ihn wieder treffen

163 22 3
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.

"Jangan terlalu berharap jika kamu tak ingin kecewa. Terkadang mereka yang pernah sangat peduli bisa berubah dalam sekejap saja."

Setiap kutipan hidup bernada pedih, namun itulah kenyataan. Bagaimana semua orang harus bertarung dengan hidupnya sendiri, menghadapi angin dan badai yang melanda, hingga akhirnya bisa kuat dan tahan terhadap segala musim hidup.

Sekarang disinilah Jeno berada, luntang lantung di Kota Seoul yang besar dengan membawa tas punggung yang berisi baju. Tak ada yang spesial, hanya uang tak seberapa banyak sudah dipersiapkan nya selama tugas di rumah sakit Seoul.

Memang ia tidak diperbolehkan untuk sekedar berharap, pada siapapun juga! Mengikuti teman nya yang tiba tiba menghilang tanpa bekas, ia seperti dijebak.

Ya, Kota Seoul bukanlah tempat yang asing baginya. Ibukota negeri ginseng itu pernah jadi rumahnya, tempat dimana ia dan sang ayah pernah tinggal sebelum terusir secara paksa. Meskipun demikian, kota Seoul terdiri dari berbagai distrik, dan distrik yang kini dipijaknya adalah tempat asing yang tak pernah dikunjungi olehnya semasa hidup.

Ia mengeluarkan handphone dari saku celananya, dalam hati berdoa agar jarak rumah sakit dengan posisinya sekarang tidak begitu jauh. Setidaknya Jeno tak perlu mengeluarkan uang saku hanya untuk memanggil taxi.

Hanya berselang lima menit, bahu gadis itu merosot. Tidak ada yang bisa diharapkan, benar-benar tidak ada! Sejak kapan ia diperbolehkan untuk punya ekspektasi? Toh sepanjang hidupnya hanya ada masalah tanpa henti.

Maps menunjukkan jarak rumah sakit masih sekitar dua belas kilo lagi, sedangkan ia sudah berjalan cukup lama semenjak keluar dari stasiun kereta. Dengan langkah yang pelan ia mulai keluar dari permukiman warga, mendudukan dirinya sejenak disalah satu kursi yang tersedia, hanya untuk meluruskan kakinya yang terasa keram.

"Kapan hidupku bisa terasa indah? Tak ada lagi kepedihan yang merayapi hatiku, yang mulai memakan akal sehat dan seluruh tubuhku sedikit demi sedikit. Jalan hidup setiap orang berbeda bukan, lalu apakah jalan yang kulalui penuh batu, semak belukar, dan berkelok-kelok hingga susah sekali untuk kujalani? Aku merasa tersiksa setiap hari, terasa sial dan tak ada lagi yang menungguku untuk kembali. Siapa yang mau merentangkan tangan hanya untuk menyambut hangat seorang gadis yatim piatu, dokter yang bahkan terusir dari tempat kerjanya sendiri" Tawa mirisnya mulai keluar, disertai dengan air mata yang mulai membanjiri pipinya.

Entah sampai kapan dokter muda ini harus terus mengasihani dirinya sendiri

Merengkuh tubuhnya dengan kedua tangan nya, untuk menyalurkan kehangatan di akhir musim dingin sambil meyakini dirinya "baik-baik saja", semuanya akan segera berlalu dan ia akan segera melihat pelangi.

Berbagai pertanyaan retoris selalu memenuhi pikiran nya, pertanyaan tanpa jawaban yang malah membuatnya semakin kasihan, tapi siapa yang sedia mendengar dan tahu perasaan nya? Hanya dirinya yang berjuang, dan hanya ada dia! Tak ada orang lain yang akan siap sedia untuk dia, bahkan setiap harapan nya selalu berakhir sirna dan kecewa.

We're Never Meant To Be Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang