Biasanya Suhyeok tidak pernah peduli dengan ujian atau ulangan apapun. Ia jarang belajar dan sering menjawab asal-asalan. Ia juga tidak pernah memusingkan perkara nilai. Tapi ujian tengah semester yang sedang berlangsung kali ini benar-benar membuatnya kepikiran.
"Kenapa lesu begitu?" heran Cheongsan.
Suhyeok yang biasanya aktif di matanya jadi terlihat seperti baterai yang kehabisan daya.
"Mikirin nilai."
Dan jawaban Suhyeok yang membuat Cheongsan tertawa terbahak.
"Tumben mikirin nilai, biasanya mikirin Namra."
"Mikirin Namra juga. Gimana kalau gara-gara pacaran sama gue ranking Namra turun?"
Tiba-tiba Suhyeok mencemaskan kalau itu sungguh terjadi. Bagaimana Namra menghadapi ibunya nanti.
"Berarti lo pembawa sial."
Dan jawaban Cheongsan yang membuat Suhyeok murka.
"Mending lo diem aja," katanya.
"Namra itu udah pinter dari sananya. Pikirin aja diri lo sendiri yang katanya mau masuk lima puluh besar paralel," ledek Cheongsan.
Padahal saat itu Suhyeok hanya asal bicara.
"Udah gue turunin, lima puluh besar terlalu berat. Seenggaknya gue mau nyalip ranking lo, Onjo, sama Hyoryung."
Suhyeok menunjuk satu per satu pada Cheongsan, juga Onjo dan Hyoryung yang baru keluar kelas.
"Kenapa bawa-bawa gue?" protes Onjo. Ia melempar tas sekolahnya pada Cheongsan minta dibawakan karena Cheongsan kalah permainan.
"Namra mana?"
Suhyeok baru sadar, sejak ia keluar kelas, ia tidak melihat keberadaan Namra.
"Udah keluar dari tadi," jawab Hyoryung. Seingatnya, Namra justru selesai paling awal.
"Pulang bareng Nayeon," sahut Woojin.
"Gimana bisa?"
Tentu Suhyeok tidak mau percaya begitu saja.
"Gue lihat sendiri Nayeon ngikutin Namra."
Woojin tidak pernah meragukan penglihatan matanya. Ia tadi memang melihat Nayeon mengikuti Namra.
"Udah lama apa barusan?" tanya Suhyeok tergesa.
Ia bahkan tidak perlu menunggu jawaban Woojin untuk berlari menyusul Namra.
Tapi nihil, Suhyeok tidak menemukan Namra di manapun di sekolah. Juga keberadaan Nayeon dengan sweater pinknya yang mencolok itu.
Berarti benar, Namra pulang bersamanya. Suhyeok langsung khawatir mengingat sikap Nayeon ke Namra yang tidak bersahabat.
"Nyokap lo pasti kecewa kalau nilai lo turun, pasti marah besar kalau lo nggak ranking satu, apalagi kalau tau lo pacaran."
Sejak dari sekolah sampai masuk ke kompleks apartemen mereka, Nayeon terus mengoceh sambil mengikuti langkah Namra.
"Gimana kalau nyokap lo tau lo pacaran sama Suhyeok?" tanyanya.
Melihat Namra yang tidak bereaksi, tentu mulut usilnya makin menjadi.
"Reputasi Suhyeok di sekolah nggak begitu bagus, sementara lo murid teladan," sambung Nayeon lagi.
Diliriknya Namra dan tetap tak ada jawaban.
"Bisa-bisa lo disuruh putus. Atau nanti lo disuruh pindah sekolah."
Kali ini langkah Namra terhenti, ia menatap Nayeon tajam. Cukup sampai di sini ambang batas toleransinya.
"Gue nggak pernah ikut campur urusan orang lain. Tapi lo pasti nggak tau kan kalau istri sah bokap lo datang nemuin nyokap lo?" tanyanya.
Ketenangan Namra justru berbanding terbalik dengan gelisahnya Nayeon. Tentu ia tidak menyangka Namra tahu bahwa ibunya adalah seorang istri kedua dibalik kehidupan mewah mereka.
Seketika Nayeon kelu. Kenapa harus Namra yang tahu rahasia yang selama ini ingin ia kubur dalam-dalam.
"Gue nggak akan bilang siapa-siapa," yakin Namra. Ia menepuk pundak Nayeon yang tampak gemetar.
Setidaknya Namra masih punya hati nurani.