Jika Tuhan memberiku kesempatan untuk meminta apapun. Aku ingin memintamu dilimpahi kebahagiaan. Meski bukan aku yang menemanimu merasakan kebahagiaan itu.
~Imam Penyempurna Agamaku~
••••••
Bersamaan dengan mesin motor yang Zara keluarkan, ponselnya berdering. Di sana tertera panggilan dari seseorang yang sebentar lagi akan menjadi iparnya. Azid.
Zara mematikan dulu mesin motornya, lalu menoleh pada Sonia. Ia meminta pendapat untuk mengangkat atau mengabaikannya.
Sonia mengusap air matanya lalu mengulurkan tangannya pada Zara. "Biar Mama yang bicara."
Mereka berdua turun dari motor.
"Assalamu'alaikum, Zara."
"Wa'alaikumussalam."
Dari seberang telepon Ridwan terdengar seperti orang kaget. "Ibu? Maaf Bu menganggu, Zia ada di sana kan? Nomor Zia gak aktif. Perasaan Ridwan gak enak."
"Zia ada," balas Sonia singkat.
"Syukurlah. Sebenarnya ada yang mau Ridwan sampaikan. Maaf sekali Ridwan gak bisa ke butik hari ini, mendadak ada masalah di madrasah yang harus Ridwan urus. Sayangnya gak bisa ditunda. Ummi lagi menemani Abbi yang kurang sehat. Kalau lusa bagaimana, Bu?"
"Ya sudah, Nak. Gak apa-apa. Nanti Ibu sampaikan ke Zia. Semoga Abbimu segera sembuh dan urusan kamu selesai."
Helaan nafas lega begitu kentara keluar dari mulut Ridwan. "Aamiin. Sekali lagi mohon maaf ya, Bu. Sampaikan salam Ridwan ke Zia. Kalau sempat nanti Ridwan telepon lagi. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Zara langsung memegang lengan Sonia yang lemas.
"Mama punya alasan sendiri kenapa belum mengatakannya Zara."
Zara bungkam setelah Sonia menjelaskan tanpa diminta.
"Ya udah. Kita berangkat Ma."
🌹🌹🌹
Satu jam sebelum kecelakaan.
"Iya, Ma. Maaf. Zia gak bilang dulu mau berangkat duluan. Orang tua Karel minta ketemu sama Zia."
Mata Sonia membeliak. "Kenapa kamu gak ngasih tau Mama Zia? Sekarang kamu ada di mana? Mama mau nyusul."
Zia menyusuri jalan yang padat itu dengan terburu-buru. Ponsel yang digenggam oleh tangan kanannya dipindahkan ke tangan kiri. Suara mamanya di telepon sangat bising. "Ma ... Mereka bilang mau bertemu secara pribadi sama Zia. Ada hal penting juga yang mau dibicarain. Mama tenang aja, gak bakal kenapa-kenapa kok. Elgio juga ikut."
Ini yang Sonia tidak suka dari Zia. Putrinya ini selalu melakukan apa-apa sendiri. Merasa langkah yang dilakukannya benar tanpa meminta pendapat dari orang lain.
"Kamu pernah bertengkar hebat sama mereka karena meninggalnya Karel, Nak. Ibu mana yang nggak khawatir kalau setelah sekian lama mereka tiba-tiba minta ketemu lagi? Elgio masuk islam pun mereka menyalahkan kamu."
"Ya ampun. Kok Mama kayak suudzan? Percaya sama aku, Ma. Nanti kalau sekiranya suasana hati mereka baik, aku ajak ketemu sama Mama sekalian. Lagi pula gak baik kan memutus tali silaturrahmi? Mereka pernah jadi orang terdekat aku saat aku dan Karel masih sama-sama."
Sonia menyerah. Zia memang selalu menang jika berdebat dengannya. "Ya sudah kamu hati-hati."
"Iya, Ma. Kalau Mama duluan yang sampe ke butik, tolong sampaikan permintaan maaf Zia ke Ridwan datangnya telat. Kalian tunggu aja Zia. Assalamu'alaikum."
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Penyempurna Agamaku
Spiritual•••• Aku berada di jalan yang aku sendiri tak tahu bernama apa. Yang aku tahu hanya menapaki jalan itu selama masih mampu. Yang aku tahu hanya menguatkan diriku ketika ada kerikil yang melukai kakiku dan membuat langkahku melambat. Hingga akhirnya a...