frustriert

211 23 6
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.

"Jika aku bertemu dengan kekecewaan, semakin cepat aku mengetahuinya, semakin banyak kehidupan yang harus aku hilangkan."

Chenle menatap manik kedua orang tuanya bergantian, mengulas sebuah senyum tanpa arti dengan sebuah perkataan menohok. "Apa artinya keberadaan aku di hidup kalian? Kalau Chenle gak ada, kalian ngak akan semenderita itu kan terpisah. Lele ganggu kalian, harusnya cukup ada Jwi mom sama daddy bakal bahagia"

"What are you sayin about? Hadirnya kamu ke dunia adalah sebuah anugerah, anugerah terbesar untuk dunia ini" Hati Jeno terasa sesak mendengar ucapan menyakitkan seperti itu, Chenle bagaikan bayang bayang masa lalunya yang selalu menyalahkan eksistensi nya di dunia, untuk apa terlahir jika hanya merasakan beban dan sakit tak terhenti.

Mark menarik putri sulungnya ke dalam pelukan, menyeka air mata yang keluar dari kedua kelopak mata Chenle. "Berapa kali daddy bilang? Meskipun this world disowns you, walau setiap hari rasanya semakin berat, ngak ada yang salah sama diri kamu. Bukan salah kamu semua hal yang kamu ngak mau terjadi, Chenle ngak minta dilahirin di dunia ini. Karena itu kamu ngak perlu ngerasa bersalah, untuk sesuatu yang ngak penting"

Meskipun orang terus menyerangnya, mengatakan dirinya lemah dan mudah tersentuh, Jeno tak akan menampik. Ia merasakan segalanya, ia sudah mengecap segala rasa pahit, asin sampai manis dalam hidup ini. Apa perlu denial terhadap perasaan nya yang sebenarnya? Dia bukan hidup dalam sinetron, Jeno bukan karakter yang diciptain sama orang dan hidup menurut skrip.

Terserah kalau dia mau nangis, selama apapun yang dia lakuin ngak ngerugiin orang, dunia ngak perlu comment. Tubuhnya udah dipenuhi kapalan selama pengarungan nya di samudera kehidupan. Ia sudah melalui lebih dari cukup permasalahan hingga sampai di titik ini.

Titik kebahagiaan yang dia cari sepanjang usia. Meskipun, yaa selama manusia hidup ngak akan bisa lepas dari yang namanya masalah. Masalah satu berlalu, masalah baru akan datang menggantikan. Tapi hanya dengan begitu, kita akan menjadi terasah, bagaikan pisau yang diasah hingga lancip dan bisa digunakan. Demikian juga hidup kita yang terus menerus diasah dengan berbagai tantangan dan cobaan, dengan itulah kita menjadi kuat.

"Chenle-yaa, di dunia ini ngak ada yang abadi kecuali ketidakpastian. Selain itu, semuanya akan hilang dan mati, termasuk manusia."

"Manusia lahir dengan tangis, dan sampai mati pun begitu. Bayi keluar dari rahim ibunya dengan tangis, disambut tangisan haru dan bahagia dari orangtuanya. Sepanjang hidup pasti menangis ketika merasa sedih, terbeban dan sulit, dan ketika mati akan ditangisi oleh kerabat terdekat. Bukan nya hidup kita udah cukup menyedihkan?"

Jeno tertawa pelan mengakhiri kata-katanya, sementara Mark hanya bisa terdiam tanpa bicara setelah mendengar dua kali ucapan menyedihkan dari istri dan putrinya. Dua orang yang sama sama menyimpan luka didalam hati, dan mengeluarkan nya secara sarkas terdengar lebih menyakitkan dibanding apapun.

Sebab yang mereka singgung dalam ucapan sarkas itu adalah, diri mereka sendiri.

"Kita udah cukup konyol dengan menangisi diri kita sendiri, apa perlu lagi mengasihani atau bahkan menyakiti diri sendiri? We both know how pain is it, mommy know and you too. Tapi diantara banyak ingatan buruk yang kamu punya, masih ada banyak kenangan kita yang berharga, dimana kita semua masih hidup bahagia di masa lalu, dimana kamu belom mengenal dan bersahabat dengan luka......"

"Just a innocent girl that always happy, as a cutiepie baby"

Gadis remaja itu melepaskan pelukan sang ayah, maniknya yang terus mengeluarkan air mata bersitubruk dengan ibu sambungnya, melihat manik yang tengah menampakan kurva bulan yang indah.

Look how great this woman is, her impressive smile nicely hides the pain! Waw, Chenle jujur merasa iri dengan topeng yang dikenakan Jeno. Dari balik wajahnya, apa lagi yang disembunyikan oleh wanita yang kini ia panggil dengan sebutan mommy?

Chenle benar-benar kehabisan akal setiap dihadapkan dengan Jeno, wanita itu hebat dalam hal apapun namun kenapa selalu terlihat terbalut luka? Picik tapi naif disaat bersamaan, membuat Chenle menerka nerka bagaimana Jeno yang asli. Apakah dia bahagia, atau sebenarnya hanya topengnya saja yang ia perlihatkan. Chenle benar-benar ingin tahu.

"Mom, don't you think i ever saw you blank out? Tangan mommy sering bergetar sendiri, dan terakhir kali your eyes turn white! Kejadian itu hampir bikin tangan mommy terpotong. But i feel it the same, dada aku sering kejang dan sesak disaat kuliah. Jika aku kecewa, aku harus ensure diri sendiri kalau aku baik baik saja. But literaly i'm not okay. It makes me wandering—do i have a mental illness?"

Mark menggeram pelan, rambutnya ia sugar ke belakang sambil menatap sang istri tak percaya. Sementara Jeno terus menolak beradu tatap dengan yang lebih tua.

"Aku pikir kalian berdua exactly the same! Dan Chenle, i think you didn't need to ask. Of course you and your mommy have mental illness. Jeno, kita perlu bicara. Kamu bisa ngobatin orang lain tapi bukan berarti abai sama diri sendiri. Yap kesehatan jasmani penting tapi mental juga ngak kalah penting."

"I don't have mental illness, i'm just depresed" satu-satunya pria disana memutar bola matanya malas, balasan yang tidak ia inginkan mencelos begitu saja dari bibir tipis Jeno.

"Mom, i can't hahahaha! But i agree with you, daddy harusnya bersyukur kita berdua ngak perlu dirujuk ke rumah sakit jiwa" Mahasiswi baru itu tergelak tawa sambil memegangi perutnya.

Mark mencubit pipi gembil Jeno hingga siempu mengaduh kesakitan. "Gimana kamu ngajarin Chenle? Sampai dia ngikut kamu begini, semua hal dia belajar dari kamu."

"Oh itu pasti! Chenle kan anak mommy, bakal aneh malah kalau kita ngak mirip. Ya kan mom" Chenle tersenyum tengil sambil menaik turunkan alisnya, memberi kode pada Jeno untuk menjawab "ya"

Disaat yang bersamaan, Mark juga menatap Jeno sambil menggelengkan kepalanya. "Hih kalian berdua bisa aja ngerjain aku. Mau jawab iya atau enggak, Chenle tetep anak aku, dan Mark Lee tetep suami aku"

Ketiganya tertawa, sebelum pintu kamar Chenle lagi-lagi terbuka dan menampakkan seorang anak lelaki yang mengenakan piyama tidurnya sambil memegang bantal sembari bertanya, "Terus jisung anak siapa?"

.
.
.
.
.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
We're Never Meant To Be Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang