Part 4

66 5 0
                                    

Aneska mengayuh sepeda dengan air mata yang berderai. Dia membenci situasi ini. Dia sangat benci karena akhir-akhir ini dia terlihat lemah, cengeng. Hatinya bersikukuh untuk menghadapi semua yang terjadi dengan lapang dada, tapi tubuhnya lagi-lagi berlawanan. Dan akhirnya ia mengikuti keinginan tubuhnya. Ia memilih untuk menghindar dari apa-apa yang mampu memunculkan luka itu kembali.

Hujan deras mengguyur tubuhnya, membuatnya basah kuyup dan sedikit menggigil. Pandangannya kabur sebab rintik-rintik hujan itu mengenai matanya. Tetapi ia tak peduli. Dinginnya air hujan itu tak seberapa jika dibandingkan dengan hatinya yang selama ini beku. Ia membutuhkan kehangatan dalam jiwa dan raganya.

Setelah menepikan sepedanya, ia mengambil kantung belanjaan dan bergegas ke dalam rumah. Ditaruhnya kantung itu dengan asal di atas meja tamu, lalu tanpa menyalami Mamanya ia berjalan menuju kamar mandi. Mamanya dan Zara yang tengah bersenda gurau langsung berbalik begitu mendengar suara derap kaki. Zara yang niatnya ingin menanyakan bubur sumsum pun mengurungkannya. Ia yakin Aneska dalam keadaan tak baik.

Sonia bangkit dari duduknya untuk mengetuk pintu kamar mandi, tapi Zara mencegahnya. 

"Biarin aja, Ma. Nanti Zara yang tanya kalau Anes udah selesai mandinya."

Sonia mengangguk setuju. Dia mengelus kepala Zara sebentar, lalu pergi ke dapur memasak makanan untuk nanti sore. Dirasa bumbu di dapur kurang lengkap Sonia melihat keluar jendela, hujan sudah reda.

Kalau saja ia memeriksa dulu bumbu dapur sebelum Aneska pergi, mungkin ia bisa menitipkan pesanannya. Ia  mengambil uang dan berjalan keluar rumah setelah sebelumnya pamit pada Zara.

Di kamar mandi Aneska terduduk di bawah shower yang mengguyur tubuhnya. Ia berteriak tertahan. Berharap sakit yang menderanya hilang atau setidaknya berkurang. Sudah setengah jam lamanya ia dalam posisi seperti itu, hingga terdengar suara pintu diketuk sangat keras.

"Anes! Kamu baik-baik aja kan?"

Zara memang kadang memanggil Aneska dengan embel-embel 'Kakak', kadang juga langsung menyebut nama.

"Kamu jangan macem-macem ya di dalem! Kamu mau aku ambil kunci cadangan dan buka pintu ini dari luar? Cepat buka Aneska!" teriaknya lagi.

Zara sekarang benar-benar khawatir. Dengan tergesa-gesa ia menghampiri bupet televisi, mencari kunci cadangan di laci. Sebelum niatnya itu terlaksana, Aneska sudah keluar memakai jubah mandi. Matanya merah dan sembab. Tatapannya kosong.

Zara langsung menangkup pipi Aneska, berusaha menyadarkannya. "Kamu kenapa sih? Ada masalah? Cerita sama aku," bujuknya pelan.

Aneska menatap Zara yang ikut merasakan kepedihannya. Begitukah ikatan saudara kembar? Saat salah satunya merasa bahagia, yang satunya juga dapat merasakan. Begitupun sebaliknya.

Pelan tapi pasti Aneska melingkarkan tangannya di bahu Zara. Ia menangis tanpa suara. Zara bersyukur karena Mamanya sedang keluar, jika tidak maka sudah dapat dipastikan Mamanya khawatir melihat Aneska.

Zara mengusap punggung Aneska sayang. "Cerita sama aku," pintanya lembut.

Aneska memejamkan matanya. Ia mengingat kejadian tadi di minimarket.

"Zara?" Dia sedikit tidak yakin menyebutkan nama itu saat melihat penampilan Aneska. Gadis itu memakai sweeter rajut berwarna maroon dan celana jeans hitam.

Orang itu menghentikan pandangannya di kepala Aneska selama beberapa waktu.

"Kenapa kamu tidak mengenakan hijab, Zara?" Suaranya yang serak dan berat rasanya mampu mematikan saraf Aneska. Aneska yakin sebentar lagi air matanya tak akan bisa dibendung. 

Pria itu merasa heran melihat Aneska yang mengalihkan pandangannya. Ia melangkah mendekat. Sekitar empat langkah dari tempat Aneska berdiri.

"Kamu Zara 'kan?"

Aneska menatap netra yang sepekat langit malam itu sambil berjalan mundur. "Bukan!" katanya dengan suara yang bergetar.

"Tetapi, wajah kamu ...."

"Aku bukan Zara!" teriak Aneska kesal.

Dari arah belakang pria itu, seorang wanita datang membawa anak kecil laki-laki yang berumur tiga tahun.

"Mas Ridwan, ayo pulang."

Pandangan Aneska dan pria itu langsung tertuju pada satu arah. Aneska merasa hatinya tertusuk. Siapa wanita itu? Wanita yang memanggil lelaki ini dengan begitu manis.

"Sudah selesai belanjanya?" tanya pria yang dipanggil Ridwan itu.

Bocah laki-laki tadi turun dari gendongan Ibunya lalu memeluk celana yang dipakai Ridwan erat. "Abbi, pulang!"

Wanita itu menghiraukan ucapan Ridwan, matanya justru terpaku pada sosok Aneska. "Mbak Zara?"

Aneska mematung. Cobaan macam apa lagi ini, Tuhan?! jeritnya dalam hati.

"Abbi, Ummi, ayo pulang kebulu ujan. Langitnya gelap."

Tidak. Bukan hanya langit yang mulai gelap. Pikiran Aneska juga rasanya menggelap. Apa maksudnya? Pria ini mirip Karel dan sekarang wanita dengan seorang anak kecil itu bergandengan tangan bersama pria yang diduganya Karel. Ah, Aneska bahkan pusing harus memanggilnya Ridwan atau Karel. Sebenarnya pria ini siapa?

"Aku bukan Zara!"

Aneska mengambil sepedanya dan melupakan bubur sumsum pesanan Zara. Sebenarnya tubuhnya masih agak gemetar untuk mengayuh sepeda. Tapi jika ia tetap bertahan di sini, sama saja ia membiarkan dirinya lemas mengetahui kenyataan pahit di depannya. Ia meninggalkan Ridwan dan wanita  yang sekarang terdiam heran menyaksikan reaksi Aneska.

Lamunan Aneska terhenti ketika Zara melepaskan pelukannya. Zara memilih untuk menuntun Aneska ke kamar. Ia berpikir Aneska masih perlu waktu. 

"Kalau belum siap cerita enggak apa-apa. Mending kamu ganti baju dulu." Zara melepas tangannya dari bahu Aneska dan mendorong pelan Aneska agar masuk ke kamar.

Zara baru akan mencapai pintu, tapi tidak jadi. Ia memutar badannya menghadap Aneska yang masih berdiri. "Mau aku buatin susu anget atau teh melati kesukaan kamu? Ah, aku tau kamu pasti lebih milih teh melati. Tunggu sebentar ya!"

Zara melangkah lagi menuju pintu.

"Zara," panggil Aneska pelan. Zara berhenti melangkah, meski tidak membalikkan badan. Ia bahkan sudah berdiri di bibir pintu.

"Kamu kenal Ridwan?" sambungnya. Ucapan Aneska kali ini membuat tubuh Zara menegang di tempat.

🌹🌹🌹

Hai. Mohon maaf part ini gak terlalu panjang. Semoga tetap suka dan menunggu kelanjutannya.
Jangan lupa ajak temen-temen baca cerita ini 😁
Jazakumullah khair 🙏

Imam Penyempurna Agamaku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang