©Claeria
Aku menyedot susu kotak rasa pisang sambil memandang layar komputer dengan tatapan kosong. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, waktu ketika fokusku mencapai titik terendahnya. Sejak Mas Jo mengganggu hidupku, biasanya aku menghabiskan waktu untuk memikirkan cara menghindarinya di jam ini. Namun, sejak kejadian minggu lalu, hidupku kini lebih tenang.
Setelah drama menangis di kafe, Mas Jo berulang kali menelepon dan mengirim pesan untuk minta maaf. Namun, aku tidak menggubrisnya sama sekali. Tampaknya caraku cukup berhasil karena sudah tiga hari ini dia tidak menghubungi atau mendekatiku lagi.
"Tumben bengong, Sher? Biasanya jam segini istirahat dulu sampai main handphone?" tanya Jessica sambil melirikku sekilas.
"Hah? ...Oh," aku melirik ponselku di meja, "Lagi bosan aja sama handphone, Jes."
Jessica tertawa kecil dan berseloroh, "Kirain lagi berantem sama gebetan."
"UHUK! UHUK!" aku langsung batuk-batuk mendengarnya. "Gebetan apanya?!"
"Santai, Sher. Abisnya belakangan muka lo kalo liat handphone lucu sih. Kadang cemberut, ngedumel, sampai senyum-senyum sendiri. Makanya gue kira lo lagi chat sama gebetan," jelas Jessica sambil mengulurkan beberapa lembar tisu untuk mengelap bibirku yang basah.
"Senyum-senyum? Gue?" tanyaku sambil menunjuk diri sendiri.
Jadi selama ini aku senyum-senyum sendiri sambil melihat chat dari Mas Jo? Idih! Pasti Jessica salah. Mungkin dia melihatku saat sedang membalas chat Mas Brian.
Eh, tidak mungkin ya? Aku kan jaraaaang banget chatting sama Mas Brian.
"Lagi ngapain, nih? Seru amat ngobrolnya!" suara cempreng yang familiar membuyarkan lamunanku.
Arin, teman satu timku, berjalan menghampiri meja. Sepertinya dia baru kembali dari suatu tempat, aku baru sadar sejak tadi mejanya yang terletak di seberangku kosong.
"Ini si Sheren, tumben bengong sambil minum susu. Biasanya sibuk sama handphone, gue kira lagi chat sama gebetannya," jawab Jessica sambil menunjukku dengan dagu.
"Lah? Emang lo punya gebetan, Sher? Kirain naksir Mas Brian!"
"Yeee Mas Brian mah gebetan satu gedung! Dari ibu kantin, resepsionis, satpam, ibu-ibu, sampai anak baru semuanya juga demen sama Mas Brian."
Aku mendengus sebal. Jessica dan Arin sudah lama tahu tentang ketertarikanku terhadap Mas Brian dan selama itu pula mereka hanya menganggapku satu dari sekian banyak fansnya. Huh! Setidaknya aku kan adik kelas Mas Brian. Aku selangkah lebih maju daripada sainganku yang lain.
"Lo abis dari mana, Rin?" aku mengalihkan pembicaraan, penasaran dengan Arin yang menghilang cukup lama dari meja.
"Dari HRD, abis ambil ganti access card yang rusak. Gara-gara ini nih gue nggak bisa masuk ruangan kemarin!" jawab Arin sambil mengacungkan kartu yang tergantung pada lanyard miliknya.
Di kantor kami, access card memang barang penting. Mulai dari data kehadiran, akses ke ruangan, hingga makan di kantin, semuanya membutuhkan kartu itu. Sangat merepotkan kalau sampai rusak.
"Eh, eh! Lo tau nggak sih?" bisik Arin tiba-tiba dengan volume rendah sambil melirik ke kanan kiri.
Mendengar kalimat sakti tersebut, aku dan Jessica otomatis merapat ke Arin, bersiap mendengar berita hangat yang dia bawa.
"Mbak Dea finance katanya hamil lagi!" bisik Arin dengan mata melebar.
Jessica mengernyit tidak percaya, "Hah? Lagi? Perasaan gue belom lama ini abis cuti melahirkan deh."
"Yang sekarang berarti anak keberapa? Ketiga ya?" tanyaku penasaran.
"Iya, anak ketiga. Kebobolan kayaknya, tadi gue nggak sengaja denger anak HRD lagi pada bisik-bisik," Arin semakin mencondongkan tubuhnya ke arah aku dan Jessica supaya makin leluasa bercerita. "Katanya Mbak Dea beberapa hari ini nggak enak badan, terus kepikiran kok belom datang bulan. Abis itu dia iseng-iseng tes, ehhhh taunya garis dua lagi, cyin!"
Aku manggut-manggut, membiarkan Jessica dan Arin yang masih asyik berceloteh.
Mbak Dea pasti kaget. Mana sangka belum lama melahirkan tahu-tahu sudah hamil lagi? Tapi dulu sepupuku pernah cerita, dia kebobolan hamil anak keduanya tidak lama setelah melahirkan anak pertama karena lupa memperhatikan siklus menstruasinya dan—
Sebentar.
Kapan terakhir kali aku dapet, ya?
Tiba-tiba aku merasakan bulu kudukku meremang dan keringat dingin mengalir di tanganku.
Astaga.
Kok aku tidak ingat? Aku yakin aku sudah menstruasi di bulan lalu, tapi kalau bulan ini...
Aku mendadak mual, isi perutku seperti mendesak naik. Tanganku segera menyambar ponsel sementara aku bangkit berdiri. Cukup mendadak hingga Jessica dan Arin tersentak kaget.
"Sher? Mau ke mana?" tanya Arin setengah berseru karena aku sudah berlari keluar ruangan.
"Toilet sebentar, tiba-tiba mules!" jawabku sekenanya tanpa menoleh lagi.
Sesampainya di kamar mandi, aku masuk ke bilik kosong paling ujung dan menguncinya. Aku mengeluarkan ponsel dengan tangan gemetar.
Jemariku buru-buru mencari aplikasi berwarna merah jambu yang tidak pernah absen aku gunakan tiap kali menstruasi. Aku sudah menggunakannya rutin sejak kuliah, tidak melewatkan satu bulan pun. Namun, baru kali ini aku membukanya dengan perasaan campur aduk seperti ini.
Aku menarik napas panjang dan menelan ludah sebelum membuka aplikasi itu.
Ketika melihat notifikasi di layar ponsel, kakiku terasa lemas, membuatku terduduk di atas kloset yang tertutup. Menolak untuk percaya, aku mendekatkan wajah ke layar ponsel, berulang kali membaca tulisan di sana. Mungkin saja aku salah baca atau aplikasi ini error.
"You are 7 days late."
Setelah memastikan aku memang tidak salah baca, jantungku rasanya ingin meledak. Tiba-tiba aku teringat kata-kata Mas Jo tempo hari.
"Tapi malam itu kita nggak pakai pengaman. Gimana kalau kamu hamil?"
Air mataku meluap seketika dan napasku tersendat. Sungguh, ini pertama kalinya aku merasa setakut ini. Sambil sebelah tangan memegangi perutku, tanganku yang lain sibuk mencari nama di buku kontak ponselku.
Dengan terburu, aku menekan ikon telepon pada layar dan menempelkan benda itu ke telinga. Tidak sampai lima detik orang di seberang sudah mengangkat panggilanku.
"Halo, Mas Jo?" cicitku dengan suara bergetar, hampir terisak. "Mas, gimana ini? Kayaknya kata-kata Mas Jo beneran kejadian..."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Proposal Escape
ChickLitSeperti perempuan pada umumnya, Sheren Callista Winata memimpikan kisah romantis yang berakhir dengan mengucapkan janji suci bersama di depan altar. Namun, ketika Joseph Kartawiharja, pria idaman wanita kantor yang tampan dan mapan meminangnya, Sher...