18 - Menghubungi Falila

10.9K 2.5K 275
                                    

Falila tidak berharap pesannya segera direspons, karena akun tersebut memang sedang tidak aktif. Aktivitas terakhir terbaca sembilan jam yang lalu.

Sebenarnya pada kotak pesan langsung tersebut sudah ada kiriman kontak telepon yang sepertinya sekaligus nomor WhatsApp, tapi Falila enggan menghubungi melalui lajur tersebut. Egonya melarang.

Cukuplah DM Instagram saja sebagai pancingan. Tidak perlu terlalu mengumbar kalau dirinya yang sedang membutuhkan bantuan.

Kalau orang itu masih menganggap Falila sebagai sosok yang diharapkan, maka pastilah Falila tidak akan mendapatkan pengabaian.

Kepercayaan diri yang dapat dibuktikan dengan mudah. Karena besok paginya, ketika baru saja bangun tidur dan memeriksa ponsel, Falila menemukan beberapa notifikasi yang salah satunya adalah balasan dari pesan yang dia kirim tadi malam.

Falila?

Falila mengernyit. Itu sajakah?

Awalnya rasa kesal mulai muncul, tapi langsung menciut ketika keburu membuka notifikasi di aplikasi lain. Sebuah pesan pada kontak WhatsApp dari nomor tidak dikenal.

Falila, ini Haditya
Saya telepon kamu
Tolong diangkat

Falila yang tadinya masih asyik bergelung dalam selimut, langsung bangkit untuk duduk sambil memeriksa beberapa panggilan masuk yang terabaikan akibat kebiasaannya mengatur ponsel dalam mode diam ketika pergi tidur.

Pesan WhatsApp dan dua panggilan tak terjawab tersebut masuk ke ponselnya sekitar pukul lima pagi. Tentu saja saat itu Falila masih terlelap.

Sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Akibat keasyikan membaca novel hingga larut, membuat Falila bangun kesiangan dan lupa menyalakan alarm.

Tunggu, Haditya memiliki nomor kontaknya. Dapat dari mana pria itu? Falila berani bertaruh, Kabiru tidak mungkin mau memberikannya.

Falila berpikir sejenak, menimbang, sebelum memutuskan membalas pesan Haditya dengan kata yang sama seperti tadi malam.

Mas?

Beberapa detik, pesannya langsung dibaca. Tidak lama, panggilan masuk dari nomor yang sama.

Falila menunggu sejenak, memberi jeda sambil menghela napas panjang, sebelum menerima panggilan.

"Halo?" sapanya lebih dulu, pelan.

"Falila?"

Suara berat khas pria terdengar menyahut. Falila sedikit mengernyit, mencoba mengingat suara Haditya yang pernah mengajaknya berbicara beberapa kali.

"Ini saya, Haditya." Sepertinya pria itu tidak ingin Falila meragu atas siapa yang sedang menghubunginya.

"Iya, Mas."

Terdengar embusan napas panjang yang terkesan lega dari seberang saluran. "Saya coba telepon kamu tadi subuh."

"Masih tidur, Mas," sahut Falila, entah kenapa merasa malu sendiri. Falila langsung menyesal beberapa detik setelahnya. Padahal tidak usah dijawab juga tidak apa-apa.

"Ini baru bangun, ya?"

"Hm." Falila meninggalkan tempat tidur untuk mengambil tumbler di nakas. Bergerak hati-hati tanpa menimbulkan suara, lalu segera meminum air putih di dalam tumbler. Berharap suara pasca bangun tidurnya dapat tersamarkan.

"Berarti belum subuhan, dong?"

Gerak Falila terhenti. Untung saja air sudah ada di mulutnya, meski dia harus menelan dengan gerak pelan. Sangat tidak melegakan.

Falila tidak menyahut. Dia kembali naik ke atas kasur. Duduk dengan menyandarkan punggungnya di kepala tempat tidur.

Sepertinya Haditya tersadar kalau telah salah langkah dalam memulai perbincangan. Pria itu juga terdengar diam selama beberapa waktu.

Memang Falila yang sedang punya urusan, tapi dia menolak untuk mengalah. Haditya adalah pria dewasa. Pastilah mengerti maksudnya. Itupun kalau memang pria itu lebih cerdas dibanding Kabiru. Semoga saja.

Terdengar dehaman dari saluran Haditya, sebelum pria itu bersuara dengan nada tenang yang terkesan berhati-hati. "Apa ada yang mau Falila sampaikan?"

"Menurut, Mas?"

Tolol! Falila spontan menggigit bibir bawahnya, menahan umpatan verbal. Dia kumat. Telanjur tidak dapat menahan diri di depan orang yang menginginkannya.

Terdengar kekehan pelan dari Haditya. Tampaknya pria itu menganggap lucu sahutan Falila.

"Falila mau saya datang ke sana?" tawar Haditya langsung, meski sebenarnya dia sedang menawarkan keinginannya sendiri.

Falila diam. Berusaha tidak lagi gegabah dalam berucap. Mereka bahkan belum bertemu. Jangan sampai dia mempermalukan dirinya sendiri.

Kalau Haditya masih menggunakan pemikirannya terdahulu, maka diamnya Falila pastilah dapat dia artikan tanpa perlu ada salah paham.

"Saya maunya ke Falila sekarang, tapi nggak bisa. Hari ini ada kerjaan yang nggak bisa saya wakilkan apalagi ditinggalkan."

"Saya harus ke Jogja hari ini," sahut Falila, menginfokan rencananya yang akan berangkat meninggalkan Jakarta nanti siang.

Mereka kembali saling diam selama beberapa waktu.

"Mau ketemu di sana?"

Falila mengulum senyum tanpa sadar. Lumayanlah. Ternyata Haditya memang jauh lebih cerdas dibanding adiknya.

"Boleh," sahutnya pelan, berusaha tidak menunjukkan keantusiasan. Benar-benar cewek sialan. Falila menahan rasa geli sambil mengumpati diri sendiri.

"Paling cepat, nanti malam saya berangkat. Falila mau menunggu?"

Falila mengangguk. Setelah tersadar Haditya tidak dapat melihatnya, dia kembali menjawab dengan nada sok biasa, "Oke."

Falila kembali diam. Menunggu apa lagi yang mau disampaikan Haditya.

Tolol atau bagaimana sebenarnya dia ini? Falila benar-benar merutuki dirinya sendiri. Sekarang malah dia yang menaruh ekspektasi tinggi atas panggilan telepon Haditya saat ini.

"Sebenarnya saat ini saya sedang senang sekali. Falila mau saya hubungi. Bahkan saya nggak bisa memikirkan harus sarapan apa pagi ini, karena menunggu Falila menerima telepon dari saya."

"Ya?" tanya Falila, refleks. Dia yang tadinya sedang sibuk mengejek dirinya sendiri, langsung terperangah mendengar perkataan Haditya yang seperti gombalan, tapi sudah pasti bukan begitu maksudnya.

Paling tidak Falila mampu mengenali kejujuran Haditya saat ini. Terlebih pria itu berucap dengan nada tenang seperti biasanya yang sangat tidak romantis.

"Banyak sekali pertanyaan yang ingin saya tahu jawabannya dari Falila. Tapi akan saya tahan sampai kita ketemu langsung. Tunggu saya, ya."

Falila termangu. Harus menyahut apa dia? Pagi-pagi sudah dibuat seperti ini oleh pria yang pernah dia abaikan sekian waktu. Bahkan untuk sekadar bersikap cuek dan sok dingin seperti biasanya, tidak mampu Falila lakukan dengan baik.

"Falila?"

Falila tersadar dari pikirannya. Panggilan Haditya yang ingin memastikan keberadannya, membuat Falila bersegera menetralkan diri.

"Iya, Mas?” sahut Falila, kembali berlagak santai.

"Tunggu saya, ya,” pinta Haditya lagi, menyuarakan kekhawatiran sekaligus pengharapannya.

Kali ini, Falila telah mampu mengendalikan diri dengan baik. Dia juga dengan sadar tersenyum simpul ketika mendengar permintaan Haditya yang diucapkan pria itu berkali-kali sejak tadi.

"Iya, saya tunggu."

[30.10.2020]

FALILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang