#Aksamerta
#Sabtu, 5 Maret 2022
#Bab13_BebasTapiTakMenang
#TereLiyeTiaPolisi membukakan penjara lalu meraih tangan Raga. Dengan gemetar, Raga menuruti arahan polisi untuk bebas dari penjara. Iya, hari ini Raga resmi menghirup udara segar. Setelah sekian lama, bergelut dengan beratnya kehidupan, kini Raga sudah diperbolehkan bebas.
Bebas tak menang, itu yang dirasakan Raga. Dari ujung lapas, sorakan mengerikan terdengar. Para warga internet siap memaki-maki Raga dan membawa poster besar bertuliskan, 'Pura-Pura Buta Untuk Meringankan Hukuman'. Benar, lima belas tahun berlalu, tapi Raga tetap dianggap berpura-pura buta di jagad maya. Media juga menggoreng perkara ini dengan cara menunjukan foto-foto Raga yang masih bisa melihat, lengkap dengan jas hitam yang ia kenakan setiap kali rapat di kantor.
Saat pintu lapas dibuka, suara itu semakin jelas. Raga bahkan sampai tak bisa melewati orang-orang jahat itu. Maka dilemparinya lelaki malang itu dengan kerikil, lalu berteriak ;
"Jangan pura-pura buta lu!"
"Pembunuh, lu!"
"Lu ga layak bebas, tapi layak mati!"
Raga gemetar mendengar itu semua dan pikirannya melayang ke mana-mana. Ada juga wartawan dan orang-orang jahil merekam setiap gerak-gerik Raga dan perilaku masyarakat itu. Polisi-polisi juga sudah tidak bisa melerai orang-orang itu.
"Mas!" panggil Adhira lalu berlari ke arah suaminya dengan panik.
"Yee, dateng juga bininya, nih. Pergi aja kali, ya! Takut dibunuh, ha-ha-ha-ha!" Masyarakat akhirnya bubar, diikuti oleh media dan perekam jahil itu.
"Adhira?" tebak Raga sembari mengelus bahu istrinya dengan lembut.
"Iya, Mas. Ayo pulang!" ajak Adhira lalu berdiri di samping Raga. Tangannya yang kurus itu merangkul suaminya dan menuntun ke taksi.
"Ti-a?"
Adhira tersentak, lalu menjawab, "Tia masih ada kelas, Mas."
"Oho, kau mengkuliahkannya? Adhira, Kamu hebat banget," puji Raga sambil berjalan terpincang-pincang mengikuti arahan Adhira.
"Ah, biasa saja, Mas. Ayo masuk!"
Raga hanya diam terpaku di dalam taksi, pikirannya melayang bukan main. Dia masih mengingat setiap ucapan masyarakat dan upaya masyarakat menjatuhkan martabatnya dengan cara dilempari kerikil. Dia hanya ingin namanya bersih sebelum kematian, bisakah, Tuhan?
Akhirnya taksi biru muda itu sudah mendarat ke rumah mereka. Tentu tak lupa Adhira membayar dan menuntun Raga masuk ke rumah yang dahulu ia perjuangkan mati-matian.
"Rumah kita masih bertahan, ya?" Raga duduk dengan gemetar di sofa empuknya.
"Harus, Mas ... kan' ini jerih payah kamu." Adhira melepas pakaian lusuh suaminya, kemudian diganti dengan pakaian yang semalam baru ia beli khusus untuk Raga.
"Andai kamu bisa lihat, Mas ... pasti kamu akan membanggakan ketampananmu," batin Adhira lalu mengelus kepala Raga dengan lembut.
"Dhira, Tia masih lama ya? Aku kangen sama dia," tanya Raga penasaran.
Adhira memasang wajah muram, "Aku kangen kamu--kamu malah kangen Tia. Ngeselin banget, ih!" protes Adhira lalu melipat tangannya.
"Astaga, kamu ga berubah, ya! Posesif betul sama anaknya. Sini-sini, ooohooo!" Raga meminta Adhira duduk di sampingnya untuk dipeluknya.
"Mas Raga bikin kesel, deh!" Adhira langsung bermanja-manjaan di pelukan suaminya.
"Aku mau nonton TV, ah ... mau lihat berita terbaru," ucap Adhira lalu menyalakan televisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tere Liye Tia (END)
Romance"Gelapku akan lebih indah jika Tia dapat menangkap indahnya surya." Raga mengangkat pipi Adhira, menatap bola mata istrinya dengan dalam-dalam. "Gelap dalam dinginnya tembok sengsara?" tanya Adhira dengan penuh penegasan. "Sengsara untuk Tia? Tidak...