Chapter 17

52.9K 4.8K 19
                                    

©Claeria


Sejak berpura-pura menjadi calon istri Mas Jo kemarin, aku tidak bisa mengusir rasa penasaran dari pikiranku. Ada banyak pertanyaan berseliweran di kepalaku. Namun, tanda tanya paling besar disebabkan oleh keingintahuanku atas cerita pengkhianatan Gianna.

Aku tahu Mas Jo memiliki batas kesabaran yang luar biasa panjang. Meski aku berkali-kali memarahinya, merajuk, atau menolaknya, dia tidak pernah memarahiku atau bersikap dingin. Namun, Mas Jo tampak seperti orang lain kemarin, ketika dia mengatakan bahwa Gianna adalah pengkhianat.

Apa yang—

"Woi, bengong melulu! Tangan lo dari tadi cuma diam di atas keyboard!"

Suara Jessica membuatku meloncat di kursi. Rasanya jantungku hampir melonjak keluar. Aku segera menoleh ke arah kursi atasanku, untung saja dia sedang tidak di tempat. Bisa-bisa aku diberikan siraman rohani kalau ketahuan bengong saat bekerja.

"Mikirin apaan sih? Serius amat," tanya Arin yang duduk di seberangku tidak mau ketinggalan.

Aku menatap mereka bergantian lalu menggigit bibir. Karena tidak mungkin menjawab bahwa aku sedang memikirkan Mas Jo, aku hanya menggeleng dan menggumam, "Bukan apa-apa."

"Lo ngantuk ya, Sher? Memang sih, jam tiga tuh lagi ngantuk-ngantuknya," Arin  menutupi mulutnya yang menguap lebar. Ini mah dia yang ngantuk!

Jessica, yang paling senior di antara kami dan paling serius soal pekerjaan, langsung berdecak dan menimpali, "Ke toilet dulu gih. Cuci muka sana! Kalau Bu Wina ngelihat lo begini nanti dia ngomel."

"Gue tuh kalau ngantuk nggak butuh cuci muka, Jes," rengek Arin manja sambil mengelus perut. "Butuhnya makanan. Kalau ada yang dikunyah nanti juga melek sendiri."

"Ya ke kantin lah sana, jajan apa gitu."

Melihat Jessica kehilangan kesabarannya sementara Arin merajuk manja membuatku terkekeh. Karena bosan dan butuh mengalihkan perhatian sejenak agar bisa kembali fokus bekerja, aku menawarkan diri.

"Kalau gitu biar gue aja yang ke kantin. Kalian mau titip apa? Sekalian gue jalan-jalan."

"Seriusan? Gue titip makaroni kering ya, Sher. Yang level tiga!" sahut Arin penuh semangat.

Tidak ketinggalan, Jessica merogoh tas dan mengambil selembar uang dua puluh ribuan, "Gue mau titip keripik singkong, Sher. Yang rasa manis gurih, ya. Nih duitnya."

"Siap, Boss!" jawabku memberi gestur hormat sebelum bangkit dari kursi sambil menenteng dompet.

"Sher!"

Aku baru saja berjalan sekitar lima meter dari meja ketika Arin memanggilku. Aku menoleh. Mungkin  dia ingin menambah pesanannya. Arin memang suka labil kalau memesan makanan.

Namun, bukannya menambah pesanan, Arin malah nyengir lebar. "Abis dari kantin langsung balik ya. Jangan main ke lantai tujuh dulu buat nengokin Mas Brian!" seru Arin lantang, membuat semua orang di ruangan menoleh ke arah kami dan menyorakiku.

Siaaaaal! Awas saja dia, akan kutukar makaroninya dengan yang level lima!

***

Walaupun Arin cukup labil dalam memesan makanan, sesungguhnya aku sendiri tidak jauh berbeda. Tadi aku sudah memutuskan untuk membeli susu stroberi saja. Namun, ketika sudah dihadapkan pada aneka ragam camilan yang berjejer di kantin, aku bingung sendiri.

Semuanya tampak menarik! Rasanya aku ingin membeli keripik kentang, wafer coklat, es krim, susu, dan kacang atom sekaligus!

Tidak, tidak boleh. Aku harus menahan diri sebelum beratku makin bertambah dan aku benar-benar terlihat seperti ibu hamil.

Menetapkan hatiku, aku lalu menyambar satu kantong makaroni, satu kantong keripik singkong, dan satu kotak susu stroberi, "Mas—"

"Mas, vitamin C dan biskuitnya satu," berbarengan denganku, seorang pria memanggil si petugas kantin. Aku baru mau menoleh sambil memberengut ke arahnya, ketika dia menyadari keberadaanku.

"Eh, sorry. Mbak duluan ya?"

"Eh, nggak apa-apa, saya tadi masih lihat— Mas Jo?"

"Sheren?"

Mataku melebar melihat pria yang berdiri menjulang di sebelahku. Aku  tidak sadar sebelumnya kalau dia adalah Mas Jo. Suaranya terdengar berbeda dari biasanya, jauh lebih berat dan serak.

Bukan hanya suaranya, penampilan Mas Jo juga tidak seperti biasanya. Rambutnya tidak tersisir rapi ke belakang, wajahnya tertutup masker, dan dia mengenakan jas berbahan wol yang terlihat lumayan panas dikenakan.

"Mas kok pakai masker begitu? Terus kenapa beli vitamin C? Nggak enak badan?" tanyaku setengah penasaran, setengah khawatir. Iya, hanya setengah kok khawatirnya.

"Iya, kayaknya aku kena flu. Aku bersin-bersin dan meriang dari tadi malam," jawabnya lemah.

"Demam nggak?" tanyaku spontan sambil berjinjit dan mengulurkan tangan ke dahinya.

Mas Jo sempat mengambil satu langkah mundur, tapi tanganku lebih dulu sampai di dahinya. Kulitnya terasa hangat di telapak tanganku. Sepertinya dia benar-benar sakit!

"Hmmm... Sheren?"

Ketika Mas Jo memanggilku, aku baru sadar sepertinya aku berdiri terlalu dekat dengannya. Melihat wajah Mas Jo yang memerah, entah karena demam atau tindakanku barusan, aku buru-buru menarik tanganku dan melangkah mundur. Kini pipiku jadi ikut memanas rasanya.

"Ke-kenapa hari ini nggak istirahat di rumah aja? Kenapa malah ngantor? Hari ini kan hari kejepit, besok tanggal merah," tanyaku dengan jantung berdebar kencang.

"Walaupun ini hari kejepit, tapi tetap ada banyak kerjaan yang mesti diselesaikan. Palingan nanti aku pulang cepat."

"Kalau begitu, gimana kalau..."

Aku terdiam, pertanyaanku menggantung begitu saja.

Mas Jo mengangkat alisnya dan menatapku menyelidik, "Kalau...?"

"Gimana kalau Mas Jo pergi berobat ke dokter aja setelah pulang kantor," jawabku cepat-cepat.

Walaupun separuh wajahnya tertutup masker, aku bisa melihat Mas Jo tersenyum dari kedua matanya yang melengkung menggemaskan. Dia tertawa kecil sebelum mengacak rambutku, "Kamu khawatir?"

"Nggak! Siapa juga yang khawatir," balasku sambil menepis tangannya.

"Flu biasa begini nggak perlu ke dokter, palingan sembuh sendiri setelah makan dan istirahat," jawabnya santai, masih dengan suara sengaunya.

"Aku duluan ya," ujar Mas Jo singkat setelah membayar belanjaannya dan berlalu dari kantin.

Ketika punggungnya sudah hilang di balik pintu kaca, aku mengerang frustrasi dan menutup wajahku dengan kedua tangan, merutuki diriku sendiri.

Ini gawat. Sepertinya diam-diam Mas Jo sudah berhasil mempengaruhiku dengan pesonanya.

Yang benar saja, apakah aku tadi hampir menawarkan diri untuk menemani Mas Jo pergi ke dokter?! Apa aku sudah tidak waras?

Aku? Khawatir? Berniat menemaninya ke dokter?

Astaga! Sadarlah, Sheren!

***

The Proposal EscapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang