02 - Pesona Falila

24.1K 2.7K 87
                                    

Beberapa jam sebelumnya

Haditya tersenyum ketika melihat sosok yang ditunggunya telah memasuki pintu restoran. Tangannya melambai untuk memberitahu keberadaannya.

Dia masih tersenyum, tapi sedikit mengernyit ketika mendapati orang yang ditunggunya tersebut tidak datang sendirian. Ada seorang wanita yang mengekorinya, balas tersenyum kepada Haditya ketika mereka sudah dalam jarak dekat.

"Sori Mas, telat. Gara-gara nungguin nih orang dandan, ribet banget." Kabiru menyambut uluran tangan Haditya yang berdiri untuk menyaliminya. Haditya juga menyempatkan diri merangkul kilat dan bahkan menepuk ringan bahu Kabiru, menunjukkan kalau dia senang mereka bisa bertemu setelah sekian lama.

"Nggak pa-pa. Santai aja." Haditya berpaling ke arah wanita muda yang datang bersama Kabiru. Diulurkannya tangan untuk turut menyapa wanita itu yang langsung merespons baik sapaannya.

"Falila, kan?" tanya Haditya, ingin meyakinkan ingatannya atas sosok wanita cantik berambut lurus sepunggung tersebut.

Mereka pernah bertemu sekali, sudah lama. Waktu itu Haditya dan Kabiru janjian pulang bersama ke Indonesia saat liburan kuliah. Falila yang bertugas menjemput Kabiru di bandara. Saat itulah mereka bertemu dan sempat berkenalan secara singkat, tapi tidak pernah benar-benar berbicara langsung karena Kabiru yang memperkenalkan mereka berdua.

"Iya, Mas. Kirain udah lupa," ujar Falila, kakak perempuan Kabiru yang baru saja diajak Haditya bersalaman.

Haditya spontan kembali tersenyum ketika mendengar nada canda Falila. Dia mempersilakan kedua kakak-beradik tersebut duduk. "Gimana kabar lo, Bi?" tanya Haditya, menatap penuh minat kepada Kabiru yang merupakan adik tingkatnya selama kuliah.

"Baik, Mas. Capek sih, sebenarnya. Nggak enak ternyata nyari duit sendiri. Nggak bisa santai kayak dulu."

Haditya terkekeh pelan mendengar Kabiru ketika mengeluh. "Selamat datang di dunia orang dewasa, Bi. Nikmatin aja prosesnya. Entar juga terbiasa."

Seorang pelayan datang menyela pembicaraan mereka, menawarkan menu untuk Kabiru dan Falila yang baru datang. Keduanya hanya memesan minuman dan camilan, karena berkata sudah sempat makan bersama keluarga besar di rumah.

"Mas gimana? Di Medan terus, nih? Nggak ada rencana mutasi ke Jakarta?" Kabiru balik bertanya kepada Haditya.

"Kabar sih baik. Sehat selalu. Kalau mutasi, tergantung atasan gimana maunya. Gue ngalur aja." Haditya berucap santai. Atasan yang dimaksud adalah papanya sendiri.

"Eh, sori, Mas, nggak pa-pa kan dia ikut bentar?" tanya Kabiru, tiba-tiba teringat keberadaan Falila di sebelahnya. "Udah niat gue tinggal, tapi tetap maksa nebeng. Mau ketemuan sama temannya juga, katanya," lanjutnya, bertingkah seakan Falila tidak berada di sana.

Lagi-lagi Haditya tersenyum, santai. "Nggak pa-pa, Bi. Biar rame. Soalnya Wira sama Rafael nggak jadi datang."

"Loh?!" Kabiru cepat mengecek ponsel yang selama di jalan tadi memang tidak diperhatikannya. "Wah! Sialan Wira, nih. Tadi bilangnya otw."

"Maklumin aja, pengantin baru. Mana mau dia malam minggu gini ninggalin istri."

Kabiru mendengkus saja mendengar pembelaan Haditya. "Bang Rafa gimana? Jangan-jangan masih di Makassar?"

Haditya mengangguk. "Kerjaannya molor, jadi baru bisa balik ke Jakarta malam ini. Ketemu besok siang aja katanya, sebelum gue berangkat."

"Susah banget mau ngumpul," gumam Kabiru, sedikit kecewa karena tidak bisa berkumpul dengan para teman seperjuangannya selama kuliah.

FALILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang