Part 23

20 1 0
                                    

Memandangmu yang bukan mahramku hanya akan menambah pundi-pundi dosa.
Dan aku tidak ingin itu terjadi.
Suatu saat pun jika Allah berkehendak membuatmu mengucap 'qabiltu' atas namaku, aku akan sepuasnya memandangmu. Bahkan tanpa ragu ataupun takut dimurkai-Nya.

~Imam Penyempurna Agamaku~

••••••

"Kak, aku pamit ya," ucap Salsa sambil tersenyum.

"Aku juga," imbuh Jihan.

Zara mengangguk dan tersenyum tipis.

"Syafakillah," ucap keduanya kompak.

"Aamin. Syukran."

Mata Jihan mengarah pada Zia. Ia mendekat untuk memeluk perempuan itu. "Nanti kalau gak repot main ke Pondok ya, Kak? Banyak yang nanyain, apalagi anak-anak. Kangen dengerin cerita Nabi sama Wali Songo katanya."

Zia mengusap kepala Jihan yang terlapis hijab dengan sayang. "Insyaallah. Belajar yang serius ya, sebentar lagi kan mau try out."

"Siap."

Salsa menggigit bibir bawahnya. Ia juga ingin seperti Jihan, kakaknya yang bebas mengekspresikan kerinduan pada Zia. Salsa hanya menatap Zia dengan senyum kecil lalu keluar ruangan menyusul Ridwan yang sedang mengeluarkan mobil dari area parkir.

🌹🌹🌹

"Azid batal ke Cairo hari ini, Ma."

Sonia tersenyum ke arah Zara. "Memang itu yang kamu mau kan?"

"Ya, tapi kan ... bisa jadi besok? Aku ngerasa bersalah juga gara-gara nolongin aku dia sampe nunda keberangkatannya. Aku cuma bisa nyusahin Azid, Ma."

"Udah, jangan ngomong gitu. Sekarang yang terpenting kesehatan kamu."

"Ma," panggil Zara dengan nada merajuk.

"Kenapa?"

"Zara banyak kekurangan ya? Azid aja yang udah kenal lama Zara, gak menaruh hati sama sekali."

Zia yang baru selesai shalat dari Masjid RS, mengurungkan niatnya masuk kamar. Dari celah pintu Zia dapat mendengar percakapan kedua perempuan yang disayanginya.

"Rasa cinta itu fitrah dari Allah. Kita gak bisa menduga atau memaksakan mau jatuh hati pada siapa. Setiap manusia pasti punya kekurangan dan kelebihan, Sayang. Kamu jangan terlalu larut menaruh perasaan padanya, Allah nanti cemburu."

Mata Zara berkaca-kaca. "Zara ...." Ia kehilangan kata-kata dan malah memeluk pinggang Sonia yang berdiri di sampingnya.

"Zara kadang pengen ngomong sama dia kalau Zara menyimpan perasaan ini sejak Zara masih mengenakan pakaian biru-putih. Sudah sangat lama, Ma." Zara mengambil nafas sebentar sebelum terisak kembali. "Zara tidak mampu seperti Sayyidatina Fatimah yang menyimpan rapat perasaannya untuk Ali."

"Belum mampu, bukan tidak mampu."

Lama keduanya terdiam hingga suara Zara terdengar kembali.

"Setidaknya kalau Azid membuka hati sedikit saja, Zara tidak sungkan kalau memintanya menjadi Imam Zara. Untuk mendapatkan lelaki seperti Azid, siapapun mungkin tak masalah jika meniru Ibunda Khadijah saat melamar Baginda Nabi."

Sonia menghembuskan nafas lelah. Zara memang pantang menyerah dari dulu. Itu memang baik, tapi kalau sampai pantang menyerah hingga memaksakan kehendak itu tidak baik.

Zia merasa sekujur tubuhnya disiram air dingin. Zara berani melamar? Sudah secinta itulah dia pada Ridwan?

Tubuh Zia berbalik dan berlari menuju taman. Ia terus menunduk, menyeka air matanya yang lagi-lagi keluar karena lelaki itu.

Imam Penyempurna Agamaku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang