»»--⍟--««
"Bangun, Nya. Udah sampe." Eca menggoyang-goyangkan tubuh Tanya pelan, membuat sang empu mengerjapkan matanya beberapa kali.
"O-oh, udah?" Tanya menyeka air liur menggunakan punggung tangan, dengan kesadaran yang belum hadir sepenuhnya.
Eca mengidik ngeri, sambil menatap jijik manusia di sampingnya. "Ih! Jorok banget, sih, lo!" cibir sang kakak.
"Berisik! Kayak lo bersih aja," protes Tanya. Tanpa pikir panjang, perempuan itu keluar dari mobil, meninggalkan Eca sendirian di sana.
"Gila, ya, tuh, orang! Joroknya mendarah daging."
***
Mire menggeleng heran. Mulut gadis itu membentuk huruf "O" dengan sempurna saat pupil matanya membesar melihat penampilan sahabatnya amat tak berbentuk, siapa lagi kalau bukan Tanya?
Helai rambut kusut dan berantakan, dasi sekolah yang longgar, kancing baju yang terpasang tak sesuai dengan lubangnya, baju putih yang lusuh, serta lingkaran hitam yang menjalar di sekitar matanya melengkapi kekacauan Tanya hari ini.
"Nya, Lo habis ngapain?" tanya Mire hati-hati, sambil mengambil sisir di dalam sakunya. Jari jemarinya mulai merapikan helai rambut Tanya dengan cekatan.
"Re! Gue semalem enggak bisa tidur," ujarnya kesal.
"Kok bisa? Jangan bilang lo nonton series India lagi? Udah gue bilang, Nya, series India, tuh, episodenya banyak!" tegurnya.
Tanya mengucek mata. "Gue cabul, Re! Gue udah enggak suci lagi, gue--"
"Lo ngomong apa, sih?" Mire menghentikan aksinya. Irisnya tertuju pada Tanya.
Sambil terisak, sahabatnya menjawab, "S-semalem g-gue ...."
"Gue?"
"G-gue ...."
Mire gemas dibuatnya. "Iya, lo kenapa? Jangan gantungin orang kayak gini, dong! Enggak en--"
"GUE NYIUM-NYIUMIN ALMET COWOK!" teriak Tanya.
***
Bel masuk sekolah berbunyi, tetapi keduanya masih bungkam dengan suasana canggung menyelimuti mereka.
Tanya melirik takut Mire yang masih terbelalak tak percaya. Kesadarannya sudah kembali muncul tak lama setelah suara besarnya itu menggelegar di dalam toilet sekolah.
"R-re, are you--"
"Diem, Nya. Gue lagi berusaha mencerna kata-kata lo."
"T-tapi bel udah bunyi, lho. Mending masuk kelas aja, yuk," ajaknya.
Mire memangut. Baru saja ingin melangkah, tubuhnya hampir mencium lantai jika Tanya tak segera memegangi sahabat perempuannya ini. "Hati-hati, Re."
"Iya, thanks!"
Mire berjalan mendahului Tanya. Namun, gadis dengan cepat mengambil langkah yang membuat posisinya sejajar dengan Mire.
"Lo shock banget, ya, Re?" Satu pertanyaan Tanya belum mendapat respons dari Mire.
"Re--"
"Re, jawab, dong!" rujuknya seraya mengguncang bahu Mire.
"Ya, gimana enggak kaget?! Lo ngapain nyium-nyiumin almet cowok. Tubuh gue merinding tau enggak! Nih, liat, bulu kuduk gue semuanya pada berdiri, tuh!" cicit Mire sembari menunjukkan tangannya kepada Tanya.
"Siapa yang habis nyium-nyiumin cowok?"
Pertanyaan itu membuat mimik keduanya menegang. Serentak, Mire dan Tanya membalikkan badannya ke arah sumber suara.
Salah satu pintu kelas yang terbuka, menampilkan sesosok pria tua bersama dengan murid-muridnya terdiam bersama tatapan bingung tertuju untuk mereka.
Sepasang sahabat itu kemudian saling menatap. Air wajah Mire yang semula tegang, diganti dengan gestur bingung. Sedangkan Tanya, ia justru ingin menangis karena malu.
"Ng-enggak, Pak. Bukan nyium-nyiumin cowok, tapi nyium-nyiumin almamater cowok, Pak," balas Mire dengan penuh penekanan di kata almamater.
"Ooh, almamater!" Guru tua itu mengangguk, dibarengi oleh Mire dan Tanya sambil tersenyum.
"Siapa yang nyium-nyiumin almamater cowok?" tanyanya kembali.
"Itu, Pak, temen saya," sahutnya kembali seraya menyenggol bahu Tanya menggunakan bahu miliknya.
Tanya tak menghiraukan jawaban akhir sahabatnya itu. Dengan asal, ia menatap seisi kelas. Namun, kepanikannya melanda tatkala Ian, pria yang mengantarkannya kemarin, kembali menatapnya dengan tenang.
"Ngapain dia nyium-nyiumin almamater? Terus almamater siapa yang dia cium-ciumin?"
"Enggak tau, tuh, Pak! Tanya temen saya aja, nih,"
Mata Tanya membelalak, tubuhnya membeku saat Ian melemparkan senyum simpul kepadanya. Masa bodo dengan kedua orang di sampingnya ini. Toh, sedari tadi ia tak mendengar jelas percakapan antara Mire dengan pria tua di hadapannya.
"Re, tuh, jawab! Lo ngapain nyium-nyiumin almet ora--"
"AAAAAAAAA---"
"Mi-Mire! Di-dia denger kita bahas apa tadi!" Mendadak, jari telunjuk Tanya terangkat mengarah ke tempat Ian berada.
Tatapan Mire mengikuti arah telunjuk sahabatnya. "Lo kenapa, sih, Nya!"
"Enggak tau!" Setelah mengucapkan hal itu, Tanya berlari sekencang mungkin meninggal Mire yang masih berdiri menatap kaget punggung sahabatnya.
"Anjir, gue ditinggal?" gumam Mire.
Kening guru itu mengkerut, arah matanya mengikuti gerak Tanya yang perlahan-lahan menjauh dari keduanya. "Dia kenapa?"
"Enggak tau, Pak! Saya duluan, ya!" Mire berlari menyusul Tanya. Namun langkah kakinya kembali mendekati guru yang masih berdiri tepat di posisinya semula.
"Ngapain balik lagi?"
"Lupa salim, Pak. Salim dulu!"
Guru itu memberikan punggung tangannya yang kemudian dicium oleh Mire. Dengan tergesa-gesa Mire kembali melangkah menyusuli Tanya.
"Woi! Jangan tinggalin gue, Nya!" teriak Mire. Kejadian itu langsung mendapat gelak tawa bagi yang menyaksikannya. Tak terkecuali Ian, walau mulut pria itu asik tergelak, tetapi batinnya berpikir, apa yang diciumi Tanya adalah almamater miliknya?
»»--⍟--««
KAMU SEDANG MEMBACA
Tell Me about Us!
Fiksi Remaja"Masa SMA, merajut kata menjadi cerita yang tak akan dilupa." -mbah google.