4 : Janji

1.6K 153 1
                                        

Angin berdesir, membelai surai cokelat terang gadis yang saat ini duduk bersandar di bawah sebuah pohon rindang. Matanya terpejam, menikmati suasana tenang di sekitarnya. Bibirnya tersenyum ketika telinganya mendengar suara gesekan daun. Dia hanyut dalam suasana itu.

Meski wajahnya menunjukkan rasa damai, namun tidak dengan hati dan pikirannya. Tindakan Kainer menimbulkan rasa tanya besar di kepalanya. Membuatnya berpikir ini dan itu. Menduga-duga segala kemungkinan, mengapa sang tunangan bersikap seperti itu. Terlebih, Sophia adalah seorang pemikir yang berlebihan.

Apa dia malu karena aku tidak cukup cantik? Atau karena aku tidak menguasai etiket bangsawan?

Sudah 3 hari Kainer pergi dari mansion Duke Anantram. Katanya, ingin menyelesaikan pekerjaannya. Dia meninggalkan Sophia tepat setelah berbicara 4 mata dengan ayahnya, bahkan tanpa menemui Sophia.

Hubungan yang Sophia pikir akan dekat, justru terasa jauh. Bahkan gadis itu seolah tidak bisa melihat kemungkinan dalam hubungan ini. Membuatnya bersedih setiap malam.

Sophia sedih karena ekspektasinya yang terlalu tinggi. Berpikir bahwa Kainer tidak akan pernah jauh darinya barang sedetik, tidak akan pernah mengabaikan Sophia, sesuai penuturan Anna, tapi nyatanya tidak.

Anna juga belum tiba di ibu kota, membuat gadis itu semakin merasa kesepian. Namun, tetap, dia senang setidaknya bisa keluar dari penjara Marquess Julian. Bisa menghirup udara bebas adalah impiannya sejak lama.

“Nona, Duke Anantram meminta anda makan siang bersamanya satu jam lagi.” Kepala pelayan membungkuk hormat di hadapan Sophia. Dia kemudian membenarkan posisi kacamata emasnya dan berbalik untuk meninggalkan Sophia.

“Astaga…” Sophia bergegas bangkit. Wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut.

Jujur, wanita itu masih canggung saat berada di dekat Duke.

Canggung, namun tidak menghindar.

Gadis dengan surai cokelat terang ini selalu berusaha menarik perhatian calon mertuanya itu. Mengirimkannya makanan buatannya sendiri, juga mempelajari kebiasaan keluarga Anantram lewat cerita kepala pelayan.

Gadis itu berinisiatif agar diterima oleh Duke. Tak heran jika gadis itu terkejut saat mendadak diajak makan siang. Itu atinya, semua usaha yang ia lakukan tidak sia-sia.


*****

“Duduk,” ujar Duke pada calon menantunya.

Sophia mengulas senyum simpul, kemudian duduk di salah satu kursi yang mengitari meja panjang di ruangan itu. Jantungnya berdebar tak karuan. Takut jika ia tanpa sadar melakukan kesalahan.

“Sophia, aku sudah memakan pie buatanmu kemarin.” Duke mengangkat gelas kosong di tangannya, berisyarat bahwa ingin gelas itu diisi oleh pelayan yang ada di sana. “Itu sangat enak. Kau cukup berbakat dalam memasak”.

Pelayan yang berada disana langsung menuangkan darah di gelas yang dipegang Duke hingga gelas itu terisi setengah.

Duke meneguknya sedikit. Sopan. Elegan. Sebagaimana bangsawan biasanya.

“Terima kasih, Tuan Duke”

Keduanya saling melempar senyum, kemudian saling diam. Makan dalam keheningan dalam waktu yang cukup lama.

Kini, hidangan penutup tersaji di piring keduanya. Sepotong puding cantik berwarna ungu muda, dengan hiasan berupa kelopak bunga yang wanginya meningkatkan selera.

Itu adalah makanan tercantik yang pernah di lihat oleh Sophia. puding itu bahkan membuat matanya berbinar kagum.

“Ayo, makanlah, Sophia,” ujar Duke penuh senyum saat menyadari Sophia melongo memandang puding di hadapannya. “Kau tidak perlu malu disini, ini juga akan menjadi rumahmu”.

Sophia menunduk. Senyum manis terkembang di bibirnya saat ini.

“Kau juga tidak perlu segan kepadaku. Kau bahkan bisa memanggilku dengan sebutan ayah… Aku selalu ingin punya anak perempuan.” Duke terkekeh di akhir kalimatnya.

“Baik, Ayah”

“Satu lagi, Sophia. Aku ingin kau berjanji sesuatu padaku, Nak”

Duke memasang air muka serius, membuat Sophia memajukan tubuhnya. Tanda tertarik dengan topik yang akan Duke bahas.

“Aku ingin kau terus berada di samping Kainer. Menegurnya ketika dia melakukan kesalahan. Mendampinginya dalam setiap tindakan yang ia ambil. Bersedia mengorbankan segalanya demi kepentingannya… Bagaimana, Sophia, sanggupkah kau berjanji hal itu padaku?”

Sophia tertegun. Kepalanya sedang mencerna perkataan Duke dengan baik.

“Sophia?”

Suara Duke membuyarkan lamunan Sophia. Gadis itu buru-buru mengerjapkan kedua matanya. “Ah, saya bersedia, Ayah. Saya tidak akan pernah meninggalkan Kainer. Saya berjanji”

“Terima kasih…”

Sophia tersenyum tipis. Membatin, bahwa dia akan terus berada di sisi tunangannya apa pun yang terjadi. Akan selalu mendukungnya sebagai seorang pasangan. Akan memenuhi janjinya pada sang mertua.

Meski tidak tahu bagaimana isi hati Kainer yang sebenarnya, yang jelas Sophia menaruh harap besar pada tunangannya itu. Pada cinta pertamanya. Pada pria yang membawanya keluar dari penjara ayahnya.


*****
D

i tengah malam, Sophia terjaga dari tidurnya. Gadis itu bangkit dan segera berjalan menuju pintu kamarnya. Membuka pintu dengan segera, sesuai perintah seseorang di balik pintu itu.

“Kainer?” tanya Sophia pelan, bahkan saking pelannya itu sampai terdengar seperti bisikan.

Kainer mengangguk, kemudian masuk ke kamar itu tanpa sepatah kata. Tindakannya jelas membuat Sophia terkejut.

Sophia menoleh ke kanan kiri, memastikan bahwa tidak ada orang yang mengetahui bahwa Kainer masuk ke kamarnya di tengah malam. Gadis bersurai cokelat itu kemudian menutup pintu kamarnya dengan sangat berhati-hati. Takut menimbulkan suara yang akan menimbulkan kebisingan.

“Anda sudah pulang? Kapan anda tiba?” tanya Sophia masih dengan suara yang amat pelan.

Kainer duduk di atas ranjang yang tadi ditiduri Sophia. “Baru saja”.

Jujur, jantung Sophia sekarang sudah gaduh. Matanya berbinar memandang wajah pria itu. Dia merasa menemukan titik terang dari rasa kesepiannya selama 3 hari ini. Sangat rindu!

“Kenapa anda datang ke kamar saya di tengah malam? Apa Anda perlu sesuatu? Anda ingin apa? Saya akan menyiapkan segalanya dengan segera”

Mata Kainer menyipit. Dia kemudian menoleh ke sekitarnya. Selanjutnya, menatap mata Sophia. “Tidakkah kepala pelayan mengatakan bahwa ini adalah kamarku?”

Kini giliran Sophia yang menyipitkan mata. Ia terkejut, namun masih bicara dengan suara yang amat pelan. “Kamar anda?!”

Kainer mengangguk.

“Jadi, saya salah kamar?” tanya Sophia sambil menunjuk dirinya sendiri.

Kainer menghela napas panjang. Dia kemudian melepaskan sepatunya. Setelah itu, matanya memandang Sophia lembut.

“Sophia, tidakkah kau tahu bahwa wajar bagi sepasang tunangan tidur Bersama?”

Mata Sophia melotot. Fakta yang keluar dari bibir Kainer barusan membuat napasnya seakan tercekat. Kaget. Bahkan, gadis bersurai cokelat terang ini mundur beberapa langkah secara spontan.

“Aku tidak datang kemari untuk itu, Sophia Zoe Magnolia…” Kainer memijat pelipisnya, kemudian menghela napas pelan. “Percayalah, aku hanya lelah. Aku ingin istirahat".

Suara Kainer mulai berat dan serak. Dia juga menguap. Menunjukkan bahwa dia tidak berbohong.

"Para bangsawan gila itu membuat kepalaku sakit," gumam Kainer, lalu mendesah di akhir kalimatnya.

Kainer langsung berbaring di kasur. Memejamkan matanya. Tidak mengacuhkan Sophia yang kini dilanda gugup hebat.

Dengan perasaan takut, Sophia membaringkan tubuhnya di sisi lain kasur itu. Jujur, dia amat senang saat ini. Berada dekat dengan Kainer membuatnya merasa bahagia.

Mata Sophia memandangi punggung Kainer.

Gadis bersurai cokelat terang itu merasa bahwa punggung Kainer sangat kuat. Kekar. Melihatnya saja, membuat Sophia merasa tenang. Merasa Aman.

Sayangnya, rasa aman itu tak cukup untuk membuatnya tidur. Debaran jantungnya memaksa Sophia terjaga sepanjang malam.

Gadis itu berusaha sekuat tenaga untuk tidur, namun nihil. Matanya benar-benar tidak mau terpejam hingga cahaya mentari masuk melalui jendela kamarnya dan Kainer. Menyinari wajahnya yang terlihat lesu karena begadang.

“Aku harus segera bersiap,” lirih Sophia sambil bergegas bangkit. Tidak ingin sang tunangan melihatnya dalam keadaan berantakan seperti sekarang.

Setelah bangkit dari tidurnya, Sophia meregangkan tubuhnya yang kaku semalaman. Dia berulang kali medesah, merasakan sendi-sendinya yang pegal.

Di tengah-tengah Sophia yang melakukan peregangan, Kainer bangun dari tidurnya. Dia mendudukkan tubuhnya dan memandang Sophia dengan mata khas orang bangun tidur, sayu.

Mungkin, pria jangkung itu terusik dengan suara peregangan Sophia.

Sophia yang baru tersadar akan sorot mata Kainer langsung memelototkan mata. “Maaf, apa anda terbangun karena suara saya?”

Kainer tersenyum tipis sambil memejamkan matanya. “Suaramu adalah hal pertama yang aku dengar hari ini. Itu hal yang bagus”.

Sophia mengerjapkan mata. Tidak percaya akan apa yang ia dengar barusan. “Maaf?”

“Sudahlah…”

Sophia buru-buru mengalihkan pandangannya dari Kainer. Berusaha menghindari kontak mata dengan pria berstatus tunangannya itu. Takut jika ia akan hanyut dalam mata kuning Kainer yang dalam.

“Ah, Sophia. Pagi ini, aku harus pergi ke kediaman William. Ada urusan yang harus aku selesaikan disana. Ikutlah bersamaku. Sepulang dari sana, kita akan keliling ibu kota... Ini adalah bentuk permohonan maaf karena pergi tanpa mengatakan apa pun 4 hari lalu”

.
.
.
[Sampai jumpa di hari rabu🙋]

KAINER [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang