©Claeria
"Lo beneran hamil, Sher?"
Pertanyaan polos Dion membuatku tersedak dan terbatuk hebat. Susu coklat yang kuminum berbelok ke saluran yang salah. Dasar teman sialan! Untung saja Clara membantu menepuk-nepuk punggungku, memastikan aku tidak mati tersedak.
"Apaan sih, Yon?!" aku menggeram kepada Dion yang menatapku dengan dahi berkerut.
"Ya abisnya belakangan ini lo minum susu itu terus, bukan susu melon atau pisang kesukaan lo itu," Dion menunjuk kotak susu yang kuletakkan di atas meja.
"Memangnya kenapa? Rasanya kan enak!" aku membela diri.
"Tapi ini susu buat ibu hamil, Sher!" protes Dion sambil mengambil kotak susu milikku dan menunjuk foto ibu hamil di sana dengan ekspresi hello-apa-lo-nggak-bisa-lihat.
Aku bersyukur karena sore ini kafe di lobi kantor sedang sepi pengunjung dan kami duduk di sudut ruangan. Kalau sampai ada yang mendengar Dion barusan, bisa-bisa hanya butuh kurang dari seminggu sampai tim HRD memanggilku dan aku dipecat.
"Ngomongnya bisa pelan dikit nggak sih?" aku menempelkan jari telunjuk di bibir, mengisyaratkan Dion untuk menutup mulut besarnya itu. Untung saja dia paham dan segera mengatupkan bibirnya.
"Pertama, Mas Jo yang beliin gue susu itu. Kedua, rasanya memang enak, jadi gue nggak keberatan minumnya. Ketiga, gue belom tentu hamil!" jelasku sambil mengacungkan tiga jariku, memperjelas pembelaanku terhadap semua tuduhan Dion.
"Berarti sekarang tiap hari lo diantar jemput sama Mas Jo? Pulang pergi?" tanya Clara penasaran.
Aku mengangguk membenarkan, membuat Dion dan Clara saling bertatapan dengan mulut menganga.
"Dia selalu bawain lo sarapan dan susu?" tanya Clara.
Lagi-lagi aku mengangguk.
Belakangan ini Mas Jo memang rutin menjemput dan mengantarku pulang. Dia juga selalu membawakan buah, sandwich, bubur, pokoknya makanan sehat yang bisa ia temukan di pagi hari untukku. Tentu saja tidak ketinggalan susu ibu hamil yang aku akui rasanya ternyata enak.
Tidak hanya itu, belakangan Mas Jo juga sangat perhatian. Dia menjagaku layaknya sebuah berlian berharga yang tidak boleh lecet sama sekali. Agak berlebihan memang, apalagi saat ini kami belum tahu apakah si Dedek benar-benar ada atau tidak.
"Wah, gila, gila," Dion bertepuk tangan dengan dramatis, membuatku dan Clara menoleh ke arahnya. "Cuma dengan kesalahan satu malam lo bisa membuat Mas Jo bertekuk lutut sama lo, Sher. Gila sih."
"Tau gitu gue jebak Mas Jo dari dulu," timpal Clara sambil terkekeh, membuatku memberengut. Entah kenapa aku tidak suka ide itu.
"Tapi, gue bingung. Kenapa sih lo malah nolak Mas Jo? Padahal lo dulu suka sama dia," tanya Dion sambil menyesap kopi di cangkirnya.
"Justru karena itu," aku menghela napas. "Gue kayak gini justru karena gue pernah suka sama dia."
Dion dan Clara kompak menegakkan posisi duduk mereka, bersiap mendengarkan ceritaku lebih lanjut. Aku meremas kedua tanganku bersamaan, sesungguhnya sedikit ragu untuk berbagi cerita. Namun, melihat tatapan ingin tahu kedua sahabatku, aku tidak bisa menyembunyikannya lagi.
"Bukannya ini konyol?" sahutku gemas. Akhirnya emosi yang kupendam selama ini muncul ke permukaan. "Karena kejadian bodoh satu malam, dia mau nikah sama gue, cewek yang tadinya dia tolak mentah-mentah bahkan ketika gue belum memulai apa-apa. Kayak... harga diri gue tercoreng di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Proposal Escape
ChickLitSeperti perempuan pada umumnya, Sheren Callista Winata memimpikan kisah romantis yang berakhir dengan mengucapkan janji suci bersama di depan altar. Namun, ketika Joseph Kartawiharja, pria idaman wanita kantor yang tampan dan mapan meminangnya, Sher...