Pengakuan Tia

16 1 0
                                    

#Aksamerta
#Selasa, 15 Maret 2022
#Bab21_PengakuanTia
#TereLiyeTia

  Antara melihat perempuan tua di sampingnya dengan keheranan. Dengan hati-hati, telapak tangannya digoyangkan tepat di wajah Adhira membuat Adhira sedikit tersentak. Adhira mengucek kedua matanya, lalu tersenyum tipis ke arah Antara.

"Maaf, Tante Dhira--Tante kenapa kelihatan sedih gitu?" tanya Antara membuat Adhira sepenuhnya sadar dari halusinasinya.

"Gapapa, Nak. Ayo kita hampiri Tia!" Adhira menarik tangan Antara sehingga Antara tak bisa menolak permintaan mantan calon mertuanya itu.

"Tia!" panggil Adhira dengan suara lembutnya.

Tia menghela napas, menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. Tangan Adhira membelai bahu Tia, lalu berucap, "Jangan meninggalkan Mama--Papa, Nak!"

"Mama, aku cuma mau menenangkan diri doang, kok. Jadi Mama ga usah panik ataupun sedih, ya!" hibur Tia sedikit membuat Adhira lega. Ia segera mendekap Tia dan keduanya saling menyalurkan ketenangan batin yang memang harus tetap ada dalam diri mereka. Tia sedikit kaget dengan adanya Antara di situ, maka ia bersikap seolah-olah tidak melihat mantan kekasihnya itu.

  Ponsel Antara berdering hebat, mengejutkan suasana haru yang tercipta beberapa saat yang lalu. Antara menghela napas, rupanya kakak sepupu menyebalkan itu yang meneleponnya. Maka diangkatlah segera telepon itu dan bercakap-cakaplah keduanya.

"Iya, Kak Linda sama pak polisi bisa langsung ke ruangan Papa." Setelah mengatakan itu, sambungan telepon diputuskan. Antara berpamitan kepada Adhira untuk segera kembali ke ruangan Mahesa.

"Emang papanya Tara sakit, ya?" tanya Adhira sembari mengelus punggung Tia supaya keduanya bisa kembali segar di hadapan Raga.

"Begitulah, Te. Sebenarnya Papanya  Tara, Kak Kelinda dan juga Polisi Ramli sedang melakukan investigasi kasusnya Om Raga." Jawaban Antara tentu mengejutkan Tia dan Adhira.

"Kamu mau melanjutkan kasus Om Raga, Tar? Se-rius?!" Adhira meyakinkan kembali pernyataan Antara.

  Antara tak menjawab, ia langsung mengantarkan Tia dan Adhira ke ruangan Mahesa. Di situ sudah ada Mahesa yang sudah mulai membaik dan dia duduk di atas ranjangnya. Sementara Renica, Kelinda dan Polisi Ramli berdiri mengitarinya.

"E-sa?" Adhira mengerenyitkan dahinya seolah meyakinkan diri jika pasien yang ada di ruangan itu adalah Mahesa.

"Dhira, apa kabar?" sapa Mahesa dibalas anggukan ramah oleh Adhira. Keduanya kini bertatap muka--lalu terkaparlah Adhira di bawah kaki Mahesa.

"Kembalikan senyum Mas Raga, Sa! Aku mohon!" rengek Adhira penuh penekanan dan tindakan Adhira disusul oleh Tia juga, "Om, bantu Papa!"

Polisi Ramli mengangkat keduanya, "Tak usah khawatir, kebenaran akan terungkap dalam waktu dekat ini. Kami dapat janjikan itu."

  Keheningan akhirnya tercipta cukup lama. Mereka semua memikirkan rencana demi rencana yang tepat untuk membuka kedok ini. Sebelumnya mereka telah saling jujur tentang apa yang sudah mereka lakukan agar semuanya dapat berjalan dengan lancar.

"Kalau aku dan Om Esa yang maju, pasti rencana kita berantakan di tengah jalan." Dialog dibuka oleh Kelinda, dan kini semua tatapan tertuju padanya.

"Tia mau maju, tapi Tia bingung harus ngapain," balas Tia dan kini tatapan tertuju padanya pula.

"Apakah kita tidak memiliki bukti yang terjadi saat TKP? Setahuku, sampai detik ini tidak ada ahli forensik yang bersedia menelaah lebih lanjut kasus Om Raga karena mereka takut dengan celaan netizen."

  Pertanyaan Antara membuat Polisi Ramli tersentak, ia baru ingat kejadian kemarin saat dirinya tak sengaja mendengar teriakan perempuan di salah satu ruangan epicentrum RamTV. Pak Ramli akhirnya menceritakan apa yang ia dengar dan lakukan semalam. Rupanya perempuan itu sudah ditawan oleh para jurnalis kira-kira dua belas sampai lima belas tahun yang lalu.

"Lalu apa hubungannya dengan pertanyaan saya, Pak?" tanya Antara dibalas anggukan pula dari yang lainnya.

"Lima belas tahun yang lalu ada kejadian kasus Raga, 'kan? Bisa jadi beliau terlibat dengan kasus Raga dan para jurnalis menyekapnya bertahun-tahun," dalih Polisi Ramli yang akhirnya membuka pikiran mereka yang tadinya masih tertutup.

"Bisa jadi, Pak. Menurut Bapak, dia siapa?" tanya Mahesa penasaran.

"Ahli forensik, karena beliau mengencangkan jas dokter di perutnya. Dia rupanya gagu dan ketakutan karena trauma yang melekat pekat di jiwanya. Kemungkinan besok dia bisa menjelaskan lebih lanjut siapa dan bagaimana dia disekap," jawab Polisi Ramli dan sejujurnya melegakan siapa saja di sana. Meskipun belum benar-benar mengetahui siapakah dia.

"Bagaimana kalau kita langsung saja melakukan introgasi sekarang?" saran Kelinda, dibalas anggukan mantap dari Tia.

Kak Linda bener--ayo, sekarang!"

  Akhirnya rombongan mereka melaju ke kantor polisi Pak Ramli tepatnya pada ruangan yang digunakan untuk mengamankan perempuan yang disangka sebagai ahli forensik. Sesampainya di situ, perempuan itu tersenyum tipis dengan lemah.

"Sebenarnya kami di sini untuk menanyakan kepada Anda terkait kasus Deraga Aryanaka Wijayanto yang kebetulan terjadi lima belas tahun yang lalu. Apakah Anda ada kaitannya dengan itu?" tanya Polisi Ramli langsung.

"Iya, saya ada kaitan kuat terkait itu.
Sebenarnya saya memiliki sampel DNA Larni pada pistol yang digunakan Raga untuk menembak Larni. Jadi, media hanya memberi tahu bahwa Raga adalah pembunuh Larni tanpa ada alasan. Padahal, dalam pistol itu terdapat DNA Larni juga. Sehingga ada dua kejadian yang kemungkinan terjadi, Larni berusaha membela diri atau Larni memang sengaja melakukan penembakan pada diri sendiri," jelas perempuan itu.

"Larni telah menembak dirinya sendiri, aku masih ingat semua itu, aku masih ingat!" bantah Adhira disambut dengan air mata yang mengalir deras secara tiba-tiba.

"Iya, Dhir--tenang!" hibur Mahesa lalu mengelus punggung Adhira.

"Tapi kami tidak memiliki bukti tentang itu sehingga suamiku terjebak sampai detik ini kehidupannya dipenuhi dengan ancaman dan ujaran kebencian," lanjut Adhira lalu menghapus air matanya.

"Apakah Ibu masih menyimpan DNA itu? Jika ada, maka simpanlah itu aman-aman!" saran Mahesa dibalas anggukan mantap oleh yang lainnya.

"Masih ada di rumahku, besok akan kubawa kepada kalian."

Tinggal dua sampai tiga langkah lagi menuju kemenangan Raga. Tiggalah mereka membuat rencana
untuk merapikan segalanya besok. Di tengah keheningan, Kelinda mulai mengujarkan ide ajaibnya.

"Sebenarnya aku memiliki rencana
meskipun itu sedikit menyakitkan untuk Tia," ucap Kelinda disambut hangat oleh Tia. Tubuh Tia digerakan sedikit ke arah Kelinda, lalu dengan lemah ia bertanya, "Apa?! Katakan saja, Kak!"

"Kamu melakukan pengakuan di sosial media jika Om Raga tidak bersalah dan mengakulah jika kamu adalah anaknya. Untuk Antara, kamu berpura-pura melakukan penyerangan yang kejam kepada Tia di sosial medianya. Setelah itu, besok kamu dan Tante Dhira pergi ke kantor polisi di seberang kantor Polisi Ramli dan melaporkan Antara ke pada polisi. Untuk selanjutnya, akan aku jelaskan besok. Sekarang, buatlah video pengakuan itu, Tia! Apa kamu siap?!"

"SIAP, KAK."

  Tia kini duduk di salah satu ruangan sepi di kantor polisi. Antara menyingkap three foot lalu meletakan ponsel Tia di atas three foot itu.

"Aku Tia, anak dari Deraga Aryanaka Wijayanto. Cintaku pada ayahku--tak akan sebesar cintanya padaku. Demi aku, dia rela menembak perempuan gila bernama Larni. Kalian berhenti membencinya, papaku orang baik--sungguh, dia orang baik!" Tia melambaikan tangannya ke atas menandakan dia sudah tidak kuat lagi menahan tangisnya. Antara langsung berlari ke arahnya dan memeluknya dengan penuh cinta dan perhantian.

Tere Liye Tia (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang