Dewasa

10 1 0
                                    

#Aksamerta
# Jumat, 4 Maret 2022
#Bab12_Dewasa
#TereLiyeTia

  Lima belas tahun kemudian, di sebuah hiburan malam lengkap dengan gemerlap lampu yang warna-warnanya menyala bergantian, menarilah gadis cantik kesayangan Raga yaitu Tia. Anak perempuan itu menggoyangkan kepala tak tentu arah dan sama sekali tidak sesuai dengan beat musik yang ada. Sudah ada tiga sampai lima gelas yang ia teguk sekarang, sampai pikiran dan hatinya tak bisa berjalan seimbang lagi.

  Antara masih menghubungi Tia sambil menggerutu di atas mobilnya. Ia sudah yakin, pasti kekasihnya sedang mabuk sekarang. Ia menaikan kecepatan mobilnya dan melesatkan diri ke hiburan malam yang sudah menjadi langganan Tia dan teman-temannya.

"Ih, gua lagi, sih?" protes Tia sambil berdecak kesal.

"Ayolah, sekali lagi!" paksa teman-temannya.

  Tia saat ini sedang kesal dengan kelakuan teman-temannya. Bagaimana tidak? Ia dipaksa untuk melepaskan pakaian karena teman-temannya kalah bermain judi di hiburan malam itu. Sejujurnya ini bukan pertama kali, tapi sudah hampir tiga kali ia yang mengorbankan harga dirinya dipermalukan. Nasib menjadi ketua geng perempuan ya seperti ini, menjadi tumbal kenikmatan kawan-kawannya.

"Ya udah, nih." Tia akhirnya melepas pakaian dalam keadaan mabuk.

"Tia!" Antara datang tepat waktu lalu memeluk Tia agar Tia tidak menunjukan tubuh moleknya di depan tamu hiburan malam.

"Cepat, pakai bajumu!" bisik Antara saat memeluk Tia, dalam keadaan mabuk pula Tia memakai bajunya lagi. Antara lalu melepas pelukannya dan merangkul Tia untuk menuntunnya pulang.

"Woy, terus siapa nih yang kalian taruhin?!" tanya Ridwan, salah satu musuh geng Tia.

"Em, Tara, gapapa ya?" pinta Vino seolah memaksa Antara agar memperbolehkan Tia melepaskan pakaiannya di depan tamu hiburan malam itu.

"Ga boleh, ini sudah ketiga kalinya, ya," tolak Antara dengan tegas.

"Yang, gapapa, ya? Kasian mer--"

"Enggak, Tia! Harga diri kamu lebih berharga dari temen-temen kamu yang penjudi ini," larang Antara lalu mengencangkan jaket yang dipakai Tia.

"Lu kalah berapa? Gua bayarin," ucap Antara lalu mengambil dompetnya.

"Sepuluh juta, Tar," jawab Vino dengan gemetar.

"Nih, gesek aja!" titah Antara lalu memberikan kartu ATM-nya pada Vino.

"O-oke, makasih ya--"

"Buruan, gua mau balik," potong Antara lalu mendorong tubuh Vino untuk segera pergi ke ATM sebentar.

   Setelah urusan dengan geng musuh sudah selesai, Antara membawa Tia pulang di mobilnya. Selama perjalanan, Tia hanya diam dan membelakangi Antara tanpa alasan. Tia berulang kali menghela napas, membuat Antara risih betul dengan kelakuan kekasihnya.

"Kenapa?" tanya Antara dengan tatapan fokus ke depan. Tia menghela napas, lalu menggeleng dengan sinis. Tia memegang kepalanya, lalu menyederkan diri ke kursi mobil Antara.

"Mabuk?" tebak Antara dengan raut datar karena sudah tak tahan lagi dengan kelakuan kekasihnya.

"Hm."

"Calon dokter kok mabukan," sindir Antara lalu menggeleng.

"Dih, ngeselin banget! Lagian, ya ... ngapain sih kamu tadi ngomong gitu?" tanya Tia seolah meminta Antara klarifikasi.

"Hadeh, salah lagi. Aku salah ngomong apa lagi, sih?"

"Kamu tadi bilang kalau harga diri aku lebih berharga ketimbang geng aku, kan'? Keterlaluan banget kamu, ya?!" protes Tia sukses membuat Antara naik darah.

"Papa kamu mati-matian menjaga harga dirimu waktu kecil, tapi sek--"

"Papa? Kamu bilang apa? Papa?!" Tia sontak tertawa miris menikmati nasib mirisnya.

"Aku benci Papa, aku benci Papa. Aku malu memiliki Papa, lebih baik aku tidak memilik Papa," lanjutnya lalu menghentikan tawanya dan merubah raut mukanya jadi datar.

"Setidaknya jaga harga dirimu untukku," ucap Antara.

"Ingat, ga selamanya aku ada sama kamu. Untung aku dateng tadi, kalau gak? Sudah jadi apa kamu? Gimana kalau ada yang merekam tubuhmu? Terus di-viralin gitu aja? Mikir, ga sih?" omel Antara lalu menambah laju mobil agar segera sampai ke rumah Tia.

  Adhira duduk di sofa, memeluk pigura yang berisi foto pernikahannya. Tangannya mengelus lembut pigura itu dan meneteskan air mata dengan sedih.

"Apa kabar, Mas? Sudah makan? Dhira kangen sama Mas," ucapnya lalu tersenyum tipis. Ia memeluk dan mengingat kenangan manis bersama Raga.

  Ia menghela napas dan menghapus air mata dengan cepat saat suara mobil Antara berlabuh di depan rumahnya. Tangan yang penuh urat itu membuka pintu, lalu tersenyum ramah ke arah Antara dan Tia yang sedang berjalan masuk ke rumah.

"Maaf kemalaman, Tante. Saya tadi ada kelas malam dan Tia tad--"

"Hem!" Tia masuk dengan sempoyongan ke rumahnya.

"Dia mabuk lagi?" tanya Adhira dengan sedih.

"Iya, Te ... Antara minta maaf karena ga bisa jagain Tia," aku Antara lalu menunduk malu.

"Tara ga salah, kok." Adhira menaikan tubuh Antara, "Kamu sudah banyak direpotkan sama anak Tante, maaf, ya!"

"Iya, Te. Em, Tara izin pulang ya. Soalnya sudah malem," pamit Antara lalu mencium telapak tangan Adhira.

Pyar!

"Astaga!" Adhira segera berlari ke dalam, diikuti juga dengan Antara yang belum pulang.

"Tia, kenapa, Nak?!" tanya Adhira lalu mengambil pigura foto pernikahannya yang dipecahkan oleh Tia.

"Kenapa ada wajah pembunuh itu di depan mataku? Kenapa?!" bentak Tia sembari menunjuk-nunjuk Adhira seolah menghakimi ibunya.

"Tapi ga harus dipecahin juga, kan'? Ini foto Mama-Papa kamu, loh, Nak. Kamu tega banget sama kita," rengek Adhira tak percaya sambil memungut pecahan kaca yang bersebaran di lantai.

"Tia, kamu boleh mabuk, tapi jangan membuat Mamamu sedih!" tutur Antara dengan nada lembut.

"Antara kenapa kamu belum pulang? Ini urusan keluarga aku--bukan keluargamu. Kamu punya keluarga bahagia dan kaya, ga kayak aku," usir Tia dengan kasar.

"Aku tahu, tap--"

"Antara, kamu lebih baik pulang, ya! Ini urusan keluarga Tante. Maaf ya, Nak!" pinta Adhira membuat Antara tak sanggup lagi menolak permintaannya.

  Antara akhirnya pulang, dan dalam rumah itu tinggal ada dua orang saja. Tia duduk di sofa, lalu meregahkan tubuhnya agar merasa tenang. Adhira hanya diam dan memutuskan segera menyapu lantai agar butiran beling tidak menusuk kakinya maupun anaknya.

"Papa kamu bentar lagi bebas," ucap Adhira basa-basi lalu meletakan sapu lagi.

"Terus?"

"Kamu harus segera merubah pola pikir kamu tentang Papa. Masa kamu akan bersikap tidak sopan begini di hadapannya?" Adhira duduk di samping Tia lalu mengelus bahunya.

"Berbicara lembut kepadanya? Ma, semua mengenalnya sebagai pembunuh, aku juga memikirkan itu. Aku melihat dia membunuh ibuku dengan kejam, dan Mama minta aku ngomong lembut ke dia?!" protes Tia lalu membuka ponselnya.

"Lihat, lima belas tahun sudah berlalu begitu saja. Tapi, semua media masih membicarakan tentang Papa. Tia dibully sama temen-temennya Tia karena Papa--Tia menderita karena Papa--Tia kehilangan arah kehidupan karena Tia--Tia malu punya Papa!" cerocos Tia sembari memperlihatkan jutaan meme dan berita Raga pada Adhira.

"Tia malu, Ma--malu!" Tia menangis sesanggukan lalu melempar ponselnya begitu saja ke arah Adhira.

  Adhira gemetar melihat suaminya dibully habis-habisan di sosial media. Ia tak menyangka semua orang tidak ada yang memahami perasaannya dan Raga.

"AGH!" teriaknya lalu melempar ponsel Tia dengan kesal.

Tere Liye Tia (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang