©Claeria
Aku terbangun dengan kepala berat, rasanya seperti ada batu yang menindihnya. Walaupun sudah berulangkali kupijat, kepalaku tidak kunjung membaik.
Semalam, setelah Mas Jo mengantarku pulang, aku buru-buru melarikan diri ke kamar, merasa terlalu bersalah untuk menghadapi Mama dan Papa. Sesampainya di kamar dan menyadari kalau tidak ada Mas Jo di sana, rasa takut kembali menghantuiku. Sepanjang malam aku hanya bisa berbaring dengan gelisah di kasur. Semua skenario buruk berputar di kepalaku seperti rentetan film tragedi, membuatku tidak bisa tidur dan menangis semalam suntuk.
Aku menyingkap selimut yang menutupi tubuhku dan menyeret kakiku beranjak dari kasur. Kakiku berhenti sejenak di depan meja rias. Astaga, aku benar-benar terlihat menyeramkan! Kedua mataku bengkak dan kantong mataku sangat gelap! Aku yakin make up pun tidak akan mampu menyembunyikannya.
Sebuah embusan napas lolos begitu saja dari mulutku. Walaupun merasa begitu buruk, aku harus tetap berangkat kerja. Bagaimana pun juga, ini baru hari Selasa.
Aku memaksa diriku mandi, ganti baju, dan berdandan seperti biasa. Aku lalu beranjak keluar kamar sambil menenteng tas kerja dan menuruni tangga.
"Makan dulu sebelum berangkat," seru Mama dari dapur tanpa menoleh sama sekali. Mama bisa mengenali anggota keluarga kami dari suara langkahnya saja.
"Nggak sempat, Ma. Nanti beli roti di kantor aja," jawabku sambil menghampiri Mama dan mengecup pipinya sekilas, ritualku tiap pagi sebelum berangkat kerja.
"Udah Mama duga," Mama berdecak. "Ya udah, bawa ini."
Mama menyodorkan tas bekal kepadaku. Kedua alisku bertaut bingung melihat dua buah sandwich yang dibungkus rapi dengan plastic wrap di dalamnya.
"Kenapa rotinya ada dua? Satu aja cukup."
"Siapa bilang dua-duanya buat kamu? Satunya untuk Joseph. Tuh, orangnya udah nunggu di ruang tamu," Mama menunjuk ke arah depan rumahku dengan dagunya.
Mulutku otomatis menganga. Aku buru-buru mengintip dari balik dinding ke arah ruang tamu. Benar saja, ada pria yang duduk memunggungiku di sana! Dari potongan rambutnya, aku yakin orang itu Mas Jo!
"Kalian tuh kalau ada masalah harus dibicarakan berdua baik-baik. Jangan lama-lama bertengkarnya," timpal Mama dari balik punggungku, membuatku membalikkan badan dan mengernyit.
"Siapa juga yang bertengkar sama Mas Jo?!"
"Terus kenapa mata kamu dua-duanya bengkak begitu setelah diantar pulang semalam?"
Mulutku hanya membuka lalu menutup lagi. Tidak mungkin kan aku cerita ke Mama kalau aku menangis semalaman karena takut hamil anaknya Mas Jo? Bisa-bisa Mama langsung pingsan sambil berdiri!
Aku mengangguk sekilas lalu berpamitan, "Sheren berangkat dulu, Ma."
Sambil membawa tas kerja di kanan dan menenteng tas bekal di kiri, aku menghampiri pria yang sedang duduk tenang di ruang tamu sambil membaca koran.
Membaca koran saja kenapa bisa terlihat begitu tampan sih?
Apa ini pemandangan yang akan kutemui tiap pagi kalau aku menikah dengan Mas Jo nantinya? Mas Jo membaca koran pagi sambil menyesap teh hangat, lalu aku memeluknya dari belakang, mengingatkan bahwa sarapan sudah siap, lalu—
"Udah selesai? Yuk berangkat," suara Mas Jo menyadarkanku dari lamunan. Entah sejak kapan dia menyadari keberadaanku yang berdiri mematung di belakangnya.
Setelah berdeham panik dan mengangguk sekilas, aku mengikuti Mas Jo yang menuntunku ke arah mobilnya yang diparkir di depan rumah.
Ketika dia membukakan pintu mobil untukku, kakiku terhenti di tempat. Ada satu hal yang menggelitik rasa penasaranku sejak tadi. Aku memutuskan untuk bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Proposal Escape
Romanzi rosa / ChickLitSeperti perempuan pada umumnya, Sheren Callista Winata memimpikan kisah romantis yang berakhir dengan mengucapkan janji suci bersama di depan altar. Namun, ketika Joseph Kartawiharja, pria idaman wanita kantor yang tampan dan mapan meminangnya, Sher...