Chapter 5

61.4K 5.5K 80
                                    

©Claeria


"Your lemonade, Miss,"  bartender menyodorkan minuman pesananku.

Mas Jo tadi mengusulkan untuk menelusuri kejadian malam itu dari awal hingga akhir, jadi di sinilah kami. Duduk bersebelahan di bar Black Pearl, tempat yang mengawali kejadian naas malam itu.

Kami tidak sepenuhnya mengulangi semuanya. Saat ini aku memesan lemonade, bukan signature cocktail Black Pearl yang baru aku sadari memiliki kandungan alkohol yang sangat tinggi. Mas Jo juga memesan mocktail, bukan vodka seperti malam itu.

"Saya ingat waktu itu saya duduk di pojok sana bersama Brian, Guntur, dan Yohan," ujar Mas Jo sambil menunjuk meja di sudut ruangan dengan dagunya.

"Aku di sini, bareng Clara," timpalku.

"Oh ya? Tapi sebelum saya keluar ruangan, sepertinya kamu duduk sendiri di sini. Saya ingat kepala kamu oleng ke kiri dan kanan," tanya Mas Jo dengan dahi berkerut.

"Clara turun ke lobi untuk booking kamar," jawabku cepat, tidak mau Mas Jo mengingat postur tubuhku saat mabuk. 

"Setelah itu aku ke toilet dan ketemu Clara di sana. Dia suruh aku ke kamar duluan dan ngasih kuncinya," aku berusaha mengingat sesuai penjelasan Clara. 

Mas Jo mengangguk dan memegang dagu. Aku berani bertaruh, Mas Jo pasti suka nonton serial detektif. Buktinya, dia sampai punya ide reka ulang adegan seperti ini. Aku merasa seperti seorang kriminal yang disuruh menjelaskan kronologi kejahatannya.

"Setelah itu, kamu pergi ke lift dan ketemu saya di sana," lanjut Mas Jo, masih memegang dagunya. "Di situ kamu mulai menjebak saya."

Aku mendengus. "Enak aja! Jangan sembarangan ya, Mas! Aku nggak mungkin menjebak orang walaupun mabuk!"

"Emangnya kamu ingat apa yang terjadi? Kamu ingat ketemu saya di depan lift?"

Aku langsung menciut dan berbisik lemah, "Nggak sih."

Mendengar jawabanku, Mas Jo mengembuskan napas dengan dramatis. Tanpa aba-aba dia menarik tanganku, membuatku hampir terjatuh kalau saja tidak menabrak dadanya yang bidang.

Dan keras.

Ini dada atau talenan sih?

"Mas, mau ke mana?" tanyaku panik ketika dia menyeretku keluar, menyisakan minuman kami yang harga segelasnya lebih dari dua ratus ribu rupiah. Untung saja Mas Jo yang traktir.

Tanpa banyak bicara, Mas Jo membawaku ke depan lift. Dia merogoh saku celananya dan mengulurkan sebuah kartu kepadaku.

"Malam itu kamu memegang ini sambil ngomel ke pintu lift, nggak ingat?"

Orang bodoh macam apa yang memegang kartu akses kamar dan mengomel ke pintu lift?

"Kamu berulang kali meletakkan access card di tombol lift, lalu marah-marah karena pintunya tidak terbuka."

Ketika Mas Jo menjelaskan, sebuah bayangan berkelebat di kepalaku, seperti film yang dipercepat. Aku di depan lift. Terhuyung hebat. Seorang pria dengan jas dan kemeja yang terbuka dua kancing atasnya. Access card.

Astaga.

Akulah si orang bodoh yang marah-marah pada pintu lift!

Aku menggigit bibir, tidak bisa menyangkal kata-kata Mas Jo, karena aku mulai menemukan sebagian memoriku.

"Setelah itu kamu merengek karena tersesat dan nggak bisa menemukan kamarmu. Kata kamu, Clara udah nunggu kamu di kamar. Bodohnya, aku percaya begitu aja kata-kata orang mabuk. Bayangkan, orang mabuk mencoba menolong orang mabuk."

The Proposal EscapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang