Untung Buntung

15 2 0
                                    

#Aksamerta
#Rabu, 23 Februari 2022
#Bab4_UntungBuntung
#TereLiyeTia

  Pukul lima pagi, ponsel Raga bergetar hebat. Mata cokelat Raga terbuka paksa, lalu diucek dengan punggung telapak tangannya. Jari ibunya dengan sedikit gemetar menekan simbol telepon agar tersambung dengan peneleponnya.

"Lu dimana, Ga?" tanya penelepon dengan nada panik.

"Kepo, lu! Siapa, sih? Pagi-pagi telep..."

"Gua Arvan, anjir. Lu ada di mana, hah?" tanya Arvan sedikit membentak.

"Ar-van?" Raga segera bangkit berdiri. Mendengar namanya saja Raga sudah merinding. Walaupun Arvan adalah sahabat sekaligus saudara tirinya yang dianggap baik dan perhatian, Arvan memiliki sifat membandel, yakni susah diajak kerja sama saat merahasiakan sesuatu kepada ayah mereka.

"Iya, gua Arvan, Ga. Makanya, dibaca tuh kontak nama gua," jawab Arvan menuturi lagi.

"Hehe, gua lagi di rumah temen, Van. Lupa balik gua," ucap Raga berbohong.

"Aelah, ati-ati yak! Ada duit gak? Gua ada orderan logo tadi. Gajinya lumayan sih, mau gak?" tanya Arvan sembari mencari aplikasi bank elektroniknya.

"Ada, kok...."

"Udah gua kirim empat ratus, ya!" sambung Arvan membuat Raga kaget bukan main.

"Udahan ya, gua mau istirahat.  Soalnya gua begadang, ehe. Jangan lupa makan lu!" pamit Arvan lalu mematikan sambungan telepon. Raga tentunya hanya mengerenyitkan dahi meskipun hatinya senang dengan transfer-an uang dari saudara tirinya itu.

"Dapet duit tuh," goda Adhira yang sedang memasak mie instan di dapur.

  Mata Raga serasa segar melihat pemandangan itu. Adhira menggunakan kaos merah yang rupanya berasal dari Yogyakarta. Rambut Adhira diikat asal-asalan dengan jedai putihnya. Tak lupa Adhira mengenakan celana tiga perempat yang ia beli di pasar minggu beberapa bulan yang lalu.

"Buset, dah bangun lu?" tanya Raga basa-basi.

"Udahlah, lu kira gua apa?" tanya Adhira sinis.

"Lu? Calon bini gua-lah," rayu Raga lalu segera berlalu ke kamar mandi dengan santai.

"Gila, masih pagi dah bikin anak orang sesek aja," batin Adhira lalu tersenyum salah tingkah.

"Inhaler mahal, jangan sesek, ye!" teriak Raga di tengah menggosok gigi. Adhira kaget dan rasanya ingin mendobrak pintu kamar mandi. Untung kesabaran Adhira melebihi Ratu Drupadi.

  Akhirnya mereka sarapan bersama, begitupula dengan Raga yang masih telaten menyuapi Tia. Adhira lalu mengambil piring Tia, "Biar gua aja yang suapin. Lu fokus makan juga," katanya.

"Lu cewe, butuh makan banyak. Soalnya kegiatan lu banyak juga," tolak Raga lalu mengambil piring Tia.

"Lu kerja, Ga. Justru butuh banyak energi juga," sahut Adhira lagi.

"Papa--Mama, suapin Tia!" rengek Tia sambil memegang perut buncitnya.

  Raga memegang sendok lalu mengangkat tangan Adhira. Tangan Adhira yang berkulit kuning langsat itu diletakan di atas tangannya. "Kita suapin bareng!" titahnya dengan berbisik. Adhira tersenyum dan mengangguk setuju. Mereka berdua dengan kompak menyuapi Tia bersama-sama.

  Sampai akhirnya jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Raga harus segera berangkat ke kantor FineJek. Sebagai karyawan baru, masuk terlambat adalah phobia terbesarnya kini. Meskipun tempat kerjanya tidak terlalu disiplin seperti perusahaan lain, tapi Raga selalu memegang prinsip kedisiplinan yang selalu digunakan oleh Wijaya, ayahnya. Raga berpamitan dengan Adhira, tentu dengan Tia yang amat ia sayangi itu.

Tere Liye Tia (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang