Lenyap

10 1 0
                                    

#Aksamerta
#Rabu, 2 Maret 2022
#Bab10_Lenyap
#TereLiyeTia

"Tia bertahan ya, Sayang! Papa Mama mohon!" rengek Adhira sambil mendorong ranjang beroda yang ditiduri oleh Tia.

"Tia, Papa mohon, Nak!" batin Raga rasanya campur aduk. Rasa takut yang menggebu-gebu, di sisi lain juga ingin melenyapkan diri sendiri. Bisa-bisanya dia begitu ceroboh. Belum satu bulan dia membahagiakan Tia, apakah Tia akan lenyap siang ini.

  Tia segera dibawa ke UGD dan segera diperiksa matanya. Sementara Adhira panik bukan main, ia mondar-mandir tidak jelas dan berulang kali mengacak-ngacak rambut. Ia tak bisa membayangkan hidupnya tanpa Tia, bahkan Tia sampai terluka sedikitpun ia semakin tak kuasa menahan sakit di hatinya.

"Mas Raga!" Adhira segera minta dipeluk oleh suaminya, maka dengan cekatan Raga memeluknya.

"Semua akan baik-baik saja, percayalah!" bisik Raga sembari mendekap Adhira. Adhira mengangguk di pelukan Raga dan ia baru sadar jika suaminya tak sengaja membunuh seseorang.

"Mas ga bakalan dipenjara, 'kan? Mas ga akan tinggalin aku, 'kan?" tanya Adhira lalu dia terkena serangan panik yang semakin parah.

"Aku tidak bisa berjanji, Adhira. Kemungkinan besar aku akan dipenjara dan menghabiskan masa tuaku di sana. Aku telah membunuhnya, dan aku harus membunuh segala kebahagiaanku di balik jeruji besi," jawab Raga sembari melepaskan pelukan Adhira.

"Mas ga salah, dia sudah menembak dirinya sendiri. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Mas," ucap Adhira.

Raga tersenyum miring, "Ketika jenazah ditemukan dan DNA pada pistol itu menunjukan diriku, maka aku tidak akan bisa membela diri, Adhira. Bahkan di ruangan kosong tadi tidak ada DNA maupun saksi," ungkap Raga dengan pasrah.

"Gak! Mas Raga ga bakalan ninggalin aku, Mas! Ga bakal!" rengek Adhira sambil memeluk Raga dari belakang.

  Suara gesekan pintu mulai terdengar, tanda dokter keluar dari ruangan periksa Tia. Segera sepasang suami istri menghampiri dokter laki-laki itu.

"Anak kami--anak kami bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Adhira dengan panik.

"Kami berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan matanya, tapi itu nihil besar. Tia akan mengalami kebutaan total," jelas dokter membuat jantung Adhira terhenti sejenak.

"A-nakku," lirih Raga sambil merangkul istrinya dan berusaha menenangkannya.

"Apakah tidak ada cara agar anak saya dapat melihat lagi, Dok? Dia masih terlalu kecil untuk menjadi buta, Pak. Saya--saya sebagai ayahnya tidak akan mampu melihat anak saya dipenuhi kegelapan," tanya Raga dengan sedikit terbata-bata.

"Iya, Dok ... berapapun biayanya itu akan kami perjuangkan, Dok!" pinta Adhira sambil menggoyangkan lengan pak dokter.

"Ada, salah satunya adalah donor mata. Namun, saat ini kami pasti sangat kesulitan mendapatkan donor mata tersebut. Biasanya akan kami dapatkan kira-kira dua sampai tiga tahun-an. Apakah bisa menunggu?" tawar dokter dengan ramah.

"Astaga, itu lama sekali untuk Tia-ku," rengek Adhira dengan putus asa.

"Dok, bagaimana kalau hari ini saja?" tanya Raga.

"Bisa saja, Pak. Masalahnya, kami belum menemukan pendonor mata itu," ulang dokter dengan aksen khasnya.

"Saya bisa, Pak," jawab Raga, membuat Adhira tersentak.

"Ga boleh, Mas ... jangan!" rengek Adhira lebih kencang lagi.

"Tidak ada solusi lain, Adhira. Aku dan kamu sama-sama tidak tega melihat dia menderita, kan'? Sudahlah, biarkan saja aku buta untuk Tia," ucap Raga lalu tersenyum seolah ia tegar dengan kenyataan hidup ke depannnya.

"Enggak, Mas! Aku ga akan biarin kamu buta!" tolak Adhira dengan tegas.

Raga memutar tubuh Adhira lalu berkata, Gelapku akan lebih indah jika Tia dapat menangkap indahnya surya."

"Gelap dalam dinginnya tembok sengsara?" tanya Adhira dengan penuh penegasan.

"Sengsara untuk Tia? Tidak ada sengsara untuk Tia, Dhira. Akan lebih sengsaranya aku jika melihat anak manis itu tak mampu menaiki tangga masa depannya dengan percaya diri." Lagi dan lagi, Raga meyakinkan Adhira. Sungguh hancurnya Adhira kini, anak atau suami yang ia pilih?

"Apa liat-liat?! Sana, ih! Ngeselin banget!" protes Adhira saat Raga masih menatap wajahnya yang cantik.

"Aku tidak akan melihat wajahmu lagi, maka aku harus puas-puasin ngelihat wajah kamu," ucap Raga membuat Adhira semakin emosi.

"Bisa-bisanya, loh!" Adhira gemetar lalu merangkul Raga. Ia tak paham lagi harus melakukan apa sekarang. Jika boleh memilih, lebih baik dia yang buta untuk suami dan anaknya.

"Mas, jadi?" tanya dokter sambil memegang tangan Raga.

"Boleh, ya?" pamit Raga dengan memberikan bisikan lembut di telinga Adhira.

"Ga boleh!" larang Adhira sambil memukul dada Raga.

"Demi Tia, Sayang ... mau ya?" tanya Raga sekali lagi.

"Mas Raga--jangan!" Adhira langsung bersimpuh di kaki Raga dan memeluk kaki suaminya.

"Kamu punya solusi?" tanya Raga sambil mengelus punggung Adhira.

"Ga punya, tapi--"

"Mas, kami tidak punya banyak waktu karena pasien masih banyak," potong dokter sementara kondisi rumah sakit dipenuhi dengan dorongan troli kasur.

"Ba-ik, Dok. Saya harus ke mana untuk melanjutkan proses operasi?" tanya Raga dengan mengabaikan Adhira yang menangis sejadi-jadinya di bawah kakinya.

"Mari ikut saya!" ajak Raga, sementara Raga melepas paksa tangan Adhira.

"MAS RAGA--JANGAN! MAS RAGA!' teriak Adhira histeris lalu menangis di tepat. Semua orang memandang Adhira, "Mengapa dia menangis seperti itu?" cibir salah seorang keluarga pasien.

  Adhira berjalan tertatih sambil mendorong troli kasur Tia ke ruangan UGD spesialis bedah mata. Wajahnya benar-benar datar, matanya masih mendaraskan beribu air, sementara hidungnya kemerahan. Rambut perempuan itu yang awalnya rapi, kini sudah berantakan bukan main.

  Raga dan Tia kini hanya dibatasi oleh kelambu. Adhira menunggu di luar, bibirnya tersenyum melihat Tia akan bisa melihat. Sementara Raga, dia masih membuka matanya dan tersenyum manis saat Adhira melihatnya.

"Semangat cantik." Bibir Raga mengarahkan kedua kata itu dibalas anggukan lemas Adhira.

  Dokter dan pekerja UGD lainnya yang ada di sekitar Tia saling menganggukan kepala, lalu  melakukan proses pembedahan sesuai instruksi dokter utama. Sementara Raga disuruh tenang dulu dengan diberi beberapa minuman segar dan makanan ringan.

  Ketika lampu ruangan sudah nyala, itu tandanya operasi akan segera dimulai. Di tengah kegudahan hatinya, Adhira lagi-lagi membanting diri ke lantai, mengelus kakinya sekalian memijat juga.

"Mengapa Tuhan? Hari ini kami hanya ingin membahagiakan Tia. Kami ingin membelikan boneka Barbie diimpikan anakku. Memberikan apa saja yang diinginkannya. Namun, kenapa perempuan gila itu datang dan menghancurkan semuanya? Mengapa, Tuhan ... mengapa?!" batin Adhira disambut juga dengan menangis sesanggukan.

  Operasi berhasil, kini Tia sudah memiliki kedua bola mata ayahnya. Sementara Raga resmi menjadi buta dan menjalani kehidupannya dengan kegelapan. Semua mimpi-mimpi yang dibagun Raga bersama keluarganya kini dalam waktu dua puluh empat jam.

"Kini terserahMu Tuhan, aku sudah tidak tahu lagi. Sejatinya menjadi buta adalah mimpi burukku dan mimpi buruk setiap insan di dunia ini. Tetapi Tuhan, sayangnya cintaku padaMu dan kepada Tia setara. Maka Tuhan, aku hanya bisa menerima segala hal yang sudah terjadi padaku ini dan jangan pernah biarkan aku jauh dari padaMu," harap Raga sembari meraskaan gelapnya dunia yang pekat itu.

Tere Liye Tia (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang