Cukup lama waktu yang dibutuhkan Falila untuk menuntaskan tangisannya. Orang-orang di sekitar bahkan sudah mulai tidak ambil pusing, walau sebelumnya mereka sangat penasaran dan tampak menunggu apakah akan ada perkelahian atau sebagainya.
Falila menerima sodoran tisu kecil dari Raisa, mencoba mengeringkan wajahnya dari sisa air mata.
"Mau ke toilet dulu?" tawar Raisa.
Falila bercermin pada layar ponsel. "Nggak, deh. Biarin aja," ucapnya, merasa tidak begitu peduli dengan wajahnya, toh tadi dia tidak mengenakan dandanan penuh.
"Maaf, ya. Gue nggak tahan," lirih Falila, seperti ingin kembali menangis, tapi ditahannya.
Raisa tersenyum kecut. Prihatin, tapi membiarkan saja.
Setelah menarik napas panjang dan mencoba berpikir tenang, Falila kembali menatap Raisa dengan tatap permohonan. "Maafin gue, ya," ujarnya, lagi dan lagi, seakan tidak puas.
Raisa membuang napas kasar setelah mendengar lagi permintaan maaf Falila. "Iya, La," ujarnya, tanpa ragu. Tidak juga ingin terlalu banyak berkata-kata manis. Yang penting dia sudah memaafkan wanita itu dengan tulus dari hati terdalamnya.
Falila tersenyum sendu. Mencoba tidak berharap terlalu banyak, meski dia masih ingin kembali mendengar Raisa menerima permintaan maafnya. Tapi, cukuplah untuk saat ini.
Bagusnya, Raisa sudah tidak lagi memberinya tatapan dingin seperti awal pertemuan mereka. Meski begitu, Falila menyadari kalau Raisa masih membatasi diri terhadapnya.
"Tapi, gue serius minta sama lo buat nggak ngulangin lagi. Apalagi sama orang yang sama."
Falila mengangguk dalam dan cepat. "Pasti! Nggak mau gue jadi keledai tolol yang ngulangin kesalahan yang sama."
Falila melihat Raisa menatapnya serius, seakan meragukan perkataannya. "Serius, Rai. Nggak bakal gue ngulangin begitu lagi,"ujarnya, mencoba menyakinkan.
"Yakin?"
"Iya." Falila mengernyit bingung dengan tatapan curiga Raisa. Masih segitu burukkah dirinya di mata Raisa? tanyanya dalam hati, lalu mulai kembali mengutuk diri sendiri atas kelakuannya di masa lalu.
Sejenak Raisa masih memperhatikan kesungguhan Falila, sebelum mengambil ponsel di dalam tasnya. Dia tampak menggunakan ponsel beberapa waktu, lalu meletakkan ponsel tersebut di atas meja, tepat di depan Falila.
"Ini gue bukanya pakai akun IG punya Edo. Dia saling follow sama Ervin," ujar Raisa, memberi sinyal kepada Falila agar memperhatikan layar ponselnya.
"Feed terakhir Ervin itu foto lo. Sebenarnya bukan urusan gue, sih. Cuma karena tadi lo bilang lo nggak mau jadi keledai tolol, gue jadi pengin tau aja, kenapa foto itu malah kayak berkebalikan sama yang lo bilang?"
Falila masih mengernyit bingung. Dia mengambil ponsel Raisa untuk melihat lebih dekat apa yang dimaksud Raisa.
Sebuah postingan Instagram dari akun dengan nama yang sudah pasti milik Ervin. Memuat gambar seorang perempuan yang sedang menyajikan makanan di meja makan. Memang hanya tubuh bagian belakang, tapi untuk orang-orang yang pernah dekat dengan Falila pasti bisa mengenali kalau itu dirinya, termasuk Raisa.
Apalagi caption yang dicantumkan Ervin sangat mengindikasikan diri Falila. Hanya dua kata, sweet purple. Bagi yang mengenal Falila dan hubungan mereka di masa lalu, pasti ingat kalau ungu adalah warna dasar dari Lila, namanya.
"Gue tahu itu lo," ujar Raisa, memberi tahu kalau dia tidak mungin salah mengenali Falila. "Kayaknya itu baru beberapa hari yang lalu. Sempat kaget gue, ternyata lo masih berhubungan sama dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
FALILA
RandomLET YOU HEAL ME. Falila. Panggilan kecil, Lila. Pengkhayal yang pernah terluka. Satu-satunya anak perempuan dalam keluarga Ersa yang terbiasa menerima perlindungan dari seluruh keluarganya. Lila yang sedang berusaha menyembuhkan diri, tiba-tiba diin...