#Aksamerta
#Senin, 13 Maret 2022
#Bab20_KekecewaanAdhira
#TereLiyeTiaRaga segera diangkat ke mobil Lintang dan diantar menuju rumah sakit terdekat. Tia menangisi setiap tetes-tetes darah yang mencuat begitu saja dari tubuh Raga. Setiap lima menit sekali, Tia selalu mengetes nadi Raga dan memastikannya untuk selalu berdetak.
Tia mengingat boneka Barbie, yang selalu diperjuangkan oleh Raga untuknya. Dipikir-pikir lagi, apakah ada seseorang yang peduli keinginan anak yang tak sedarah daging olehnya. Rumah juga, demi sebuah istana untuk Tia, Raga pontang-panting berperang dengan teriknya matahari dan berperang dengan jalan yang berangsur masa tak rata.
Tia memikirkan bagaimana nasib Raga dalam penjara dingin sementara dia tidak bisa melihat. Ia juga berpikir, bagaimana susahnya menjadi Raga di tengah banyak orang jahat di dalam penjara. Ada berapa pukulan, jotosan, dan tamparan yang ditelan oleh Raga di kulit-kulit tubuhnya yang makin hari makin berkerut.
Tunggu, membentak? Apakah Raga pernah membentak Tia? Tidak pernah dan tak akan mungkin terjadi. Emosi batin Raga tak sebanding dengan cintanya pada Tia. Mengingat itu, Tia semakin hancur lebur terkumpul bersama sesal yang tak kunjung habis rasanya.
Akhirnya sampai pula mobil Lintang ke rumah sakit terdekat. Raga direbahkan di ranjang busa beroda, lalu didorong perlahan ke ruang UGD. Perjalan Raga ke UGD diiring dengan nyanyian rintih Tia yang terdengar sengau betul.
Akhirnya Raga sampai ke ruangan yang direkomendasikan oleh suster. Tia disuruh menunggu di luar, sementara Bagas dan Lintang menahan Tia agar tidak terlalu terbuai dengan emosinya. Tia menjatuhkan diri ke lantai sembari mengelus-elus pintu ruangan ayahnya.
Adhira sudah datang menjenguk suaminya dengan membawa dompet cokelat yang ia kempit di ketiak. Ia melihat Tia, Lintang dan Bagas. Segera dihampirilah mereka, lalu melihat suaminya di kaca buram jendela ruangan Raga.
"Astaga, Mas Raga!" Adhira menatap suaminya yang kepala dan perutnya dibersihkan oleh dokter dan suster.
"Ini kenapa, Lin?" tanya Adhira kepada Lintang.
"Ga tau, sih. Kalau ga salah dipukulin ama anak kuliahan, Dhir," jawab Lintang menceritakan apa yang ia lihat tadi.
"Anak kuliahan?!" Adhira menghampiri Tia, lalu memaksanya berdiri.
"Jangan bilang itu tem--"
"Iya, Ma ... dia temen-temennya Tia!" aku Tia dengan menangis gemetar.
"Kenapa mereka pukulin Papamu? Kenapa?!" Adhira menggoyangkan tubuh Tia sedikit keras dari biasanya. Tak lupa kedua bola matanya melotot tajam ke arah Tia, membuat Tia gemetar bukan main.
"Tia yang suruh, Ma," jawab Tia dengan terpaksa. Adhira kaget, tentulah keterkejutan Adhira dirasakan oleh Bagas dan Lintang.
Dokter keluar dari ruangan Raga, lalu tersenyum ramah ke arah keluarga pasien yang ia periksa tadi.
"Dengan keluarga Bapak Rag--"
"Saya istrinya, Dok ... dia kenapa?" sahut Adhira dan berhasil membuat dokter sedikit tersentak.
"Ada luka yang cukup parah di kepalanya. Kemungkinan terjadi benturan berulang kali di kepalanya. Tak hanya itu, di perut Pak Raga mengalami pendarahan parah karena dipukul berulang kali dengan cara dijotos, Bu," jawab dokter membuat Tia semakin tak bisa berbicara lagi, selain menangis dan terus menangis.
"Kami boleh masuk, Dok?" tanya Adhira dengan wajah penuh harapan. Karena tak tega, dokter memperbolehkan keluarga inti masuk ke ruangan Raga.
"PAPA!" Tia masuk mendahului Adhira--hal itu membuat Adhira sedikit kesal.
"Papa--Papa!" rengek Tia sambil berusaha membangunkan ayahnya yang masih pingsan karena pengaruh obat operasi.
"Kenapa nangis?" tanya Adhira sembari menyelimuti Raga lebih atas lagi.
"Maksud Mama apa?" tanya Tia balik sambil menatap sinis Adhira.
"Beruntung banget, ya ... kamu dicintai betul sama suamiku. Andai kamu tahu, betapa sakitnya aku saat sadar jika cintanya kepadamu lebih besar daripada cintanya kepadaku. Bisa, ya ... anak yang dari dulu dijaga supaya jangan sampai ada menyakitinya, malah anaknya mengharapkan kematian tragisnya. Kok bisa itu, loh ... bener-bener ga masuk di logika," sindir Adhira lalu menarik kursi yang dari tadi menepi bersanding meja makan pasien.
"Tangannya dulu yang walau lelah, tetap mau menggendong anaknya." Adhira meraih tangan Raga, lalu mencium dengan penuh cinta.
"Kakinya yang dulu walau linu, tetap mau memaku dan menompang pantat putrinya yang kian bulan kian menggembul." Adhira mengelus paha Raga dengan tatapan miris ke arah Tia.
"Kepalanya yang pusing, masih mau dibuat untuk memikirkan kebahagiaan anaknya. Bukan--bukan anaknya, tapi seorang anak yang bahkan tidak pernah ia harapkan dalam hidupnya." Adhira mengelus kepala suaminya, lalu menciumnya dengan hangat.
"Cukup, Ma ... Tia sudah ga bisa menahan sakitnya menyesali perbuatan Tia selama ini ke Papa, Ma!" sergah Tia lalu menggaruk kepalanya dengan depresi.
"Mama juga kecewa dengan Tia yang tidak bisa menghargai pengorbanan Mama yang sudah dengan terpaksa membiarkan setengah hati Papa tercurah ke kamu, Nak. Mama juga ga bisa menahan betapa hancurnya hati saat tahu jika anak Mama yang mengharapkan kematian suami Mama. Semoga Raga mati, supaya Tia bahagia." Adhira tersenyum miring, lalu menaikan alisnya dengan cepat. "Ayo, jawab 'Amin'! Cepat!"
Tia menggeleng dengan sedih dan berdiri dengan emosinya. Ia segera berlari ke luar ruangan dan menangis. Seisi lorong hanya menatapnya kasihan, adapula yang mencibirnya. Tia berlari tanpa arah, putus asa, menyesal, merutuki dirinya berulang kali dan ingin mengakhiri hidupnya saat ini juga. Mama dan papanya sudah ia hancurkan hatinya, kini untuk apa dia hidup? Bahkan Antara sudah mengakhiri hubungan yang mereka sulam hampir dua tahun.
Sebajingan-bajingannya Tia, dia tetaplah perempuan anggun yang suka menangis diam-diam. Dia adalah perempuan cerdas dan merutuki dirinya saat nilainya tak sesuai harapan. Dia tetaplah seorang gadis yang merasa kecewa dengan kehidupan. Dia bermimpi menciptakan keluarga bahagia, layaknya kawan sepantarannya. Dia tetaplah anak perempuan yang masih butuh arahan ayahnya.
"Papa, Tia tak tentu arah--Tia berantakan!" Sempat tertulis itu di buku diary-nya saat dia masih duduk di bangku SMA. Tia iri teman-temannya punya ayah. Tia malu saat nama ayahnya disandingkan dengan serial killer dunia beberapa waktu silam. Apapun itu, Tia tetaplah perempuan yang masih butuh sosok pahlawan--yaitu ayah.
Tia menghentikan diri ke lantai rumah sakit paling atas. Ia memegang palang kayu yang sudah nampak kerapuhannya. Pasti sekali kena badai langsung terpontang-panting. Ia membayangkan, betapa indahnya jika ia terjun, maka tak akan ada lagi seorang ayah yang terbeban olehnya. Ia tapi masih tetap diam, menyiapkan jiwa-raga untuk benar-benar siap bertemu dengan sang Ilahi.
Di tengah penantian itu, Adhira di ruangan mulai merasa tenang. Sudah Maghrib, saatnya Tia kembali. Ia akhirnya mengirimkan pesan pada anaknya, tapi sayangnya hanya icon centang satu yang ia dapatkan. Jantung berdegup kencang, sesal juga mengkerubungi jiwa keibuannya. Sialnya lagi, Bagas dan Lintang sudah pulang atas perintahnya beberapa menit yang lalu.
Adhira kini berlari pontang-panting dengan napas yang semakin lemah karena faktor usia. Mata sayunya berkeliaran setapak langkah demi langkah. Ia mulai panik, keringat dingin lagi-lagi membasahinya.
"Tia, kamu di mana, Nak?! Ayo pulang!" teriak Adhira dengan napas tak beraturnya.
"Tante Dhira?" panggil Antara yang kebetulan sedang menjaga Mahesa.
"Nak Tara--Tia hilang, Nak!" lapor Adhira sambil menggoyangkan bahu Antara.
Dua manusia yang amat mencintai Tia itu segera mencari gadis berambut hitam pekat sebahu itu. Adhira menangis panik, sementara Antara dibuat hampir copot jantungnya. Mereka akhirnya menemukan Tia--dan Tia menatap kedunya dengan tersenyum sembari merentakan kedua tangannya.
"Selamat tinggal semuanya!" Suara parau Tia terdengar ngeri, bersamaan dengan itu tubuh Tia juga membumi dengan kilat.
"TIA!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tere Liye Tia (END)
Romance"Gelapku akan lebih indah jika Tia dapat menangkap indahnya surya." Raga mengangkat pipi Adhira, menatap bola mata istrinya dengan dalam-dalam. "Gelap dalam dinginnya tembok sengsara?" tanya Adhira dengan penuh penegasan. "Sengsara untuk Tia? Tidak...