#Aksamerta
#Jumat, 25 Februari 2022
#Bab6_Sah!
#TereLiyeTia"Pa, Dhira mohon lepasin kita berdua, Pa!" seru Adhira sembari berusaha melepaskan diri dari cengkraman ayahnya.
"Papa--Mama, Tia ga mau sendilian!" rengek Tia di ujung kamar Adhira.
Debora yang melihat Tia langsung menghampiri bocah malang itu. Ia menggendong dan menepuk punggung Tia agar sedikit tenang. Seluruh penghuni apartemen hanya menggeleng dan mencibir Raga dan Adhira. Mereka menganggap Adhira telah membawa lelaki di kamarnya tanpa adanya ikatan suami istri.
"Ada apa ini, Pak Bhama? Kenapa Mbak Dhira diseret begitu?" tanya Pak Joko sambil menaikan sarungnya sampai ke atas pusarnya.
"Bapak bilang kalau apartemen ini adalah apartemen yang aman, terus ini apa? Laki-laki ini apa?! Bisa-bisanya dia lolos pengawasan Bapak?" Bhama menunjuk-nunjuk Raga dengan emosi.
"Loh? Mas Regina?" Joko terbelalak kaget melihat Regina yang kemarin ia lihat nampak cantik, kini berubah sangat tampan dan gagah. Sementara Raga hanya menunduk malu dan tak berdaya.
"Halah, kelamaan!" Bhama melanjutkan aksinya, kali ini lebih kasar dari sebelumnya. Lengan Adhira melukiskan bekas cengkraman ayahnya. Bhama akhirnya membawa Raga dan Adhira di tengah-tengah desa barulah kedua pemuda itu dilepaskannya.
"Wahai warga desa, lihatlah! Ada dua pasangan yang belum menikah tinggal seatap!" teriak Bhama tanpa rasa bersalah.
Adhira memegang tangan Raga ketakutan sembari menangis. Sementara Raga hanya merangkul dan mengelus bahunya. Sungguh tega hati Bhamajaya ini. Demi harga dirinya dianggap baik, ia rela menghina putrinya sendiri. Bhama adalah seorang tentara yang memang terkenal dengan harga dirinya yang tak bisa direndahkan, meskipun hanya sejengkal saja. Tak salah jika Adhira tak tahan tinggal seatap dengan ayahnya itu.
Seluruh warga datang berduyun-duyun ke arah mereka. Dengan cekatan sebuah formasi lingkaran terbentuk dengan sorotan utama Raga dan Adhira. Semua orang menghina, meledek, dan mengancurkan martabat kedua pemuda itu.
"Dasar sampah!" teriak salah seorang ibu-ibu lalu melempar Raga dan Adhira dengan batu. Perbuatan ibu-ibu itu diikiuti oleh lainnya. Khawatir cintanya kesakitan, Raga langsung menarik tubuh Adhira, lalu dipeluknya erat-erat. Adhira menangis sejadi-jadinya melihat tangan dan kaki Raga yang dipenuhi dengan lebam biru dan merah, bahkan sudah ada yang varian ungu juga.
Pak Firman selaku kepala desa amat risih dengan keributan itu. Segera ia mengenakan kemeja lusuhnya dan memakai sandal jepit yang berdebu di tangga rumahnya. Tubuh kurusnya kini berada di antata kerumunan tersebut.
"Ada apa ribut-ribut? Bukannya negeri ini negara hukum? Kok main hakim sendiri gini, toh!" omel Pak Firman dengan emosi.
"Pak, lihatlah sampah masyarakat ini! Mereka telah tinggal satu kamar di apartemen saya dan pria itu juga menipu saya dengan cara mengaku menjadi perempuan. Ini adalah kesalahan besar, Pak!" lapor Pak Joko dengan emosi.
"Astaghfirullah hal'adzim, keterlaluan banget, ya!" cibir tetangga sambil menutupi pipi mereka dengan kerundung masing-masing.
"Iya, saya tahu ini kesalahan besar. Tapi ga perlu hakim sendiri, toh? Kalian berdua, ayo ikut saya ke kantor polisi!" ajak Pak Firman dibalas anggukan kedua pemuda malang itu. Para warga bubar, sementara Pak Firman, Pak Joko dan Bhama juga mengantar Raga dan Adhira ke kantor polisi.
Di kantor polisi, Adhira menangis sesanggukan. Matanya yang sendu itu menatap Raga dari atas sampai bawah. Ia sesekali meniup luka-luka Raga sambil mengelapnya dengan telunjuk.
"Ga, kenapa bisa kayak gini, sih? Semuanya berawal dari hal kecil, kan'?" Adhira memulai pembicaraan di antara keduanya.
"Gua juga ga nyangka, Dhir. Lu sendiri gapapa, kan'? Ada luka?" Raga menatap Adhira dengan penuh cinta, ia sama sekali tak membayangkan bahwa cintanya terluka meskipun hanya segores saja.
"Gapapa, Ga."
Polisi dengan seragam yang memiliki bet nama Rudi beserta segala bet-bet pangkatnya tersenyum ramah ke arah Raga. Polisi Rudi duduk lalu menatap keduanya dengan serius.
"Ada masalah apa sebenarnya?" tanya Polisi Rudi dengan keheranan. Matanya dengan teliti memeriksa luka-luka Raga.
"Sebelumnya, perkenalkan nama saya Firman, selaku kepala desa Notosukmo. Pagi tadi, saya menemukan kedua pemuda ini dilempari batu oleh warga saya. Setelah saya tanya kepada pemilik apartemen yang menjadi tempat tinggal dari Mbak Dhira, rupanya mereka telah tinggal satu kamar apartemen. Tak hanya itu, Mas Raga ini juga sudah melakukan penipuan kepada pemilik apartemen, dengan mengaku bahwa dia adalah seorang perempuan," beber Pak Firman menurut kesaksian Pak Joko.
"Apakah mereka melakukan perlawanan?" tanya Polisi Rudi.
"Tidak, Pak. Putri saya dan lelaki bajingan itu tidak melakukan perlawanan apapun," sahut Bhama yang berdiri di samping Pak Joko.
"Tidak melakukan perlawanan? Biasanya terjadi saat mereka merasa tertekan dan sedang ingin mengungkapkan sesuatu. Saya kira, pemuda malang ini perlu melakukan itu. Baiklah, Mas Raga dan Mbak Dhira--saya persilahkan!"
Raga dengan sejujur-jujurnya menceritakan segalanya. Bhama langsung terdiam, Pak Joko hanya terngaga, sementara polisi hanya tersenyum mendengar kisah hidup Raga yang miris sekaligus mengundang tawa.
"Baiklah, lalu kelanjutannya bagaimana? Em, saran saya, kalian harus menikah," saran Polisi Rudi membuat seisi ruangan mengangguk setuju.
"Untuk itu, saya masih ingin mempertimbangkan bersama dengan keluarga," jawab Raga lalu tersenyum ramah ke arah polisi.
Akhirnya semua orang pulang ke rumah masing-masing. Raga, Adhira, Bhama, Tia dan Debora kini berada dalam satu kamar. Raga masih menunduk malu di hadapan Bhama.
"Kenapa Kamu menunduk? Bukannya saya yang seharusnya merasa malu terhadap kamu yang telah bertanggung jawab atas kesalahan kamu?" tanya Bhama dengan menunjukan wajah tegasnya ke arah Raga.
"Saya memang telah bertanggung jawab atas kesalahan saya. Akan tetapi, cara kami dan layak dihukum seperti ini, Pak," dalih Raga dengan serius.
Sungguh, lelaki di depan Bhama kini bukan seperti Raga yang selengean lagi. Kali ini pria malas ini telah membuat seorang bapak sekaligus putrinya takjub bukan main. Bhama akhirnya mengungkir senyum di wajahnya lalu berkata dengan nada lembut, "Apakah kau mencintai putriku?"
"Lebih dari diriku sendiri," jawab Raga dalam satu napas. Bahkan tubuhnya sama sekali tidak menunjukan gerak-gerik berbohong sedikitpun.
Bhama mengangguk melihat keyakinan Raga yang besar itu, "Apa pekerjaan kamu?" tanya Bhama.
"Ojek online, Pak. Em, saya tidak punya rumah, hanya tinggal di kos bersama dengan saudara tiri saya. Sungguh, sebenarnya saya tidak mempunyai apa-apa untuk memiliki putri Bapak. Tapi saya punya cinta, cinta yang amat besar kepadanya. Memang, banyak orang, cinta bukan landasan dalam kokohnya suatu hubungan, dan saya percaya dengan kalimat itu. Tapi saya berjanji, akan memberikan segala sesuatu yang saya punya kepada Adhira. Segala kepunyaan saya adalah kepunyaan Adhira, meskipin tidak sebaliknya, tidak masalah. Percayalah Pak Bhama, saya tidak pernah jatuh cinta sekuat ini kepada perempuan--selain kepada Adhira, putri Bapak," seloroh Raga panjang lebar, membuat Bhama semakin terpukau.
"Deraga Aryanaka Wijayanto, dengan setiap ucapan kamu, saya hanya ingin kamu menjadi lelaki yang dicintai Adhira kedua setelah saya. Apakah kamu juga mencintai Raga, Dhiraku?" tanya Bhama membuat setetes air mata Adhira mengalir lagi.
"Dhira cinta sama Raga, Pa," jawab Adhira lalu menghapus air matanya dengan cepat.
***
Hari ini, adalah hari yang bahagia bagi Raga dan Adhira. Sebab, mereka telah resmi menikah dan disaksikan oleh ratusan rekan dan saudara. Siapa sangka, rupanya Bhama dan Wijaya adalah sahabat lama. Mereka dahulu satu SMA, tapi harus berpisah karena ingin melanjutkan cita-cita mereka.Bhama memilih menjadi tentara, sementara Wijaya ingin melanjutkan bisnisnya. Tidak salah bahwa Bhama adalah lelaki garang, wong pekerjaannya saja sebagai pelindung negara.Raga dan Adhira bertatapan, lalu tersipu malu. Aduhai, manis sekali pasangan baru itu. Raga bergeser sedikit ke arah Adhira, lalu membisikinya, "Selamat, sudah menjadi Nyonya Raga Aryanaka Wijayanto."
"Selamat juga buat kamu, Mas," balas Adhira membuat Raga kaget dengan julukan barunya.
"Mas? Itu mah' cincin kamu," gurau Raga sambil menunjuk cincin pernikahan Adhira yang berlapis emas.
"Ini mah, emas--bukan mas. Ih, bercanda mulu, ah!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tere Liye Tia (END)
Romance"Gelapku akan lebih indah jika Tia dapat menangkap indahnya surya." Raga mengangkat pipi Adhira, menatap bola mata istrinya dengan dalam-dalam. "Gelap dalam dinginnya tembok sengsara?" tanya Adhira dengan penuh penegasan. "Sengsara untuk Tia? Tidak...