Part 13

48 5 0
                                    

Sepandai-pandainya rahasia disembunyikan, pasti akan tiba waktu semuanya terungkap.
Dan ketika waktu itu datang, jangan coba-coba untuk mengelak apalagi menghindar.

~Imam Penyempurna Agamaku~

••••••

Zara berhenti tepat di depan pintu kamar Aneska saat mendengar suara orang mengaji. Ah, bukan mengaji. Lebih tepatnya menghafal. Dia mendekatkan telinganya ke pintu. Bukan bermaksud lancang, ia hanya penasaran. Mungkinkah Aneska sedang menyalakan rekaman? Atau melihat youtube?

Matanya membelalak dan jantungnya berdebar cepat saat lama kelamaan sadar itu suara Aneska. Ia membuka pintu itu dengan pelan. Aneska memang begitu, sering lupa mengunci pintu kamar. Aneska sama sekali tidak terganggu dengan suara decitan pintu. Ia malah menggeleng kesal karena salah satu surat yang dihafalnya malah kacau, ayat terakhir tertukar dengan ayat sebelumnya.

Zara terus mendengarkan hingga Aneska selesai menghafal.

"Aneska," panggilnya pelan, tapi mampu membuat Aneska terperanjat.

Aneska buru-buru menutup juz 'amma dan membalikkan badan. Posisinya tadi telungkup. Ia menatap Zara panik. "Sejak kapan kamu berdiri di situ?"

"Kenapa memangnya?"

"Jangan menjawab dengan pertanyaan lagi, Zara!"

"Aku berdiri di depan pintu sejak kamu mulai menghafal 10 ayat pertama Surat Al-Kahfi, dan beberapa surat Juz ke 30. Puas?"

"Kenapa kamu jadi sarkastik seperti itu sih?"

"Harusnya aku yang nanya Aneska, kenapa kamu gak cerita masalah ini? Kamu mau masuk islam lagi?"

Aneska menghembuskan nafasnya berat. Zara memberondongnya dengan pertanyaan yang sebenarnya sudah Zara ketahui jawabannya. Kalau bukan untuk masuk islam, lalu untuk apa dia menghapal ulang semua itu? Iseng? Dia tidak sebercanda itu dalam hal keyakinan!

"Kamu pikir untuk apa aku melakukan semua ini kalau bukan untuk menjadi muslimah?"

Zara mendekat. "Lalu kenapa enggak cerita?"

"Aku belum siap."

Deru nafas Zara terdengar kecewa. "Kamu menganggap aku dan Mama asing?"

"Zara, jangan menyudutkanku. Aku bilang belum siap."

"Aku enggak menyudutkan kamu."

Dari arah pintu Sonia berjalan agak terseok-seok. Matanya belum terbuka sepenuhnya. Dia terbangun karena mendengar perdebatan Zara dan Aneska.

Padahal ini sudah larut malam. Apa mereka belum tidur? batin Sonia.

"Kalian berdua kenapa?"

Saat Aneska akan menjawab, Zara mendahuluinya. "Aneska menghafal lagi Al-Qur'an."

Ekspresi Sonia tampak biasa, tak berubah. "Mama sudah tau."

Aneska dan Zara termangu.

"Kenapa Mama gak cerita?" tanya Zara.

"Mama tau dari mana?" tanya Aneska.

Dua pertanyaan dari dua orang berbeda itu diucapkan dalam waktu yang bersamaan. Menguap sudah keinginannya untuk melanjutkan tidur. Sepertinya malam ini akan menjadi malam yang panjang dan penuh cerita.

"Jangan berdiri sambil menatap Mama begitu. Kalian seperti hewan yang ingin menerkam tau! Mending kita duduk dulu dan bicarain masalah ini dengan tenang."

🌹🌹🌹

"Seperti biasanya, kita tutup pertemuan kali ini dengan bershalawat pada Baginda Nabi Muhammad SAW."

Semua anak kecil bershalawat mengikuti Ridwan. Ridwan tersenyum tipis. Rasanya selalu senang ketika selesai mengajar mengaji. Ia selalu berharap anak-anak kecil itu tetap semangat mengaji. Bekal untuk akhirat nanti. Tidak melulu terkontrol oleh pengaruh gadget dan semacamnya. Jikapun dirasa anak-anak mulai bosan, lesu, maka akan diselipkan kisah Nabi, Rasul, atau Wali Songo olehnya. Dan ajaibnya anak-anak langsung antusias mendengar ceritanya.

Ridwan pulang searah dengan Siddiq, maka dengan senang hati Ridwan menawarkan tumpangan.

Di jalan, Ridwan sampai dibuat bingung kala melirik kaca spion Siddiq membaca ayat kursi sambil memejamkan matanya.

"Kamu kenapa, Diq? Kelilipan?" tanya Ridwan.

"Iddiq lagi takut, Kakak guru handsome."

Ridwan terkekeh. Masih saja panggilan itu?

"Takut kenapa?"

"Orang-orang bilang tempat ini ada penunggunya, itu sebabnya Iddiq baca ayat kursi. Biasanya makhluk begituan takut kan sama ayat kursi? Ayat kursi kan kuat. Terus Iddiq tutup mata karena takut bisa liat yang gituan. Ihhh, ngeri."

"Memang kata siapa ayat kursi kuat?"

"Kata temen-temen."

Ridwan tersenyum samar saat Siddiq mengeratkan pegangan di pingganggnya. Ia bahkan merasa geli ketika jari-jari kecil itu menyentuh kulitnya yang terlapis koko.

"Yang kuat itu Allah, Iddiq. Jangan salah pengertian, ya. Ayat-ayat Allah itu hanya perantara, kekuatan tetaplah berasal dari-Nya. Banyak yang salah paham semisal 'Wah, dengan membaca ini orang bisa sembuh', 'Hebat, dengan membaca surat ini setan jadi kabur'. Kita jadi salah kaprah, harusnya percaya kekuasaan Allah, malah lebih percaya atas Ayat yang kita baca.

Sama halnya kayak 'Alhamdulillah, berkat berobat di dokter ini saya sembuh'. Itu masuknya syirik asghor, ada baiknya begini kalimatnya 'Alhamdulillah atas kuasa atau izin Allah, lewat dokter ini saya sembuh'. Terus jangan takut sama makhluk tak kasat mata, kita sama-sama ciptaan Allah. Selama kita tidak mengusik alam mereka dengan kencing asal, atau semacamnya, insyaallah mereka juga tidak mengganggu kita. Sampai di sini paham ya Siddiq?"

Tidak ada suara.

"Siddiq? Kamu denger Kakak?"

Ridwan langsung melihat ke kaca spion. Dilihatnya mata Siddiq benar-benar terpejam. Peci anak itu bahkan miring. Menutupi sebagian jidatnya.

Ridwan menggeleng geli. Tangan kirinya terjulur ke belakang untuk memegangi punggung Siddiq. "Dasar anak ini!" 

🌹🌹🌹

"Jadi bagaimana? Kamu udah janji mau jujur."

Aneska mengangguk.

"Katakan, Kak," bujuk Zara.

Wajah Aneska mendongak, melihat dua pasang mata yang sedang menatapnya penuh keingin tahuan. Jantungnya berdetak tak keruan, membuat jari-jarinya yang bertautan bermandikan keringat.

"Sebenarnya tujuan Anes ke sini ...." Ia menelan salivanya susah payah. Ia menghirup dan menghembuskan nafas berkali-kali sebelum akhirnya melanjutkan ucapannya. "Anes ingin masuk islam."

🌹🌹🌹

Semoga suka part ini ❤

Imam Penyempurna Agamaku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang