Sembilan belas

7.3K 415 0
                                    

Bagian kesembilan belas.

"Minggir lo! Gue mau nonton tv. "Kata Fandy dengan kasar.

Alzea langsung berdiri dan menatap Fandy dengan nanar. Baru seperti ini saja ia sudah mendapatkan perlakuan tidak layak. Sikap dingin Fandy bahkan sudah mendominasi dirinya. Tidak mungkin Alzea bisa melelehkan itu semua.

"Maafkan saya, Fandy. Saya tidak-----" lirih Alzea.

"Pergi deh! Gue muak liat lo ada disini"jelas Fandy yang secara langsung mengusirnya untuk pergi.

Alzea hendak pergi membantu pekerja rumah tangga dirumah ini. Pikirannya sudah mengantung. Bagaimana kelanjutan kuliah nya, bagaimana cara meninggalkan rumah ini, dan bagaimana untuk memperjuangkan Fandy yang sama sekali tidak memperdulikan nya.

Alzea mulai telaten memotong sayur-sayuran. Disaat seperti ini memori dengan mama Sandra teringat. Namun Alzea sama sekali tidak mau larut dengan kesedihan ini.

"Udah, non. Biar bibi saja yang kerjakan. Kamu kan tamu disini masa bibi biarin non kerja sih"kata Bi Pipin dengan ramah.

Alzea tersenyum singkat. "Tidak apa, bi. Lagipula saya disini tidak ada kerjaan jadi bantuin bibi aja deh. Bolehkan?"

"Tapi saya tidak enak dengan Nyonya. Sudah, tinggal saja, Non. Bibi sudah biasa kerjakan ini sendirian"

"Dulu, aku suka memasak bersama ibuku. Jadi aku bisa bantuin bibi. Udah lagipula itung-itung bantuin pekerjaan bi Pipin. Boleh kan?" Tanya Alzea dengan ramah.

"Boleh, Non. Non Alzea sangat baik sekali. Pantas saja Fandy akan dijodohkan dengan Non. Bibi berharap Non bisa meluluhkan hati Fandy. Dia sangat tertutup semenjak Papa nya pergi begitu saja " jelas Bi Pilih dengan lembut.

" pergi? Meninggalkan Fandy? Kenapa, Bi?"tanya Alzea tidak mengerti dengan teka-teki itu semua.

"Fandy kesal dengan Ayahnya karena pergi begitu saja. Tidak ada yang tau kenapa ayahnya pergi. Tapi, Fandy pernah melihat ayahnya bersama perempuan lain di cafe. Sejak saat itu Fandy bersikap tertutup...."

"Tertutup? Jadi maksudnya fandy---"

"Dia jadi anak brutal, tidak perduli dengan siapapun di dekat nya, tidak mau makan, bahkan Nyonya dulu sempat menyerah menghadapi sikap Fandy. Mungkin, hatinya sangat sakit dengan kejadian itu. " jelas Bi Pipin.

Mendadak Alzea terdiam. Dibalik sikap Fandy yang seperti itu ia menyimpan banyak luka.

"Alzea tidak heran dengan sikapnya. Selama ada Alzea, Fandy bahkan tidak pernah bersikap baik dan manis. Sikap nya untuk saya sangat bertolak belakang" Alzea melanjutkan kembali memotong sayuran itu.

"Jangan terlalu diambil hati. Dia memang begitu. Bibi tau bagaimana sikap Fandy sebenarnya. Dia sangat lembut bahkan dia sangat menyayangi seseorang. "

"Bibi tau ia sudah punya pacar?" Tanya Alzea.

"Sudah, tetapi calon istri Den Fandy tidaklah tulus. Bibi dengar, Nyonya juga tidak setuju dengan hubungan mereka. " kataBi pipin dengan lembut.

"Alzea yakin, suatu saat nanti sikap Fandy akan mencair."

(✿'‿')

"Pak tolonglah. Jangan cabut beasiswa Alzea. Dia mahasiswi yang sangat berprestasi."pinta Zidan dengan tulus.

Pak Tantowi hanya diam saja. Sudah kesekian kalinya Zidan memohon agar Rektor kampus yang sangat luas ini tidak mencabut beasiswa untuk Alzea.

"Tidak bisa, Zidan. Prestasi Alzea semakin hari semakin menurun. Coba kamu lihat. Nilai ia dari segala mata pelajaran ada yang dibawah rata-rata. Mau tidak mau ia harus menerima konsekuensinya. "Jelas Pak Tantowi dengan sikap wibawanya.

Zidan masih menatap buku nilai itu. "Saya yakin, Alzea akan bisa memperbaiki ini semua. Alzea mahasiswi yang berprestasi. Jadi, tolong Pak. Pertimbangan itu semua "

Pak Tantowi menghela nafas. "Saya tau kamu dosen muda yang memiliki pengaruh besar di kampus ini. Tetapi untuk hal seperti ini tidak bisa diganggu gugat. Sudah kesekian kali Alzea mendapatkan nilai dibawah rata-rata. " katanya dengan wajah kecewa.

"Saya mohon, Pak. Pertimbangkan lagi"pinta Zidan dengan memohon.

"Tidak bisa, Zidan. Ini sudah ketetapan kampus dan Alzea pun sudah menandatangani perjanjian beasiswa itu. Jadi ia harus menerimanya." Kata Pak Tantowi dengan menyesal.

Zidan terdiam. "Terima kasih, Pak. Saya permisi dulu"

Zidan berjalan tidak bersemangat hari ini. Sudah hampir tiga hari Alzea tidak terlihat berada di kampus ini. Ia menatap foto Alzea yang ada di handphone miliknya. Senyuman itu yang selalu ia rindukan.

Hari-hari Zidan merasa tidaklah sempurna. Tidak ada mentari pagi yang membuatnya tersenyum setiap saat.

"Hallo?"sahut Zidan yang mengangkat panggilan telepon itu.

"Kak Zidan sekali saja kakak menemui, Mama. Sepertinya hanya kakak yang bisa membuat Mama kembali."pinta seseorang disana yang tidak lain adalah adiknya.

"Kakak bisa bantu apa? Bahkan jika ada kakak disana tidak ada artinya. Mama sudah tidak perduli dengan kakak. Jadi untuk apa?"kata Zidan dengan nada dingin.

"Sekali saja kak. Demi Mama, dan aku akan membalas semua penderitaan ini. Aku akan membalaskan dendam, Kak. Dan kita akan hidup dengan tenang."tingkah licik Reneta mulai mendominasi dirinya.

"Lupakan soal dendam itu. Belajarlah untuk memaafkan, Reneta. Semua yang terjadi karena takdir."

Tut. Sambungan diputuskan begitu saja. Adiknya memang sangat keras kepala. Untuk apa membalaskan dendam hanya untuk kehidupan yang tenang. Melainkan hanya menambah luka dan kesakitan untuk orang lain.

(✿'‿'

Masih dengan suasana tegang. Keduanya saling bertatapan dengan keadaan berbeda. Yang satu menatap penuh dengan ketulusan sedangkan yang lainnya penuh dengan kebencian.

"Jadi kita hanya menikah selama satu tahun? Fandy, apa kamu yakin dengan ini semua. Bukannya----"

Fandy memicingkan matanya. "Iyalah! Lagipula gue udah mikirin ini semua. Gue gamau kehilangan semua ini dan tentunya elo juga bisa merasakan jadinya orang kayak!" Kata Fandy dengan dingin.

"Bukannya kalo menikah itu adalah acara yang sakral? Pernikahan seperti ini bukanlah pernikahan yang aku inginkan."pinta Alzea dengan ramah.

Fandy tersenyum miring. "Gue udah setuju dengan ini semua. Kalo lo gak mau yaudah terserah! Jangan harap lo minta-minta gue untuk nikah sama lo! Satu tahun itu gak lama kok!"

"Bukan seperti itu, Fandy. Meskipun kamu tidak pernah akan mencintai aku tetapi jangan mempermainkan pernikahan ini. "

"Terserah! Cuma satu tahun dan setelah itu, kita cerai dan gue bisa nikah dengan Reneta." Kata Fandy dengan kasar.

Alzea menghela nafas sejenak. "Baiklah jika itu yang kamu mau, aku bisa apa? Jadi kamu setuju dengan perjodohan ini?"

Fandy tersenyum sinis."daripada gue kehilangan ini semua, gue lebih baik bersandiwara menikah dengan lo." Lalu pergi begitu saja.

Disaat balok es itu mulai terasa cair. Namun bukan karena nya. Karena rasa keterpaksaan yang sangat mendalam. Bukan hanya karna cinta diantara mereka, namun karena logika yang menjadi jalan.

Apakah cinta itu akan tumbuh?

Difficult (dalam REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang