23 - Pengakuan Falila

9.7K 1.9K 188
                                    

Mendekati jam makan siang, Falila yakin kakak ipar dan mamanya sedang di dapur untuk ikut menyiapkan makan siang bersama ART—kegiatan yang kadang dilakukan para wanita saat berkumpul pada akhir minggu.

Dari ujung koridor yang mengarah ke ruang keluarga, Falila bisa melihat wajah antusias papanya saat memperhatikan sekaligus sesekali membantu sang cucu laki-laki yang sedang menyusun sebuah permainan puzzle. Kedua pria berbeda usia tersebut duduk lesehan di atas karpet.

Kakak sulung Falila duduk di atas sofa tidak jauh dari keduanya. Pria itu sedang bersandar pada punggung sofa sambil menepuk-nepuk pelan punggung batita perempuan yang berbaring nyaman di atas tubuhnya.

Masih di ujung koridor, Falila menghentikan langkah untuk mengamati seksama kedua pria dewasa di ruang keluarga. Membayangkan suasana nyaman di rumah besar tersebut akan segera berubah saat dia dengan berani memutuskan pulang bersama Haditya secara tiba-tiba.

Haditya yang sempat bingung mengapa Falila menghentikan langkah, menoleh untuk bertanya. Ketika wanita itu membalas tatapannya, dia melihat sorot waswas di sana. Tersenyum kecil, dia mencoba menenangkan, "Tenang aja, cuma saya yang akan diapa-apakan."

Falila langsung memalingkan wajah kembali ke depan. Merasa sia-sia sudah khawatir. Tanpa berpikir lagi, dia kembali melangkah menuju ruang keluarga.

"Raidan, tante kangeeen!"

Falila langsung mendatangi keponakan laki-lakinya yang tampak agak terkejut mendengar seruan sang tante. Anak berusia lima tahun tersebut tersenyum meski tampak sedikit risi ketika Falila duduk di dekatnya untuk memeluk dan menciumi pipinya dengan gemas.

"Rai udah gede, Tante," ucap Raidan, pelan dan terdengar sopan meski jelas sekali sedang protes.

"Heum, terus?" Falila pura-pura tidak paham sambil terus berusaha menciumi seluruh wajah mungil Raidan yang masih berada dalam pelukan.

"Jangan cium." Semakin pelan, Raidan kembali menyuarakan protes. Bocah itu tampak mulai berusaha melepas pelukan Falila karena ingin kembali fokus pada puzzle yang sedang coba dia selesaikan.

Falila tertawa kecil karena gemas, kembali mencuri satu kecupan di pipi Raidan sebelum berniat untuk beralih kepada keponakannya yang lain.

Saat Falila berpaling, dia tersadar kalau suasana tegang mulai terasa di sana. Dia melihat Haditya baru saja selesai bersalaman dengan Rama sebelum beralih mendekati Jared yang terang-terangan menatap tajam ke arah pria itu sembari berjabat tangan.

Falila juga bisa melihat sorot terkejut dan bingung di pantauan mata papa dan kakaknya, meski didominasi ketidaksukaan. Keduanya tidak mengeluarkan suara. Hanya mata yang menunjukkan secara gamblang respons mereka atas keberadaan Haditya di sana.

Berdeham pelan, Falila berdiri untuk mengambil Naraya dari dekapan Jared. "Raya sama tante aja, yuk," bujuk Falila kepada batita cantik yang langsung mau menyambut gendongannya.

"Silakan duduk, Mas," ajak Falila kepada Haditya yang masih sangat tenang dengan senyum tipis, tanpa peduli kalau dia sedang dipelototi pemilik rumah.

Dari ekor mata, Falila menyadari gerak cepat kepala Jared ketika tadi dia memanggil Haditya dengan sebutan mas. Kali ini, Falila yang mendapat delikan tajam dari kakaknya.

Menahan dengkusan, Falila mencoba santai agar dapat berakting senatural mungkin. "Pa, Mas Red, udah nggak perlu aku kenalin lagi kan sama Mas Haditya?"

Sekarang bukan hanya Jared yang menyorot ke arah Falila, tapi juga Rama yang mengernyit dengan raut tidak suka.

"Tadi ketemu di depan, ya?" tanya Rama, menolak kenyataan yang sedang coba dipaparkan putrinya. Dia lebih dulu duduk di sofa, lalu kemudian disusul Haditya. "Mau ketemu Biru, kan? Panggilkan adekmu, sana," pinta Rama, terdengar memerintah.

FALILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang