Bibir Aneska kelu saat gadis di hadapannya menatap lurus ke arahnya. Gadis itu memegang lengan Sonia meminta penjelasan, ia sama tercekatnya dengan Aneska.
"Ma, dia-"
Sonia mengangguk. Ia tahu kelanjutan dari ucapan gadis itu.
"Dia Aneska, kembaranmu."
Dua gadis yang berwajah sama itu saling menatap lagi. Ada kerinduan yang tersirat dalam tatapan itu. Aneska yang pertama kali meneteskan air matanya. Gadis di hadapannya menjatuhkan sapu lidinya begitu saja dan menubruk tubuh Aneska, mendekapnya begitu erat.
"Aku kangen kamu kembaran galak."
Aneska membalas pelukan itu. "Aku ... Aku juga, Zara cengeng."
Jika mereka masih sama seperti sebelumnya, tinggal bersama, mungkin Zara akan memberengut kesal karena dipanggil cengeng. Tetapi berhubung mereka sudah lama terpisahkan negara bahkan benua Zara hanya bisa membiarkannya. Sebab, dari lubuk hatinya yang paling dalam dia merindukan panggilan itu. Sangat.
"Jangan pergi lagi, aku mohon."
Aneska menggeleng lemah. Ia menaruh dagunya pada bahu kiri kembarannya dan tetesan air matanya bertambah deras. "Enggak akan."
Sonia yang melihat kedua putri kembarnya melepas rindu tak kuasa pula menahan air mata.
Ketika melihat jam di tangannya Sonia menghela nafas, mencoba memaksakan senyumnya. "Ayo kita pulang. Nanti bicaranya kita lanjutin di rumah."
Kedua putrinya melepas pelukan. Mereka menghapus air mata masing-masing.
"Ayo kita masuk dulu. Mama ke sini masak buat Bu Nyai kan? Sekalian izin."
Sonia mengangguk, Aneska memilih diam. Hingga tepukan di pundaknya membuatnya mengerjap.
"Ya, Ma?"
"Kalau kamu enggak mau masuk engga papa. Kamu tunggu di kursi sana ya!" tunjuknya pada sebuah kursi besi yang sudah pudar catnya di bawah pohon rindang.
Aneska menampakkan raut sendunya. "Maaf, Ma. Anes cuma ngerasa gak enak masuknya. Mama kan tau kalau-"
Sonia mengulurkan tangannya, mengelus pipi Aneska. "Iya, Mama paham."
🌹🌹🌹
"Kamu tau nggak? Aku sekarang punya semua buku Tere liye lho. Kamu masih suka dia kan?"
Aneska tersenyum, "Masih."
"Aku selalu inget kamu kalau lagi baca karyanya."
"Berarti kalau nggak baca karyanya kamu gak akan inget aku?" canda Aneska.
"Ish. Ya ingetlah! Mana mungkin aku lupa sama kakak kembaran yang galak ini. Tinggal di rahim yang sama, lahir di hari yang sama, dan punya wajah sama. Baju juga ukurannya sama kayaknya. Maka dari itu, sakit kamu sakit aku juga. Sedih kamu, sedih aku. Bahagianya kamu juga bahagia aku."
Aneska merasa matanya berkabut lagi oleh air mata. "Tapi Tuhan kita berbeda, Za."
Zara menggelengkan kepalanya. Ia mengusap air mata Aneska yang sudah siap meluncur bebas. "Ssshtt. Kamu tetap kembaran aku. Tadi apa kata aku? Sedih kamu, sedih aku juga. Maka dari itu jangan sedih lagi, jangan nangis lagi! Gak capek apa?Nanti tuh air mata abis gimana coba? Aku kangen Kak Aneska yang galak. Aku kangen kamu yang selalu marah kalau mainannya aku ambil, kamu yang ketawa gara-gara aku diomelin sama Mama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Penyempurna Agamaku
Espiritual•••• Aku berada di jalan yang aku sendiri tak tahu bernama apa. Yang aku tahu hanya menapaki jalan itu selama masih mampu. Yang aku tahu hanya menguatkan diriku ketika ada kerikil yang melukai kakiku dan membuat langkahku melambat. Hingga akhirnya a...