Chapter 3

63.5K 5.7K 225
                                    

©Claeria


Aku melirik ke arah teman-teman divisiku yang mulai beranjak satu per satu. Sudah jam setengah enam, lebih tiga puluh menit setelah jam kerja berakhir. Aku masih menatap layar ponsel, membaca pesan dari Mas Jo di sana.

Mas Jo: [shared a location]

Mas Jo: Oakley's jam 18.00

Tadi siang, sebelum aku sempat membalas pertanyaan Mas Jo, lift yang kami tumpangi sudah terlanjur sampai di lantai lima. Mas Jo berdecak dan berkata sebelum melenggang ke ruang meeting, "Cek ponselmu nanti."

Lima menit kemudian, ketika sudah duduk di meja, aku buru-buru membuka ponsel dan menemukan pesan darinya di sana. Mas Jo ingin menemuiku sore ini. Pasti dia ingin membahas soal kejadian itu!

Apa jangan-jangan dia merasa terhina karena aku meninggalkannya di hotel begitu saja? Atau dia merasa bersalah dan hendak minta maaf? Tapi wajahnya tadi siang terlalu dingin dan menyeramkan untuk ukuran orang yang mau minta maaf...

Astaga! Aku nggak tahu harus ngomong apa nanti!

Apa sebaiknya aku kabur saja ya...

Seolah bisa membaca pikiranku, ponselku berdenting, memberikan notifikasi pesan masuk. Aku melotot membaca isinya.

Mas Jo: Coba kabur lagi dan lihat apa yang akan terjadi

Seketika bulu kudukku berdiri. Bagaimana dia bisa tahu?

Aku buru-buru menyudahi pekerjaanku dan mematikan komputer. Entah kenapa aku merasa takut, seperti sedang diawasi Mas Jo.

"Duluan ya, teman-teman!" sapaku kepada beberapa orang yang tersisa.

Restoran yang Mas Jo pilih terletak agak jauh dari kantor. Namun, berkat bantuan ojek online yang cekatan dalam urusan salip menyalip di tengah kemacetan Jakarta, aku berhasil sampai di sana jam enam lewat lima menit. Tidak begitu terlambat.

Aku mengedarkan pandangan ke restoran bernuansa minimalis itu, berusaha mencari pria tampan dalam balutan kemeja berwarna biru muda. Namun, batang hidung Mas Jo tidak kunjung tampak.

Seorang pelayan yang melihatku celingukan lalu menghampiri dan bertanya, "Ada yang bisa saya bantu?"

"Ah... Saya lagi nyari teman saya, Mbak. Cowok, tingginya sekitar seratus delapan puluh senti, pakai kemeja warna biru muda."

Si pelayan tampak berpikir sejenak, "Tadi ada dua orang tamu dengan ciri seperti itu."

"Yang ganteng, Mbak! Orangnya cool dan kalem pokoknya," sahutku mantap.

Seolah mengerti maksudku, si pelayan tersenyum dan mengajakku mengikutinya. Dia membawaku ke lantai dua, tempat ruangan privat berada.

"Permisi, Pak. Temannya sudah datang," ucap si pelayan sambil mengetuk pintu.

Ketika pintu dibuka, Mas Jo tampak di sana, sedang duduk sambil menyilangkan kaki dengan tangan bertumpu pada meja. Aku menelan ludah tanpa sadar. Kenapa orang ini berpose seperti model begitu? Kenapa wajahnya harus setampan itu sih?!

"Nah, ini kan temannya yang ganteng, Mbak?"

"Eh?! I- iya, hehe... Ganteng..."

Mendengar pembicaraanku dengan si mbak yang iseng itu, Mas Jo membuang muka. Tapi, sungguh, aku sempat melihatnya tersenyum sebelum membuang muka!

AAAAAA! RASANYA AKU MAU MELEBUR SAJAAAA!

Sambil menahan malu, aku duduk di seberang Mas Jo. Pelayan yang tadi mengikutiku lalu mencatat pesanan kami.

The Proposal EscapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang