"Elgio?"
"Assalamualaikum, Zia?" sapa Elgio.
Pasokan udara rasanya menipis ketika mendengar Elgio mengucap salam.
Ridwan, Zara dan Mamanya yang membalas salam. Zia masih berusaha mencerna, hingga Elgio melupakan Zia yang masih terdiam. Elgio tersenyum ramah pada Zara dan mamanya. Lalu saat melihat Ridwan, pupilnya membesar.
"Zia, dia ...."
Elgio kesulitan mengeluarkan kata yang sudah terangkai di otaknya.
Zia melihat raut wajah Elgio yang cukup syok bersitatap dengan Ridwan. Ia bisa paham situasinya. Karena awalnya pun dia sama, salah menduga. Pria itu pasti berpikir kalau lelaki itu sangat mirip dengan Karel.
Pernah dengar kalau di dunia ini kita punya kembaran atau wajahnya mirip dengan kita? Mungkin Karel dan Ridwan adalah salah satunya.
"El, ikut aku sebentar," ajak Zia pada Elgio.
Zia berjalan menjauh dari mereka. Meski bingung, Elgio tetap menuruti perkataan Zia. Ia mengekori Zia dengan lesu, badannya berbalik lagi menatap Ridwan. Ridwan tersenyum kaku ditatap seperti itu.
Setelah dirasa cukup jauh, Zia langsung berbalik badan. Elgio berhenti berjalan dan menatap Zia sambil bersedekap.
"Dia bukan Karel!" seru Zia tiba-tiba.
Elgio mengerutkan kening, "Aku tau, tapi agak kaget aja lihat wajah dia yang mirip sama Karel. Aku pikir kamu juga merasa begitu, Zia."
"Kamu tau sendiri, Karel ...." Zia tidak melanjutkan kata-katanya ketika butiran bening berdesakkan keluar dari sudut matanya.
Elgio hendak mendekat, menenangkan Zia. Namun Zia mundur. "Aku ngajak kamu ke sini bukan untuk menenangkan aku. Aku cuma gak mau kamu ngomong di depan mereka soal Karel. Ridwan juga pasti bingung."
"Nama lelaki itu Ridwan?" Elgio memastikan.
"Iya," jawab Zia singkat.
Elgio tersenyum kecut. "Aku harap kamu gak menyukai dia, dia mirip Karel, sangat."
Sorot mata Zia menajam. "Kamu ngomong apa sih? Kamu nuduh aku suka dia?"
Dengan tangan bersedekap Elgio menatap manik mata Zia beberapa detik. "Aku cuma bicara apa adanya, siapa yang nuduh?"
"Kamu!" Zia membuang muka selepas mengatakan itu.
"Aku gak nuduh, Zia."
Zia terdiam. Ia merasa dirinya yang perasan. Padahal Elgio hanya bicara, bukan menuduh.
"Kamu kenapa tiba-tiba ke sini?" tanya Zia mencari topik pembicaraan lain.
"Aku mau--"
Sonia datang dari arah berlawanan. "Zia, Elgio? Kalian ngapain di sini?"
Elgio hanya tersenyum kaku. Ia tahu Sonia pasti menduganya ada apa-apa dengan Zia. Ditambah tadi mereka berbicara empat mata. Meskipun ada beberapa mahasiswa dan mahasiswi lewat di hadapan mereka. Dan tempatnya juga cukup ramai.
Elgio hendak menjawab, tapi ponsel di saku celananya berbunyi. Matanya langsung menatap Sonia.
Setelah melihat layar hp-nya wajah Elgio langsung kusut. "Cuma ngomong biasa, Tan. El, pamit dulu ya. Ada urusan."
"El," panggil Zia pelan.
"Apa?"
"Maksudnya kamu tadi mengucap salam itu apa?"
Sonia langsung memberi kode agar Zia diam, tapi Zia tidak menghiraukan.
"Cuma lagi pengen," sahut Elgio santai. Elgio pergi ke arah berlawanan, meninggalkan Zia dengan kerutan di keningnya.
Mengucap salam orang muslim sedangkan dia non-muslim dia bilang cuma lagi pengen? Padahal aku tau, dia gak suka mengucap salam. Aneh.
🌹🌹🌹
Di sepertiga malam ketika orang-orang tertidur pulas, ada seorang pria yang menggelar sajadahnya. Ia tengah bermunajat pada Sang Kekasih, Allah SWT.
"Ya Allah ... sekiranya ia memang yang terbaik untuk hamba, dekatkanlah ia. Namun jika sebaliknya, hamba akan berusaha menghilangkan rasa ini dan berharap dia diberikan jodoh terbaik oleh-Mu. Jaga dia Ya Rabb, istiqamah kan dia dalam ketaatan. Engkau yang Maha Mengetahui bagaimana dia berusaha untuk meraih cinta-Mu lagi. Hamba yakin, Engkau tidak akan mengecewakan hamba-hamba yang menaruh harapan pada-Mu."
Ia menyudahi do'anya dengan do'a sapu jagat. Pikirannya mengembara pada kejadian di kampus. Siapa lelaki yang bersama Zia tadi? Kekasihnya kah? Calon suaminya? Atau hanya teman biasa?
Tapi jika memang teman, kenapa Ridwan bisa merasakan sorot mata lelaki yang baru ia ketahui bernama Elgio itu penuh cinta dan kerinduan?
Ah, dan ya satu lagi yang Ridwan bingungkan, kenapa Elgio menatapnya dengan tatapan aneh? Seakan dia dari planet lain.
Perasaan yang hadir ini membuatnya memikirkan hal-hal yang sebelumnya tak pernah ia lakukan. Oh, tidak-tidak, ia pernah melakukannya pada seorang gadis yang amat ia cintai sebelum Zia. Si gadis bernetra hijau yang mampu meluluh lantakkan hati seorang Ridwan Yazid Abbasy.
Kini ia kembali melakukan hal-hal itu. Memperhatikan si gadis dengan diam, mencari tahu hal-hal yang di sukai gadis itu, menebak-nebak si gadis sudah punya tambatan hati atau belum. Dan menyimpan api cemburu yang membara ketika melihat gadis itu bersama lelaki lain.
Aish, dia merasa kembali ke masa remaja. Diusapnya wajahnya yang dalam pandangan kaum hawa terlihat tampan itu.
Dia berdiri dan berjalan ke arah meja yang terletak di sudut tembok. Meja tempatnya melakukan berbagai kegiatan, seperti menilai hasil ulangan santri, mengetik soal, dan melamun memikirkan Zia.
Zia lagi, Zia lagi.
Ia membuka album foto bersampul warna mocca itu dengan senyuman tipis. Lembar pertama ada foto 4 orang perempuan yang tengah tersenyum ke arah kamera dan satu lelaki yang tengah merangkul bahu dua dari empat perempuan tadi. Bahu adik perempuannya. Foto ini diambil sebelum berangkat ke tablig akbar saat maulid Nabi.
Ditatapnya wajah salah satu perempuan dalam foto itu dengan serius. Gelenyar dalam dadanya muncul lagi, hanya karena sebuah foto.
Terlalu lama larut memikirkan Zia mungkin membuat pendengarannya terganggu. Hingga panggilan telepon dari seorang gadis yang berstatus sahabat diabaikan olehnya.
Ia baru sadar ketika sebuah teriakan menggema di luar kamarnya.
"Mas!"
Ridwan tersentak, lalu buru-buru menutup album itu.
"Aku harus melakukan sesuatu, atau setan akan terus menguasaiku," ucapnya lirih.
"Mas!" Suara yang semakin melengking itu membuat Ridwan berdecak.
"Sabar, Salsabila!"
Dibukanya pintu itu dengan malas. "Ada ap-"
"Mas Abbi minta dijemput. Dia udah di bandara."
Mata Ridwan nyaris keluar dari tempatnya.
"Jam segini?"
"Iya! Ayo, Mas."
Ridwan menatap penampilannya sendiri yang masih mengenakan koko dan sarung.
"Mas ganti baju dulu."
🌹🌹🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Penyempurna Agamaku
Spiritual•••• Aku berada di jalan yang aku sendiri tak tahu bernama apa. Yang aku tahu hanya menapaki jalan itu selama masih mampu. Yang aku tahu hanya menguatkan diriku ketika ada kerikil yang melukai kakiku dan membuat langkahku melambat. Hingga akhirnya a...