Part 26

18 1 0
                                    

Zara menggigit bibir bawahnya. "Aku ... Gak sengaja lihat foto kamu sama Karel."

Zia mengedipkan matanya berkali-kali. Foto?

"Foto kalian waktu di dekat menara Eiffel. Udah beberapa hari yang lalu sih aku nemuinnya, pas beres-beres rumah, termasuk kamar kamu. Cuma aku nggak terlalu mikirin. Toh kamu atau Azid sama-sama gak menunjukkan ketertarikan. Tapi ternyata ...."

Zia langsung teringat momen indah yang diabadikan menjadi foto tersebut. Setelahnya Zia tersenyum. "Aku mencintai Ridwan bukan karena wajah dia mirip Karel, Za. Tapi ya udah lah, aku juga udah memutuskan untuk menolak lamarannya dan aku butuh waktu nenangin diri ke Ausy."

Mata Zara membelalak. "Kamu belum maafin aku ya?"

"Aku maafin, kok."

"Lalu untuk apa kamu menolak Ridwan dan mau ke Ausy? Aku kepancing emosi, serius. Gak seharusnya aku bicara sekasar itu sama kamu. Kamu boleh menerima dia, itu hak kamu. Tetap di sini atau aku yang pergi."

"Zara kamu ...."

Zara mengusap sudut matanya yang tiba-tiba basah. "Aku akan belajar ikhlasin dia. Kali aja kan Allah udah mempersiapkan jodoh yang lebih baik dari Azid," ucap Zara sambil terkekeh.

Zia memeluk Zara. "Maaf, dan makasih."

"Aku berharap semuanya dilancarkan oleh Allah."

Zia mengamini dalam hati. Sementara Sonia sudah berdiri tak jauh dari mereka. Bibirnya tertarik membentuk senyum simpul.

"Kedua putrimu sudah dewasa, Mas," lirihnya sambil mengenang Reyhan, suaminya.

🌹🌹🌹

Keluarga Ridwan sangat bahagia mendengar kabar bahwa Zia menerima lamarannya.

Saking bahagianya, Natasha langsung berpendapat untuk segera membeli pakaian pengantin.

"Kamu suka ngaco! Ini tanggalnya aja belum ditetapkan. Nanti ba'da magrib kita rundingkan saja ke rumahnya Zia. Gimana, Abbi?"

"Abbi setuju saja."

"Asik yang sebentar lagi menyandang status suami," goda Jihan.

"Nanti kalau sakit gak bingung lagi mau manja atau ndusel ke siapa dong. Ya kan, Mi?" ucap Salsa mencari pembelaan.

Abbinya menggelengkan kepala. Ridwan melotot ke arah Salsa.

"Ish. Galak banget baru digodain dikit doang. Kalau ke kak Zia aja mandangnya lembut."

"Sa!" tegur Ummi dan Abbinya bersamaan. Anak bungsu mereka ini memang kalau menggoda tidak tanggung-tanggung.

Semua anggota keluarga sudah ke kamar masing-masing kecuali Abbi dan Ridwan. Salsa dan Jihan pun tidak kembali ke pondok. Hari ini mereka menyempatkan waktu untuk berkumpul dan menginap.

"Kamu sudah benar-benar siap menikah?" Abbinya membuka suara.

Ridwan terkekeh. "Abbi harusnya nanya ini sebelum Abbasy ngelamar Zia, bukan sesudahnya. Abbas gak akan ngelamar anak orang kalau belum siap, Bi."

Abbinya menghela nafas. "Abbi cuma masih gak nyangka. Tahun kemarin kamu begitu emosional kalau ditanya soal nikah. Abbi dan Ummi-mu sampai bingung."

Ridwan terdiam. Dia sendiri sadar kalau dirinya memang seperti itu, alasannya tidak lain karena meninggalnya Zahra. Mengingat lamarannya dua hari yang lalu, Ridwan sebenarnya terkejut mendapati Zia sudah bercadar. Entah kenapa Zia yang bercadar membuatnya teringat Zahra.

"Nak," panggil Abbinya.

Ridwan masih bergeming.

"Abbasy," panggilnya lagi dengan suara yang dinaikkan.

"Iya, Bi?"

"Kamu ini. Lagi diajak bicara orang tua kok malah melamun."

Ridwan tertunduk. "Afwan, Bi."

Abbinya tersenyum tipis sambil menepuk pundak putranya beberapa kali. "Nanti kalau sudah jadi suami jangan lari dari masalah apalagi berprasangka hingga membuat kamu mau ke Turki dengan alibi ngelanjutin study. Kamu itu lelaki, Nak, hadapi masalahnya sebesar apapun itu. Rundingkan juga dengan istri kamu nanti kalau dirasa perlu. Satu lagi, ingatlah kita punya Allah untuk memohon pertolongan. Coba pikirkan sama kamu, kalau Imamnya saja tidak mampu memimpin, lari dari masalah, akan seperti apa kira-kira bahtera rumah tangganya?"

Ridwan tersenyum canggung. Abbinya ini masih saja membahas soal sikapnya yang kekanakkan karena memilih lari dan menghindari Zia. "Iya, Bi. Abbasy paham."

🌹🌹🌹

Ridwan dan Zia saling memalingkan wajah. Kalau Zia tidak memakai cadar mungkin akan ada rona merah di pipinya.

"Ditanyain juga malah malu-malu. Ya sudah, bagaimana kalau sebulan lagi?"

Semua orang terkesiap mendengar ucapan Abbinya Ridwan.

"Apa gak terlalu kecepetan, Bi?" ucap Ridwan.

"Kamu sendiri yang malu ditanyain pendapat, sekarang malah bilang kecepetan. Lagi pula kita kan udah sepakat acaranya tidak terlalu mewah, nanti juga pas resepsi akan diatur sedemikian rupa supaya ikhwan dan akhwat gak saling berbaur."

Semua mengangguk.

"Bagaimana? Zia setuju kan?" tanya Ummi Ridwan.

Zia mengangguk malu. "Zia ikut aja."

"Tuh, Zia aja setuju. Kamu gimana?" tanya Ummi Ridwan.

Ridwan menghela nafas sebelum akhirnya tersenyum cerah. "Kalau calon istri Ridwan sudah setuju, ya sudah. Lagi pula kalau dipikir lagi lebih cepat, lebih baik."

Ucapan Ridwan itu kontan membuat semua orang terkesiap bahkan terbatuk.

"Uhuk ... Udah calon istri aja manggilnya," canda Zara.

Zia mencubit kecil tangan Zara. Pipinya lagi-lagi memanas. Matanya mencari objek lain, asal tidak menatap Ridwan.

Ridwan, lelaki itu sedang tertawa geli memperhatikan tingkah Zia.

🌹🌹🌹

Imam Penyempurna Agamaku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang