Zia memakan makanan dengan lahap, tapi itu justru membuat Sonia khawatir.
Dia lebih memilih Zia menangis daripada bersikap seolah tidak ada apa-apa. Bersikap seakan segalanya baik-baik saja. Sedangkan Zara, terang-terangan gadis itu tidak mau makan.
Saat Sonia bertanya kepada Zia, gadis itu malah membalas, "Memang aku harus bagaimana, Ma? Menzalimi diri aku sendiri dengan mogok makan?"
Padahal maksudnya bukan seperti itu. Dia hanya ingin Zia terbuka. Sekalipun menunjukkan kemarahannya seperti Zara.
Entah mengapa Sonia merasa Zia mencintai Ridwan. Tatapan dan sikap kebimbangan gadis itu mengungkapkan semuanya.
Sonia juga tidak bisa menyalahkan Zia kalaupun nanti gadis itu menerima lamaran Ridwan. Gadis itu sudah dewasa. Lagi pula Sonia bisa apa kalau Ridwan lebih memilih Zia daripada Zara? Mungkin lelaki itu sudah menempuh banyak pertimbangan. Dan juga jodoh sudah ada yang mengatur. Seberapa keras pun kita menyatukan dua insan, tapi jika Allah tak menghendaki dua insan itu bersatu maka mereka tak akan bersatu. Begitupun sebaliknya.
Pintu kamar Zara berderit, membuat Sonia dan Zia mengalihkan pandangannya.
Zara membawa tas kecil dan sudah berpenampilan rapi. Zia segera membetulkan lagi niqab setelah selesai makan. Ia berniat menghampiri Zara.
"Zara kamu mau ke mana?" tanya Sonia dengan tatapan menyelidik.
Zara menghela nafas pelan, "Mau pergi, Ma. Sesak rasanya satu atap dengan seseorang yang mengkhianati kita," ucapnya sambil menatap Zia dari jauh dengan pandangan kesal bukan main.
"Zara," tegur Sonia.
Dengan menekan emosinya, Zia semakin mendekat ke arah Zara.
"Kalaupun ada yang harus pergi, maka aku orangnya Zara. Sungguh demi apapun jika aku di hadapkan pada pilihan memilih kamu atau Ridwan, aku akan memilih kamu. Aku mohon jangan begini.
Jujur, aku memang mencintai Ridwan, tapi apa sih artinya cinta kalau aku harus berseteru dengan saudari kembarku sendiri. Orang yang selalu bersamaku sejak dalam janin Mama."
Zara memakai kaus kakinya. Berusaha tidak terpengaruh atas segala perkataan Zia. Meskipun begitu Zia tetap meneruskan ucapannya.
"Zara, Zia, stop bersikap seperti ini. Duduk dan bicarain baik-baik."
Zia memberi kode pada Sonia agar Mamanya itu membiarkannya tetap bicara.
"Aku gak pernah merasa Ridwan menaruh hati sama aku, justru aku kira dia mencintai kamu. Sebesar apapun perhatian Ridwan sama aku, aku kira itu hanya sebatas teman. Maka dari itu aku gak pernah menghiraukan ataupun menceritakannya ke kamu.
Setiap kali ada sesuatu hal yang menyangkut dengan kamu, dia menjadi orang paling peduli. Aku kira itu cinta. Satu hal yang perlu tau, aku kembali ke rumah semenjak tau Ridwan ingin melamar seseorang. Tadinya aku pikir itu kamu, lalu aku lebih memilih menghindar dan keluar dari pondok. Perasaan aku gak berarti apa-apa selama itu membuat kamu bahagia.
Dan soal kamu yang mengatakan penampilan aku seperti ini karena ingin menarik hati Ridwan, kamu salah. Aku kembali ke Indonesia untuk belajar agama. Untuk menjadi muslimah yang lebih baik daripada sebelumnya. Jika saja aku tau jadinya akan seperti ini, lebih baik aku gak pernah datang ke Indonesia. Aku mungkin akan menetap di negara mana pun untuk belajar agama lagi, bukannya malah ke sini. Merepotkan kamu dan Mama.
Kalau kamu memang gak nyaman atas kehadiran aku, aku ...," Zia menengadahkan kepalanya ke atas agar air matanya tidak terjatuh. "Aku bisa kembali ke Ausy dan gak akan mengusik kehidupan kalian," lanjutnya sambil berlalu ke kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Penyempurna Agamaku
Spiritual•••• Aku berada di jalan yang aku sendiri tak tahu bernama apa. Yang aku tahu hanya menapaki jalan itu selama masih mampu. Yang aku tahu hanya menguatkan diriku ketika ada kerikil yang melukai kakiku dan membuat langkahku melambat. Hingga akhirnya a...