Falila masih berada di kamarnya meski hari sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Hari Minggu membuat seluruh keluarga bebas menikmati hari libur mereka dengan cara masing-masing, selama tidak ada acara keluarga.
Keluarga kakak sulungnya sudah datang pada hari Sabtu, jadi hari ini rumah terbebas dari kericuhan para keponakan yang biasanya menjadi pusat perhatian semua penghuni rumah.
Falila bahkan yakin Kabiru masih bergelung di tempat tidur. Orang tuanya juga mungkin masih bersantai di kamar atau duduk-duduk di teras rumah setelah jogging berduaan di sekitar perumahan.
Falila sedang sibuk bekerja di depan laptop, mengedit naskah milik seorang penulis baru yang akan menerbitkan novel di penerbit indie yang dikelolanya bersama salah seorang sepupu. Dia dan sepupunya memang belum lama memulai usaha penerbitan kecil mereka, tanpa mengandalkan nama belakang keluarga ataupun modal bantuan orang tua. Memang terdengar sok karena seakan sengaja menyulitkan diri, tapi mereka masih sangat menikmati prosesnya. Toh orang tua mereka juga mendukung dan tidak mencereweti, selama keduanya senang dengan pekerjaan mereka.
Telinganya yang tertutup headset membuat Falila semakin sibuk dengan pekerjaan, tanpa tahu bahwa suasana di luar kamar ternyata tidak seperti biasanya. Meski begitu, dia masih bisa mendengar ketika pintu kamarnya di ketuk. Panggilan nyaring mamanya membuat Falila segera meninggalkan pekerjaan untuk membukakan pintu.
"Kenapa, Ma?"
Falila heran melihat Amelia, mamanya, tiba-tiba mendatangi kamarnya. Biasanya kalau tidak begitu penting, wanita itu hanya akan meminta salah satu asisten rumah tangga untuk memanggil anak-anaknya. Namun, kali ini Amelia sendiri yang mengetuk pintu kamar Falila, maka pastilah ada sesuatu yang harus disampaikan secara langsung.
"Udah mandi?" tanya Amelia, mengabaikan pertanyaan anaknya. Senyumnya langsung muncul ketika melihat Falila mengangguk.
"Ada tamu di bawah. Papa mau kamu juga ikut nemuin."
"Siapa?" Falila semakin merasa heran, tapi tetap membiarkan sang mama mendorongnya pelan menuju ruangan pakaian miliknya. Dia memang hanya mengenakan celana pendek dengan jaket hoodie. Sudah pasti dianggap tidak layak menemui tamu di rumah orang tuanya.
"Nggak tahu juga. Mungkin kamu yang kenal, makanya Papa minta kamu turun," jawab Amelia, terdengar sekali mengada-ada.
"Siapa sih, Ma?" tanya Falila lagi, semakin penasaran. Meski begitu, pikirannya sudah melesat ke mana-mana. "Jangan bilang orang yang mau dijodohin lagi sama Lila?!"
Amelia menggeleng tegas, tapi tetap tidak ingin menjelaskan. "Udah, ganti baju aja dulu. Biar bisa langsung lihat orangnya."
Wajar saja Falila langsung terpikir tentang perjodohan. Karena memang sudah sering Rama, papa Falila, mendapat ajakan dari koleganya untuk saling menjodohkan anak. Terutama yang ditujukan untuk Falila.
Sudah banyak pria datang kepada Rama untuk meminta izin sekadar mendekati Falila atau terang-terangan melamar. Namun, sejauh ini belum ada yang berhasil, karena Rama sendiri masih sangat enggan melepas putrinya.
Falila pun sudah menegaskan kepada orang tuanya, kalau dia menolak perjodohan dengan siapa pun. Tidak juga berkeinginan menjalin kisah romansa dalam waktu dekat. Rama senang dengan keputusan Falila, hingga punya alasan kuat untuk menolak semua pria yang berniat mempersunting atau mendekati putri kesayangannya.
"Duh, Papa nih, ya. Udah dibilangin jangan mau lagi ngeladenin yang begituan. Lila nggak mau!" tolak Falila, langsung tidak lagi berminat berganti pakaian.
"Papa juga nggak mau lagi main jodoh-jodohin anak, apalagi khusus kamu," ujar Amelia, tersenyum geli mengingat sikap protektif suaminya terhadap sang putri. Padahal dulu anak sulung mereka menikah karena perjodohan, tapi sekarang Falila malah mendapat perlakuan yang berbeda.
"Temuin aja dulu. Nanti kamu lihat sendiri siapa tamunya. Papa sama Mama aja bingung, orangnya datang tiba-tiba. Mana katanya nggak bisa lama-lama, jadinya makin bingung."
Falila semakin heran, tapi mendengar sanggahan Amelia membuatnya penasaran dengan tamu tersebut. Akhirnya dia bergegas berganti pakaian agar bisa segera menemui sang tamu, sebelum kembali menemui Amelia yang setia menunggunya di sofa kamar.
"Bukan tamu penting Papa, kan? Aku malas dandan, lho. Mau pakai beginian aja," ujar Falila sambil menunjukkan pakaian santai yang dikenakannya.
Dia hanya mengenakan kaos putih polos berlengan pendek yang dimasukkan ke dalam rok span panjang di bawah lutut. Simpel dan sederhana, tapi siapa pun dapat dengan mudah melihat berada di level mana outfit yang dia kenakan, berdasarkan merek yang digunakan.
"Gak pa-pa, princess mama selalu cantik, kok," puji Amelia, tersenyum sayang.
Meski tidak berdandan, tapi pastilah Falila tidak melewatkan rangkaian perawatan wajah yang sudah menjadi rutinitas kebanyakan wanita. Wajah segar dan natural tanpa make up, membuat Amelia tidak bisa menahan rasa bangga telah melahirkan Falila sebagai putri satu-satunya dalam keluarga Ersa.
Bahasa lainnya, Falila sangat cantik di mata Amelia. Meski begitu dia juga menyakini bahwa orang lain akan satu pemikiran dengannya.
Falila menyengir mendengar pujian bernada canda mamanya, tapi dia tetap bergerak cepat ke meja rias untuk mengambil pewarna bibir agar wajahnya terlihat semakin segar.
Setelah urusan penampilan selesai, keduanya langsung keluar kamar. Amelia yang biasanya lumayan cerewet saat bersamanya, lebih banyak diam selama perjalanan menuju ruang tamu. Wanita itu tampak sedang larut dalam pikiran, membuat Falila semakin penasaran. Karena pastilah sikap aneh mamanya disebabkan kehadiran tamu yang sudah menunggu mereka saat ini.
Ketika sampai di ruang tamu, Falila lebih dulu menatap Rama yang membalas tatapannya sambil tersenyum sayang. Dia sudah akan mendekati sang papa, tapi langsung mengernyit kaget melihat keikutsertaan Kabiru di ruangan tersebut.
Tumben sekali adik bungsunya itu mau repot menyambut tamu, apalagi di pagi hari libur begini. Pastilah butuh usaha keras bagi mamanya membujuk Kabiru untuk mandi pagi dan bergabung di ruang tamu.
Namun, kekagetan Falila tadi tidak ada apa-apanya dibandingkan ketika dia sudah dapat mengenali siapa tamu yang duduk berhadapan dengan papanya.
Langkah Falila terhenti. Dia mematung menatap pria yang sedang balas menatapnya dengan sorot mata tenang dan senyum tipis di bibirnya.
"Duduk dulu, Sayang."
Sapaan Amelia membuyarkan kekagetan Falila. Dengan agak kaku, dia kembali melangkah untuk duduk di samping Rama, tempat teraman baginya.
Amelia ikut serta duduk di samping Falila, mengapit sang putri di antara dirinya dan Rama.
Sejenak, tidak ada yang berbicara. Kabiru dan orang tuanya memilih untuk memperhatikan interaksi kedua tokoh utama dalam pertemuan pagi ini. Terutama Kabiru yang tidak bisa mengendalikan tatapan curiga dan keberatan atas situasi saat ini. Kalau Rama, karena sudah sering menghadapinya, jadi dia masih bisa tenang dan berusaha bijak terutama di depan anak-anaknya.
Haditya Rasyid, tamu tidak diundang yang sempat mengagetkan hampir seluruh penghuni rumah keluarga Ersa, merasa tahu diri. Dia memutuskan untuk lebih dulu memecah keheningan pasca kehadiran Falila di ruangan tersebut.
"Selamat pagi, Falila," sapa Haditya sambil terus menatap Falila dengan senyum teduh khas dirinya. "Senang bisa ketemu Falila lagi pagi ini."
Falila duduk dengan gestur semakin kaku. Dia yang tadi sempat kaget atas kehadiran Haditya, sekarang sudah menatap tajam ke arah pria itu.
Sinting! Haditya benar-benar mengusik hari liburnya. Sudah ditolak Falila terang-terangan, masih saja nekat mengambil tindakan dengan mendatangi rumahnya. Bahkan menemui orang tuanya dan juga Kabiru yang pasti akan berubah cerewet setelah ini.
[29.06.2020]
KAMU SEDANG MEMBACA
FALILA
RandomLET YOU HEAL ME. Falila. Panggilan kecil, Lila. Pengkhayal yang pernah terluka. Satu-satunya anak perempuan dalam keluarga Ersa yang terbiasa menerima perlindungan dari seluruh keluarganya. Lila yang sedang berusaha menyembuhkan diri, tiba-tiba diin...