau menyesal?"

"Aku tidak menyesalinya, Sophia. Aku hanya tidak rela jika kau harus terus berkorban jika bersamaku"

KAINER [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang