.
.
.
.
."Semestamu itu aku"
Jeno dapat dengan percaya diri mengatakan hal itu pada Mark, tapi itu dulu. Kini gadis itu tak lagi punya muka untuk bersitatap dengan pria yang berstatus sebagai kekasihnya.
Setelah memutuskan untuk kabur, malam itu Jeno mengecek saldo rekening nya yang masih penuh dengan uang kiriman dari Mark, memutuskan untuk mengirim kembali semua uang yang selama ini diberikan secara sukarela hanya untuk biaya kuliahnya.
Mark rela memberikan apapun, asal jeno bahagia dan tetap bersamanya. Gadisnya itu lebih berharga dibandingkan dengan uang ataupun semua benda berharga di dunia,
Namun Jeno tidak pernah merasa demikian, sifat rendah diri yang telah dipupuk oleh dirinya sendiri sejak dini membuatnya tak pernah merasa pantas bersanding disebelah Mark. Satu hal terbaik yang selalu ia usahakan adalah agar pendidikan nya dapat tetap berjalan, agar status sosialnya tidak lagi dipandang rendah.
Ia prestise dirinya sendiri bisa meningkat, supaya dia tak lagi merasa malu dan takut saat berada di sisi Mark. Akan pandangan miring orang lain yang menentang keduanya, bahkan kedua orang tua mereka.
"Drrt"
Mata sembabnya menatap nanar ponsel, sebuah panggilan dari salah satu dosen di fakultasnya ia terima dengan satu helaan nafas panjang.
"Halo?"
"Selamat malam Jeno, saya ingin memberikan satu bantuan ke kamu. Sebagaimana yang saya lihat, kamu adalah murid berprestasi yang sangat berjasa bagi fakultas kita. Melihat bagaimana kamu di drop out dengan alasan yang tidak jelas seperti itu membuat saya ikut marah dan kecewa dengan putusan rektor, maukah kamu ikut saya pindah ke SNU? Mereka punya kuota untuk jalur beasiswa, kamu harus melanjutkan cita-citamu menjadi seorang dokter, Jeno"
Setetes air mata lolos dari pelupuk mata Jeno, tangan gadis itu bergetar dan hanya bisa mengucapkan berkali-kali terimakasih pada sang dosen.
Ia menutup telepon sambil menangis bahagia, ditengah kondisi hidupnya yang sulit seperti ini, Tuhan masih berpihak padanya, memberikan pertolongan yang sama sekali tidak pernah ia duga.
Harapan itu nyata, dan Jeno percaya Tuhan baik bagi setiap anak-anakNya. Walaupun waktuNya tidak selalu tepat untuk kita, dan setiap jalan-jalan yang harus kita tempuh tidak selalu lurus, tapi di akhir kita akan melihat pelangi.
Setelah mengisi perut di minimarket terdekat, ia membawa pulang satu paket katsu untuk sang ayah. Di tepi persimpangan jalan rumahnya, Jeno melihat seorang gadis dengan pakaian branded berjalan mendekatinya dengan tatapan benci.
Berniat untuk tidak mencari masalah, Jeno itu sengaja berjalan cepat. Tapi tangan nya dicekal oleh sang gadis, ia menampakan senyuman lebarnya kearah Jeno.
KAMU SEDANG MEMBACA
We're Never Meant To Be
Teen FictionHidup ini diibaratkan dengan cerita yang tertulis dalam sebuah buku, yang jika tidak dibuka maka tidak akan kita ketahui kisah yang berada didalam nya. Terkadang kisah yang tertulis dalam sebuah buku tidak selalu berakhir indah, seperti yang selama...