TIGAPULUH

145 50 24
                                    




"Tersangka 029, ada yang mengunjungi Anda" Ujar salah satu petugas kepolisian yang berjaga di dekat jeruji besi tempat Jaya dan sekumpulan tersangka lainnya di bekap.

Dahi Jaya mengkerut. Siapa yang mengunjunginya, bukankah dia tidak memiliki siapapun lagi sekarang.

Dengan langkah gontay Jaya mengekori petugas menuju ruang kunjungan. Matanya yang begitu kosong, kini terlihat menajam setelah melihat seorang gadis tengah duduk menunggunya.

Jaya lupa kalau ada gadis pembawa sial menurutnya itu yang masih berstatus sebagai keluarganya.

Anggieta mengangkat wajahnya. Jemarinya dibawah sana meremas kuat celana yang sedang Ia kenakan. Rasa takut melihat sorot mata ayahnya itu masih terasa sama, apalagi setelah kejadian tragis waktu itu.

Dengan malas Jaya duduk di kursi hadapan Anggieta. Mereka hanya terhalang kaca pembatas disana.

"Batas waktu kunjungan hanya 15 menit." Peringatan dari petugas kepolisian mengingatkan. Polisi itu pergi dari sana meninggalkan kedua manusia itu saling memandang satu sama lain selama beberapa detik.

Anggieta secara paksa menelan silvanya dan memberanikan diri melihat wajah Jaya yang masih nampak sangat membenci dirinya.

"G-gimana kabar papa ?" Ucap Anggieta sedikit terbata-bata.

Namun Jaya masih diam tak ingin menggubris atau menyauti ucapan putrinya itu. Anggieta terpaksa harus menghela nafas pelan dan menahan rasa getar di dadanya.

"Mau apa kamu kesini ? Kalo bukan mau membebaskan saya dari tempat sialan ini, lebih baik kamu pergi." Ketus Jaya memalingkan pandangannya.

Anggieta mengigit bibir bawahnya. Sungguh, Ia sudah salah berniat mengunjungi ayahnya hari ini. Seharusnya Ia tidak perlu repot-repot datang ke kantor polisi bukan ?

Tapi apa boleh buat, kini hanya Jaya lah satu-satunya anggota keluarga yang dimiliki oleh Anggieta. Ia tidak ingin menjadi anak yang durhaka dengan menelantarkan ayahnya sendiri mendekap di penjara tanpa ada yang perduli.

Anggieta mengatur deru nafasnya. Ia memberanikan diri menatap lekat wajah Jaya yang tak mau melihat dirinya. "Mau sampai kapan papa benci sama Anggieta, Pa ?" Lirihnya.

"Bahkan setelah kejadian yang akhir menyebabkan kakak men-" Anggieta menjeda ucapannya, sejenak Ia mengatur nafas yang terasa sesak jika mengingat kejadian hari itu. "Meninggal" Gumamnya pelan hampir tak terdengar.

"Apa itu semua belum bisa buat papa sadar ? Apa yang papa dapetin dari membenci anak papa sendiri ?" Tanya Anggieta.

Kali ini Jaya menoleh, Ia menatap mata gadis itu penuh dengan kebencian. Perlahan Ia sedikit mendekatkan wajahnya ke depan kaca pembatas.

"Saya kehilangan istri dan anak saya karena kamu. Alasan apa yang bisa membuat saya berhenti membenci kamu ?" Desis Jaya dengan mata yang berkeca-kaca.

Tubuh Anggieta semakin bergetar mendengar tutur yang keluar dari mulut Jaya. Mata nya tak kalah berkaca-kaca. "Mama meninggal atas takdir Tuhan, bukan keinginan Anggieta. Dan kakak, kakak meninggal karena tusukan pisau dari papa bukan karena Anggieta" Sahut Anggieta benar-benar memberanikan diri melawan Jaya.

ANGAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang