"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq," suara Ridwan terdengar mantap dalam satu tarikan nafas.
"Sah?"
"Sah!"
"Alhamdulillah."
Semua orang yang hadir ikut berdo'a dan turut bahagia. Mereka tersenyum saat mempelai perempuan sudah keluar dituntun oleh Sang Ibu. Perempuan itu memakai gamis syar'i berwarna putih, ada beberapa hiasan sederhana dan tidak lupa cadar putih yang ikut menjuntai menutupi sebagian wajah cantiknya.
"Ayo, Nak," ucap Sang Ibu.
Si mempelai wanita menggangguk dan semakin mendekat ke arah Ridwan. Dengan hati yang gugup luar biasa Ridwan menatap sang gadis yang diperistri olehnya. Ia memberikan senyum terbaiknya.
Setelah segala urutan acara dilaksanakan, kedua mempelai duduk di pelaminan. Saat Ridwan berbisik tepat di telinga si perempuan, sebagian sanak saudara terkekeh.
"Acaranya masih lama ya, Sayang? Aku sudah ingin melihat wajahmu."
Seperti pada prosesi-prosesi lain, si mempelai perempuan tak mengeluarkan suara sedikitpun. Namun saat mereka berdua sudah di kamar, Ridwan kembali membujuk agar istrinya ini luluh.
Akhirnya dengan berat hati si perempuan mengiyakan. Perlahan ia berdiri di hadapan Ridwan dan menatap manik mata itu dengan saksama. Tanpa kata ia merengkuh Ridwan dan mengatakan maaf dalam hati. Tak berselang lama, karena ia melepaskan pelukan secara sepihak lalu perlahan tapi pasti jari tangannya mulai membuka pengikat niqab. Lalu muncullah wajah ... Zara.
Ridwan berjalan mundur. Bahkan tangan yang awalnya masih bertengger di bahu pengantin kini sudah terkepal di samping celana kain kesukaannya. Matanya memerah menahan kekagetan dan ledakan amarah.
"Apa yang kamu lakukan di sini Zara?! Ke mana istriku?"
"Aku!"
"Istriku Ziannisa Shidqiyah! Bukan kamu!"
Ridwan membalikkan badan. Dia memijit keningnya yang dilanda pening luar biasa. "Jelaskan padaku apa yang terjadi, atau aku yang memaksamu menjelaskannya!"
Zara menatap Ridwan yang kini memalingkan wajahnya. Dihirupnya oksigen banyak-banyak untuk mengatasi kegugupannya, nyatanya itu tidak membantu sama sekali. "Aku menggantikan Zia."
Rahang Ridwan mengeras. Ia mencengkram siku Zara dalam sekali hentakan hingga gadis itu menubruk dada Ridwan yang naik turun akibat emosinya. "Kamu gila?!"
Zara meringis karena cengkraman lelaki itu begitu kasar. Ia tidak pernah melihat Ridwan semarah ini sebelumnya.
"Sebenarnya .... Sebenarnya ...."
Ridwan menghentakkan lengan Zara dengan kesal. "Sebenarnya apa, Zara?! Sebenarnya kalian berdua sedang mempermainkan aku? Iya?"
Zara menangis tersedu-sedu. "Maaf, Azid, maaf."
Ridwan terduduk di pinggir ranjang. Ia mengacak rambutnya frustasi. "Aku melaksanakan ijab qabul atas namanya, bukan namamu. Lalu kenapa sekarang malah kamu yang berada di kamarku?"
Zara terdiam dengan air mata yang masih meleleh. Ridwan bangkit dan berbalik memunggungi Zara. "Pergilah, kamu bukan istriku! Ijab qabul itu tidak sah, kamu tahu kenapa alasannya."
Kriiingg
Suara alarm ponsel membangunkan Zara dari tidur lelapnya.
Zara bangun dengan perasaan campur aduk. Ia melihat sekeliling. Ranjang yang ia tiduri sekarang adalah ranjangnya dan warna catnya juga. Ini bukan kamar pengantin yang penuh dengan bunga. Ia menyeka keringat dingin yang menetes di dekat pelipisnya. Jadi tadi itu mimpi? Kenapa terasa begitu nyata?
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Penyempurna Agamaku
Spiritual•••• Aku berada di jalan yang aku sendiri tak tahu bernama apa. Yang aku tahu hanya menapaki jalan itu selama masih mampu. Yang aku tahu hanya menguatkan diriku ketika ada kerikil yang melukai kakiku dan membuat langkahku melambat. Hingga akhirnya a...