Bongkar!

13 1 0
                                    

#Aksamerta
#Rabu, 16 Maret 2022
#Bab22_Bongkar
#TereLiyeTia

   Pukul setengah tujuh Adhira terbangun karena mendengar isak tangis anaknya. Segera ia memegang bahu Tia, lalu dibangkitkan dari rebahnya. Tangan lembut mulai menghapus air mata Tia pelan-pelan lalu menarik tubuh Tia ke rangkulannya.

"Tia kenapa?" tanya Adhira penasaran.

"Tia di-bully, Ma. Jadi ini yang dirasakan Papa selama ini. Hancur--lebur dan hatinya pontang-panting karena dibully oleh netizen. Ma, ini lebih menyakitkan dari yang Tia kira," keluh Tia lalu merekatkan pelukannya kepada Adhira.

"Tia? Apakah kamu siap?" tanya Kelinda mengejutkan keduanya.

"Su-dah, Kak." Tia berdiri dan masih dipegang erat oleh Adhira.

"Aku tahu kamu kenapa, Tia. Itulah yang kemarin aku rasakan saat menyebarkan audio rekaman suara Om Raga. Hancur, tapi cita-cita kemenangan menyusun kembali jiwaku. Ayo, semangat!" Kelinda menyudutkan tangan dan lengannya dan Tia dengan antusias memasukan tangannya ke sudut itu.

  Akhirnya mereka makan bersama di kantor polisi dan mendiskusikan rencana semalam supaya lebih mantang sehingga tidak ada hal buruk yang dapat merusak kerapian rencana. Tia dan Adhira segera pergi ke kantor polisi yang menyimpan CCTV kejadian Raga dan Larni dari media. Ahli forensik mengajak Kelinda ke rumahnya untuk mengambil stampel DNA Larni, sementara Mahesa dan Polisi Ramli bertugas menjadi pembongkar yang sebenarnya.

Polisi akhirnya menanyakan apa yang terjadi pada Tia dan Adhira dan tentunya jurnalis-jurnalis tak bernurani itu mengikuti jejak  mereka sekalian merekamnya. Tia dan Adhira tahu itu sehingga bertindak berlebihan terkait yang terjadi padanya.

"Jadi Anda mendapatkan hujatan kejam dari netizen?" tanya polisi dengan tatapan serius.

"I-ya, Pak. Dia adalah Antara Vandelino, Pak. Saya benar-benar sakit hati dan meminta agar hukum bergerak dalam kasus penghinaan ini!" rengek Tia dan semakin kamera menyorotnya--semakin keras pula ia menangis.

"Saya mau dia dipenjara, Pak!" Adhira mengotot kuat, lengkap dengan mata melotot yang hampir saja keluar dari dasarnya.

"Tak apa masyarakat membully-ku sekarang, karena kemenangan suamiku ada di depan mata," batin Adhira dengan bangga.

"Apakah Anda bukti?" tanya polisi dan dibalas anggukan penuh kepastian.

"Ini, Pak! Ini!" Tia menunjukan komentar buruk Antara lalu dibalas anggukan paham oleh polisi.

"Ini, Mas! Sorot kamera, Mas!" perintah Tia setengah menahan tawa karena kamera semangat betul merekam tindakannya sekarang.

"Iya, Mbak--tenang, ya! Mbak beneran anaknya Mas Raga, ya?" tanya salah seorang wartawan.

"Iya, kenapa? Ga percaya?! Jahat, ya ... kalian ga hanya ga percaya sama Papa, tapi sama aku juga?" protes Tia sambil menoel-noel rok Adhira seolah memberikan kode agar Adhira segera mengirimkan pesan kepada rekan mereka bahwa tingkahnya telah berhasil. Adhira ssgera mengirimkan pesan kepada Mahesa dan Mahesa hanya membaca pesan itu sambil mengangguk.

"Sekarang, Pak!" perintah Mahesa sambil berbisik.

"Tara, siap-siap, ya!" Mahesa menepuk pundak anaknya yang bersebrangan dengannya. Polisi Ramli menghela napas, lalu dengan hati-hati menembakan peluru di tanah.

DOR!

DOR!

DOR!

  Polisi dalam ruangan langsung kaget, sementara Polisi Ramli dan Mahesa berlari meninggalkan Antara sesuai dengan rencana mereka. Polisi dalam ruangan langsung berlari ke luar diikuti para wartawan, sementara Tia dan Adhira yang tahu tentang semuanya turut keluar juga supaya tidak ada kecurigaan di antara mereka.

"Siapakah di sana?!" Polisi dalam ruangan tadi menaikan pistolnya, lalu berjalan mengendap-endap supaya tidak ketahuan. Dia menemukan Antara yang berdiri santai sambil memegang pistol dan mereka yakin bahwa Antara adalah pelaku peneroran itu. Antara langsung kabur, mereka mengejarnya.

  Melihat kondisi aman, barulah Mahesa dan Polisi Ramli masuk untuk mencari CCTV. Ini masa yang tepat, bahkan sangat tepat. Rencana berjalan tujuh puluh lima persen, ini hampir berhasil. Mahesa dan Polisi Ramli cepat-cepat mencari CCTV supaya segera disalin di flashdisk milik Mahesa.

  Meskipun dipastikan aman, mereka tetap saja mencari dengan terburu-buru karena kemungkinan orang jahil datang menakuti mereka. Mereka sesekali menggaruk kepala dengan depresi karena tak kunjung mendapatkan apa yang mereka harapkan.

"Sudah lima belas tahun berlalu, di mana mereka menyimpan file itu?!" gumam Antara sambil terus mengutak-atik komputer kantor polisi itu.

"ITU!" teriak Polisi Ramli dengan bangga sambil menunjuk adegan Larni menggendong Tia. Mahesa dengan gemetar menyalin video CCTV itu ke flashdisk-nya.

"Delapan puluh persen, berhasil!" seru Polisi Ramli dibalas anggukan mantap dari Mahesa.  

"Akhirnya Raga menang--akhirnya!" Mahesa bersujud lalu menenggelamkan kepala pada lantai-lantai ruangan. Polisi Ramli mengelus punggungnya dan tanpa sadar meneteskan air mata ketulusan.

"Awalnya aku melakukan ini untuk mendapatkan reputasi semata. Tapi dari pengalaman ini aku belajar banyak makna mempertahankan piagam jati janganlah terlalu kuat--tapi tetaplah menggunakan kata hati. Pak Esa mengajarkanku untuk lebih dekat dan mencintai sahabat--sementara Pak Raga membuatku rindu dengan putriku yang berkuliah di luar negeri. Pak Esa, seluruh dunia akan mengharapkan memiliki sahabat sejati seperti Bapak," puji Polisi Ramli sambil berusaha mengangkat kembali tubuh Mahesa.

"Jika petugas keamanan dan pertahanan di Indonesia sepertimu, maka tidak akan ada lagi orang jahat yang mengancam negeri ini, Pak." Singkat, tapi berhasil membuat hati Polisi Ramli berbunga. Keduanya berpelukan dan menenangan diri masing-masing.

"Wah, drama yang bagus, ya!" puji seseorang di belakang mereka. Dia membawa kamera, lalu seorang notulen menuliskan deskripsi kejadian barusan di depan sambil tersenyum jahat. Rupanya lagi-lagi mereka membuat naskah berita palsu lagi.

"Berikan flashdisk itu--kupastikan aman di tanganku," hasut jurnalis itu membuat Mahesa dan Polisi Ramli.

"Tidak--tidak akan aku lakukan itu kepada kalian! Polisi Ramli!" teriak Mahesa dan Polisi Ramli dengan cepat menaikan pistol ke arah mereka.

"Kesalahan kami tidak setara denganmu, jadi jangan sampai bibir orang tua ini menyebarkan semua cerita burukmu," ancam Polisi Ramli membuat nyali jurnalis ciut. Mereka memundurkan tubuh lalu berlari terbirit-birit.

"Lebih takut penjara daripada dosa--dasar pemuda zaman sekarang!" gumam Mahesa.
.
"Hey!" teriak Polisi Ramli lalu mengejar jurnalis dan notulensinya. Jurnalis berhenti dengan ketakutan, lalu dengan napas memburu ia mengangkat tangannya.

"Nyawa lenyap atau bantu kami?!" ancam Polisi Ramli dengan kegagahannya.

"Ban-tu, Pak--bantu," jawab jurnalis itu lalu Polisi Ramli menurunkan pistolnya.

  Akhirnya mereka segera ke rumah ahli forensik untuk menyelesaikan kasus ini sampai habis. Di sisi lain, drama pengejaran Antara belumlah usai. Saat jarak antara pengejar dan dirinya sedikit jauh, ia segera menelepon Mahesa.

  Tibalah paling menegangkan, polisi menembak Antara dari jauh. Tia panik bukan main dan berusaha meminta kepada polisi untuk menghentikan langkahnya. Tapi polisi tetap kekeuh dan malah terus menembaknya. Saat mereka sudah benar-benar dekat, polisi tinggalah menaikan pistol di atas dahi Antara.

"Tara--lari, Nak!" teriak Mahesa sambil memencet klankson motornya. Antara mengangguk, lalu berjalan meninggalkan polisi. Tentu polisi tak tinggal diam, ia mengarahkan pistolnya tepat dan menekan pedal pistol hitamnya di belakang punggung Antara.

Tere Liye Tia (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang