©Claeria
Sejak kejadian tempo hari, Mas Jo berusaha menghubungiku berulangkali. Namun, aku tidak kunjung membalas pesannya ataupun mengangkat teleponnya. Sempat terpikir olehku untuk memblokir kontaknya, tetapi aku mengurungkan niat karena merasa terlalu kekanakkan. Yang pasti, aku tidak mau lagi terlena oleh kata-kata Mas Jo dan terjebak dalam ilusi bahwa dia sungguh mencintaiku.
Mungkin karena akhirnya lelah sendiri, Mas Jo berhenti menghubungiku hari ini. Tidak ada pesan maupun telepon masuk. Jujur, ada rasa kecewa di dalam hatiku.
Ini aneh. Harusnya aku senang kan? Bukankah ini yang aku harapkan? Bukankah sebaiknya kami memang tidak usah berurusan lagi?
Mengabaikan pertanyaan-pertanyaan mengganjal di kepalaku, aku melalui hari ini dengan perasaan mengambang, seperti kapal yang terombang ambing tanpa arah. Karena sudah tidak produktif, aku memutuskan untuk pulang tepat waktu.
Setelah pamit dengan Jessica dan Arin, aku menyeret kakiku keluar dari ruangan. Aku memencet tombol lift, menunggu angka di layar berubah menjadi angka lima.
"Hai, Sher!"
Begitu pintu lift terbuka, aku tersentak karena mendengar suara ramah seorang pria. Untuk sepersekian detik jantungku hampir meledak rasanya. Kukira itu Mas Jo, tetapi ternyata aku salah. Bukan wajah teduh Mas Jo yang kutemui di sana, melainkan senyum ramah Mas Brian.
Mas Brian tersenyum lebar dan menggeser posisinya berdiri, mempersilakan aku naik.
"Halo, Mas Brian," aku balas menyapa sambil mengangguk. "Tumben Mas Brian pulang jam segini?"
"Lagi nggak begitu sibuk, Jo malah udah duluan," jawab Mas Brian ceria. Dia terdiam sejenak sebelum bertanya dengan hati-hati. "Kok tumben kalian nggak bareng? Lagi berantem?"
Tidak tahu jawaban apa yang harus kuberikan, aku hanya tersenyum tipis. Sepertinya Mas Jo tidak bercerita kepada Mas Brian, jadi sudah sewajarnya aku pun berlaku demikian kan?
Menyadari responsku yang kecut, Mas Brian hanya mengangguk kecil seolah memahami. Dia sempat terdiam, beberapa kali melirikku sebelum akhirnya bertanya.
"Sher, tahu nggak? Le Sucre lagi keluarin menu limited edition lho, sakura cheesecake. Udah coba belum?" Mas Brian mengalihkan pembicaraan, yang lalu aku jawab dengan gelengan.
"Cobain yuk, mampir dulu ke Le Sucre!"
"Aku nggak la—"
"Ayolah, temenin aku makan dong," bujuk Mas Brian. "Katanya makanan manis bisa bantu memperbaiki mood juga lho."
Aku tertawa tidak tahu sebenarnya Mas Brian sedang berusaha menghiburku atau dia memang benar-benar ingin mencicipi kue terbaru itu.
Kalah terhadap bujukan Mas Brian, aku lalu mengiakan. Toh aku juga lapar. Justru lebih baik begini ketimbang aku makan sendirian dan lagi-lagi memikirkan Mas Jo kan? Siapa tahu moodku juga membaik setelah mencicipi kue.
Keluar dari lift, kami berjalan ke arah lobby, tempat Le Sucre terletak. Namun, belum juga sampai di sana, kakiku terhenti di tempat. Seolah ada batu besar yang menindih kakiku hingga tak dapat bergerak.
"Sher? Kenapa berhen–"
"Mas, kita boleh makan kue di tempat lain aja nggak? Mobil Mas Brian ada di basement kan?" pintaku tergesa.
Kening Mas Brian berkerut bingung melihat tingkahku. Dia baru saja hendak mengucapkan sesuatu ketika seorang pria dari kejauhan berseru memanggilku.
"Sheren!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Proposal Escape
Chick-LitSeperti perempuan pada umumnya, Sheren Callista Winata memimpikan kisah romantis yang berakhir dengan mengucapkan janji suci bersama di depan altar. Namun, ketika Joseph Kartawiharja, pria idaman wanita kantor yang tampan dan mapan meminangnya, Sher...