Part 22

14 1 0
                                    

Langit kembali sendu. Rintik-rintik hujan mulai turun, berciuman dengan tanah. Di pinggir halte Zia terdiam menatap kendaraan yang berlalu lalang dengan kecepatan sedang. Mungkin karena becek dan bahaya jika berkendara dengan kecepatan diatas rata-rata.

Tanpa orang lain tahu, kediaman Zia untuk menutupi kekalutannya, ia tengah menahan segala emosi yang membuncah.

Ponsel di dalam tas cangklongnya terus berdering, meminta si empu mengangkatnya. Tapi Zia tetap bergeming.

Bertahun-tahun lalu, ia tidak suka hujan. Papanya meninggal saat musim hujan, keluarga kecil yang dicintai meninggalkannya ketika musim hujan. Juga kejadian buruk yang merenggut Karel dan Arzan terjadi saat hujan deras.
Ah, kejadian itu. Bahkan Zia hampir lupa pernah mengalami kejadian mengerikan itu dalam hidupnya. Ia terlalu tenggelam dalam lautan cinta yang muncul di permukaan hatinya untuk Ridwan.

Oh, Allah, kepalanya berdenyut nyeri dan mual ketika tanpa diduga kejadian itu berputar cepat dalam otaknya.

"Rel, jangan ngebut-ngebut ya."

Karel melirik Aneska dan Arzan lewat kaca dengan wajah tertekuk.

"Aku udah kayak supir aja. Kamu selalu begitu ya kalau ada Arzan, lupa sama tunangan sendiri."

Aneska terbahak. "Astaga. Kamu cemburu sama Kakakku sendiri."

Tangan Aneska hampir mencubit pipi Karel kalau saja Arzan tidak menyentilnya. Aneska mengaduh dan Karel malah tertawa kecil.

Arzan memandang keduanya dengan tatapan jengah. "Jangan saling pegang sebelum nikah."

"Siap Kakak ipar," sahut Karel santai.

"Calon!" peringat Arzan.

Ketiganya larut dalam obrolan hingga tak sadar di depan lampu menunjukkan warna merah. Dari arah samping sebuah bis melaju sangat cepat ke arah mobil mereka, klakson terdengar memekakkan telinga. Hingga akhirnya Aneska berteriak dan mobil mereka terpelanting.

Dalam kondisi seperti itu Arzan refleks memeluk Aneska, ia ingin melindungi adiknya. Meskipun sekujur tubuhnya bersimbah darah. Matanya yang sayup menatap Aneska dan bibir tipis itu bersyahadat.

Aneska masih sadar, air matanya bahkan menetes saat melirik dirinya ada dalam dekapan sang Kakak. Telinga Aneska jelas mendengar Arzan berdo'a dengan saat lirih sebelum keduanya sama-sama kehilangan kesadaran. "Lindungi adikku Ya Allah."

"Kak Zia?" Suara seorang perempuan remaja menyadarkannya. Ia menyeka air matanya yang menetes.

Zia mendongak dan bertatapan langsung dengan gadis yang tengah memakai seragam putih biru. "Salsa?"

"Ngapain di sini?"

Walaupun nada bicara Salsa agak ketus, tapi gurat wajahnya menampakkan kecemasan. Salsa bahkan melihat tas besar yang tergeletak di samping kaki Zia.

"Mau pulang," balas Zia singkat.

Salsa tersentak. Dia ikut duduk meski tempat duduk yang terbuat dari semen itu agak basah. "Pulang gak balik lagi?"

Zia mengangguk. "Kamu baru pulang sekolah ya?"

Salsa memberengut. "Jangan ngalihin pembicaraan."

Zia tersenyum lagi. Salsa jadi kesal sendiri. Kenapa Salsa tidak pernah melihat Zia mengeluarkan emosinya.

"Kenapa?" Kentara sekali nada bicaranya melunak.

"Gak apa-apa."

"Gara-gara sikapku ya?"

Zia tersenyum tipis. "Bukan."

"Terus kenapa pulang? Padahal aku ...."

Zia menunggu kelanjutan kalimat Salsa, sampai tubuhnya menegang sebab Salsa mendekapnya tiba-tiba.

Imam Penyempurna Agamaku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang