Mata indah itu terbuka, benar saja, Fadira telah ada dan di rawat di rumah sakit. Fadira melihat jarum infus yang melekat di punggung tangan nya. Tubuh nya lemah, ia seperti kehilangan seluruh tenaganya.
Nadira datang, mata nya terlihat sembam. "Kenapa gak bilang sama ibu kalo kamu sakit Fadira! Ini fatal nak!"
Fadira tersenyum tipis, bibir nya putih pucat.
Nadira menggenggam tangan Fadira. Ia benar-benar khawatir, dokter tadi telah memberi tahu nya, mengenai penyakit yang di derita Fadira. Yaitu kangker otak stadium 3.
"Fadira gapapa Bu," ucap Fadira sangat lirih.
Zidan datang dengan raut wajah sulit di artikan. Antara marah dan sedih, saat Fadira tidak sadarkan diri, Nadira terpaksa mengungkapkan semuanya kepada suami nya.
"Papa kecewa, kenapa gak cerita sama kami Fadira." Zidan menatap Fadira, terlihat jelas kekhawatiran dari sorot mata nya.
"Fadira gapapa, pah, Bu. Fadira insya Allah Masi bisa hidup. Jika Allah masih mengizinkan Fadira untuk hidup."
"Soal Fatih,"
"Gak usah di bahas pah. Ini udah takdir nya,"
Zidan mengelus kepala Fadira yang terbalut hijab. Hati nya sakit, mengetahui anak satu-satunya menderita penyakit mematikan. Dan mengenai gagal nya pernikahan Fadira, lagi-lagi Zidan menyesali hal itu. Ia menyesal telah menyepakati perjodohan antara Fatih dan Fadira.
"Bu, kalo Fadira meninggal, siapa yang nantinya ngurus anak Fadira Bu."
"Huss, Fadira, ibu sama papa akan usahain yang terbaik untuk pengobatan kamu!"
Fadira tersenyum tipis, kepalanya Masi sakit yang benar-benar sakit. "Biaya pengobatan mahal Bu, pah."
"Gak usah mikirin itu Fadira! Papa kerja buat kamu sama ibu mu."
Fadira terdiam, ia tidak mampu berkata-kata. Ia memejamkan matanya, berharap rasa sakit itu akan mereda. Namun tidak, bukan nya mereda malah bertambah sakit. Ia merindukan sosok Fatih, bulir air mata mengalir saat mengingat nama itu, terlalu sakit untuk di kenang, ia ingin bahagia. Begitu banyak penderitaan yang menimpa nya 3 tahun terakhir ini.
___________
Di sisi lain.
Fatih tengah memandangi baju-baju Fadira, ia mencium salah satunya hanya ingin mencium bau tubuh Fadira yang tersisa di baju-baju tersebut. Bulir air mata lagi-lagi harus mengalir, mengenai botol obat tempo hari, kini ia telah tau obat apa itu.
Ia menyesal, benar-benar menyesali keputusan nya. Berharap ada keajaiban, hingga ia di pertemukan kembali dengan Fadira.
"Ya Allah, saya ingin mendengar kabar bahwa Fadira masih bernafas."
Tok, tok, tok, Amira mengetuk pintu, Fatih tidak ada niat untuk menoleh. Hati nya sakit.
"Mas, makan dulu."
"Duluan aja, saya gak laper."
Amira pergi dengan perasaan kecewa. Ia sedih, sikap Fatih berubah menjadi dingin, setelah melihat rekaman CCTV itu. Pernikahan mereka terasa hambar setelah mereka kehilangan bayi mereka. Amira menyadari kesalahannya, ia menyesal menolak pertolongan dari Fadira tempo hari.
Amira menuruni anak tangga, terlihat Syifa yang telah selesai menyiapkan makan siang. Setelah kepergian Fadira, rumah itu tidak se nyaman dulu. Syifa masih bersedih, walau semakin lama semakin terbiasa, tapi ia merindukan sosok adik yang ada di diri Fadira.
Semua nya telah berkumpul di meja makan, kecuali Fatih. Fatih tidak berselera makan, ia hanya berdiam diri di kamar yang dulu nya di tempati oleh Fadira. Kamar itu masi seperti sediakala, saat Fadira Masi menenpati nya. Fatih begitu menjaga barang-barang yang berada di dalam sana.
"Fatih gak makan lagi?" tanya kiyai Sholeh.
Amira mengangguk, "iya Abi."
"Udah coba di bujuk?"
"Udah Abi, tapi bang Fatih tetep gak mau."
Mereka memahami bahwa Fatih masih terpukul, dan terbelenggu dalam penyesalan. Umi Aisyah masih sering menangis jika merindukan Fadira.
_________
3 bulan berlalu dengan lambat.
Fadira mengelus perutnya yang sudah mulai buncit, ia takut tidak bisa mendampingi sang anak hingga dewasa. Penyakit nya semakin hari semakin parah, ia harus sering-sering ke rumah sakit untuk pengobatan dan itu memakan biaya yang cukup mahal.
3 bulan telah berlalu, tapi Fadira sama sekali belum bisa melupakan Fatih, sedikitpun rasa itu belum hilang dan masih melekat di hati Fadira.
Setelah hampir semalaman tidak bisa tidur akibat menahan rasa sakit, di tambah Fadira terus mual dan muntah. Wajah Fadira semakin pucat, bibir nya tak lagi berwarna ping.
Nadira tengah memasak di dapur, ia tengah memasak hidangan makan malam. Fadira sangat ingin membantu sang ibu, namun Nadira terus melarang nya dan menyuruh putri nya untuk kembali ke kamar dan beristirahat.
Nadira memasak makanan kesukaan Fadira, ia tau sulit nya menjadi Fadira, yang hamil tanpa di dampingi seorang suami. Fadira sempat mengidam, dan Nadira segera menuruti permintaan Fadira, ia tidak ingin kalo cucu nya ileran.
"Bu, sini biar Fadira bantu."
"Gak usah Fadira! Kamu istirahat gih,"
Fadira menghela nafas pendek, ia beranjak mengambil majalah dan kemudian duduk di kursi sembari membaca majalah.
Sebelah tangan nya mengusap lembut perutnya yang mulai buncit. Orang-orang tidak mengetahui soal kehamilan Fadira, sebab tubuh Fadira yang kecil, juga karena pakaian oversize yang sering ia gunakan ketika keluar rumah.
Mata nya terfokus pada jendela yang menampilkan sepasang kekasih tengah berjalan-jalan. Sebuah senyum kembali terbit di bibirnya, namun senyum itu kembali pudar.
Fadira kembali mengelus perutnya, ia kembali takut tidak bisa mendampingi sang anak hingga tumbuh dewasa. Fadira tidak ingin anak nya tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu. Tapi ia yakin, Nadira ibunya akan sanggup membesarkan anak nya tanpa kekurangan apapun.
Di simpan nya majalah tersebut, kemudian Fadira beranjak untuk pergi ke kamar, tubuh nya terasa lelah meski seharian tidak melakukan apapun. Untung nya Fadira masih dapat melihat dengan jelas, juga pengingatan nya masih cukup baik.
Fadira melepaskan hijab yang ia kenakan, terlihat rambut nya yang rontok memenuhi pelapis kerudung yang ia gunakan.
Besok Fadira akan kembali menjalani perawatan. Ia harus bertahan hidup sampai sang anak nya lahir. Tiba-tiba, darah segar mengalir di hidung nya, buru-buru Fadira menyeka darah tersebut. Pandangan nya kabur, ia memilih membaringkan tubuhnya di atas kasur, dengan sebelah tangan yang menyeka darah di hidungnya.
Tidak, Fadira tidak selemah itu. Ia tak berhenti berdzikir, berdoa di dalam hati. Sebelah tangan nya masi berada di hidung.
Fadira meremas kasurnya, menahan rasa sakit yang terus menjalar. Ia tersenyum sambil tak berhenti berdzikir, ia yakin akan baik-baik saja.
"Anak bunda yang kuat sayang." Yang ia khawatir kan sekarang hanya janin nya. Ia harap, ia dapat melahirkan anak nya. Ia berharap, agar anak nya kuat hingga dapat melihat dunia.
Tangan Fadira menggapai sebuah obat, seperti obat penguat kandungan. Ia tidak ingin mengalami keguguran. Fadira hanya takut, padahal kata dokter, penyakit nya ini tidak akan berpengaruh kepada bayi nya.
Gimana Pendapat kalian tentang chapter ini? Aku pengen denger kritikan. Oke see you next time.
KAMU SEDANG MEMBACA
married with kiyai's son [Selesai]
RomansMAAF kalo dalam penulisan banyak titik koma yang salah, cerita ini di tulis oleh anak yang pada masa itu masih SMP Warning⚠️⚠️ Budayakan vote sebelum membaca! DI LARANG KERAS MEM-PLAGIATI KARYA INI! Kisah seorang santriwati, yang diam diam, naksir k...