Jakarta, 2014
Ini adalah pertemuan kedua mereka. Tadi pun ketika bersalaman, rasanya biasa saja untuk Falila. Harusnya itu juga yang dirasakan pria berperawakan tinggi di depannya ini.
Bahkan selama mereka berada di dalam bioskop, posisi mereka terpisah oleh keberadaan adik lelaki Falila yang duduk di antara keduanya. Falila juga terlalu fokus menonton, hingga tidak terlalu mempedulikan keberadaan pria tersebut yang berstatus sebagai senior adiknya saat kuliah.
Jadi bagaimana bisa pembicaraan sensitif ini harus terjadi? Apa sebabnya hingga pria itu mempunyai ide bertanya dan mengajukan tawaran paling drama yang bisa dicerna oleh otak drama Falila?
"Jadi benar Falila belum punya pacar, kan?"
Falila tidak lagi menjawab, karena tadi dia memang sudah mengatakan statusnya. Kekagetannya juga sudah mulai luntur, tergantikan rasa penuh selidik atas maksud yang coba disampaikan oleh pria itu.
Pria berkarakter kalem tersebut tersenyum tipis melihat respons waspada Falila. "Saya cuma pengin kenal lebih dekat. Semoga diizinkan."
Falila semakin waspada. Tidak sekali dia menghadapi pria dengan gelagat dan maksud yang sama. Dia tidak tersanjung. Ketakutannya masih sangat mempengaruhi, hingga membuatnya tidak ada waktu untuk merasa hebat hanya karena mudah menarik perhatian para pria. Apalagi yang model frontal seperti di depannya ini.
"Atau saya harus ngomong ke Biru dulu buat izin?" tanya pria itu lagi, ingin memastikan apa yang harus dilakukannya agar bisa memulai dengan benar.
Mendengar nama adiknya disebut, Falila spontan menggeleng. Bukan untuk menjawab pertanyaan barusan. Tapi karena Falila langsung teringat dengan kelakuan barbar Kabiru dulu, ketika mengetahui Falila bermasalah dengan seorang cowok di masa remaja mereka.
"Oh, maaf. Maksud saya, ke papa Falila," lanjut pria itu, teringat hal paling penting yang harus dilakukannya kalau ingin mendekati Falila. "Nggak pa-pa, saya bersedia kalau memang harus ke papa Falila dulu."
Biru! Mana Biru?!
Falila mundur selangkah sambil menoleh ke arah pintu toilet pria di ujung koridor untuk mencari keberadaan Kabiru. Adiknya itu harus membantunya keluar dari situasi tidak nyaman ini.
Falila mulai berlagak tidak mendengar perkataan terakhir pria itu. Dia masih menunggu Kabiru dan langsung mengembuskan napas lega, ketika akhirnya mendapati Kabiru keluar dari pintu toilet dan berjalan ke arah di mana Falila menunggu.
"Kenapa lo? Kebelet juga?" tanya Kabiru ketika mereka sudah berhadapan. Dia agak heran melihat raut agak tegang Falila. Masalahnya Kabiru hafal kebiasaan Falila yang enggan buang air besar di tempat umum. Harus di tempat privat dan kadang berlebihan dengan memilih tempat eksklusif.
"Enggak!" sanggah Falila, langsung kesal mendengar pertanyaan tidak berfilter dari adiknya. Lancang sekali bertanya seperti itu kepada seorang wanita, bahkan di depan orang lain. Benar-benar membuat malu saja.
"Lah, terus?"
"Nggak, Bi." Pria yang tadi diabaikan Falila, mencoba mengambil alih. "Tadi gue—"
"Mas Haditya ngajakin makan lagi. Tapi penginnya makan steak. Gue kan nggak makan berat begitu lagi jam segini," potong Falila, berdusta senatural mungkin di depan Kabiru.
Kabiru sempat mengernyit. Tapi memang dasarnya pria itu kurang pandai membaca situasi, alhasil dia malah mendengkus karena kalimat terakhir Falila.
"Ya lo nggak usah ikut makan, biar kita aja. Gue juga laper lagi, Mas," ujar Kabiru kepada pria bernama Haditya yang tadi ucapannya dipotong oleh Falila. "Seingat gue, di lantai dua ada restoran steak yang recommended. Mau coba?"
Haditya mengangguk, langsung setuju dengan Kabiru yang mulai berjalan lebih dulu untuk meninggalkan bioskop. Pria itu kembali tersenyum tipis, menoleh kepada Falila yang tampak bernapas lega di tempatnya berdiri.
"Oke, nggak boleh ke Biru dulu ya? Berarti langsung ke papa Falila, kan?" tanya Haditya dengan tatapan ingin memastikan. Dia serius, tidak bercanda.
Falila mengerjap, tersadar kalau Haditya menganggap pembicaraan sebelumnya belum berakhir. "Mas, nggak... Maksudnya—"
"Kalau nggak boleh dua-duanya, jadi gimana?" ujar Haditya, berucap pelan sembari mulai berjalan dan mengkode Falila agar mengikutinya. Kabiru tampak menoleh ke belakang untuk mencari keberadaan mereka. Terpaksa Falila mengekor sambil berusaha menetralkan raut wajah sebaik mungkin.
Falila tidak menjawab pertanyaan Haditya, bahkan hingga mereka duduk bersama di satu meja restoran, bahkan juga ketika akhirnya mereka berpisah di pintu keluar mall yang menuju parkiran mobil.
Falila berusaha biasa saja. Sesantai Haditya yang bersikap seakan tidak pernah mengajaknya untuk mulai berteman dekat.
Jadi harusnya urusan mereka sudah selesai sampai di sini. Pengabaian Falila mestinya menjadi jawaban jelas untuk Haditya.
Tapi ternyata tidak begitu. Karena ketika baru saja mobil yang dikendarai Kabiru keluar dari area parkiran, Falila dibuat mengernyit saat menerima pesan langsung di akun Instagramnya. Berasal dari akun yang baru beberapa detik lalu mengikuti akunnya, bernama hadityarasyid.
Isi pesan hanya berisi satu kata. Bukan kata sapaan, tapi berupa nama. Falila...
Mudah saja bagi Falila mengartikan isi pesan tersebut, bahwa ternyata Haditya sama sekali tidak menggubris penolakan yang sudah dilakukan Falila secara terang-terangan.
TBC
[13.11.2019]
Jared 2005: Let You Handle Me
(Jared 22 tahun. Falila 17 tahun. Kabiru 16 tahun)Falila 2014: Let You Heal Me
(Falila 26 tahun. Kabiru 25 tahun. Jared 31 tahun)Kabiru 2019: Let You Love Me
(Kabiru 30 tahun. Falila 31 tahun. Jared 36 tahun)IG : yantyahya
KAMU SEDANG MEMBACA
FALILA
RandomLET YOU HEAL ME. Falila. Panggilan kecil, Lila. Pengkhayal yang pernah terluka. Satu-satunya anak perempuan dalam keluarga Ersa yang terbiasa menerima perlindungan dari seluruh keluarganya. Lila yang sedang berusaha menyembuhkan diri, tiba-tiba diin...