2.3 ; The Wedding Debt

10.1K 1.3K 18
                                    

Tidak ada cuti bagi Tulip meski dirinya kehilangan orangtuanya semalam. Tulip bingung harus bersikap bagaimana karena kekecewaannya melimpah pada Mananta dan Cahya yang kini sudah tiada dan meninggalkan hutang tiba-tiba.

Jika saja orangtuanya masih hidup, Tulip akan tetap berada dalam dua pilihan. Bersedia membayar atau menyewa pengacara untuk membiarkan orangtuanya bertanggung jawab atas hutang-hutang yang mereka punya. Namun, mengingat ekonominya yang serba terhimpit, menyewa pengacara hanya akan melukai isi rekeningnya saja.

"Tulipa Dewi Atalanta!" seruan nama Tulip terdengar dari ujung ruangan.

"Iya, Pak." Tulip berdiri dan menatap kepala divisinya dengan tak nyaman.

"Kamu ada masalah apa sama perusahaan?" tanya Mekael yang terlihat mengetatkan rahang.

Apa secepat ini namanya tercoreng? Baru semalam Tulip mengurus pemakaman, lalu sekarang dia akan dipermalukan karena hutang yang ditinggalkan?

"Maaf, Pak? Maksudnya apa, ya?"

Mekael berdecak dengan kertas yang digulung-gulung sebagai sasaran.

"Ke ruangan pimpinan sekarang juga. Saya nggak tahu kamu punya masalah apa, tapi jangan mencoreng divisi saya!"

Rupanya Mekael tidak mengetahui apa-apa. Setidaknya belum ada yang mengetahui hal ini. Tulip bisa sedikit bernapas lega.

"Pimpinan ...?"

"Pemilik sekaligus pimpinan perusahaan ini!"

Semua orang tahu jika sudah membawa status pemilik, maka pimpinan yang dimaksud adalah Agungsyah Wibowo.

"Baik, Pak."

"Cepetan!"

"Iya, Pak."

Dunia kerja memang tidak menyenangkan. Tak ada teman yang benar-benar bisa dipercaya dan tak ada pimpinan yang benar-benar mampu menyayangi anak buah selamanya. Jika bukan karena butuh, Tulip pasti enggan berada di lingkaran tak menyenangkan yang dinamakan pekerjaan.

Melangkah cepat menuju lift khusus untuk naik ke lantai paling atas, Tulip mengira-ngira apa yang akan Agungsyah inginkan sebagai pembayaran paling cepat untuk hutang yang ada.

Saat sampai, Tulip hanya melihat bodyguard yang ternyata memimpin langkah di depan. Rupanya Tulip sudah ditunggu.

"Masuk."

Tulip mengangguk pada perintah bodyguard yang memimpin arah tadi.  Pandangan pertama yang ditemukannya adalah Agungsyah yang menonton acara berita di televisi langganan yang tidak murah.

"Oh, sudah datang." Pria itu mematikan televisinya. "Silakan duduk. Saya ingin membicarakan hutang orangtua kamu yang menggunakan namamu di perusahaan ini."

"Pak, saya nggak bisa membayar hutang orangtua saya langsung sebesar ini." Tulip langsung mengatakan ketidaksanggupannya untuk membayar dalam satu kali tempo.

"Oh, saya tahu itu. Hutang 500 juta bukan uang kecil. Saya hanya bisa memberikan satu pilihan pembayaran yang harus kamu lakukan untuk memenuhi hutang."

Tulip tidak dapat mundur dengan semua tuntutan pria itu, Agungsyah. Ada hutang yang harus dilunasi dan ada pembayaran yang harus dilakukan oleh Tulip.

"Saya tahu, Pak. Tapi uang—" 

"Saya nggak meminta kamu untuk melunasinya dengan uang, Tulip."

Perempuan itu tidak bisa menahan rasa terkejutnya. Jika bukan dengan uang ... "Lalu, dengan apa, Pak?"

Agungsyah memberikan kertas resmi. Kesempatan lebih untuk mengembangkan ini sebagai kesepakatan yang ideal.

"Kamu harus membuat Hippomenes menikahimu. Buat dia jatuh cinta padamu. Dengan begitu hutang orangtuamu akan lunas."

"Pak Agung ... bagaimana semua ini mungkin saya lakukan? Saya tidak mengerti caranya."

Agung memberikan senyuman pada Tulip. "Kamu harus menjebak Hippomenes, membuat kamu hamil, lalu putra saya akan menikahimu. Dia tidak akan lari dari tanggung jawab."

Agungsyah tidak sabaran sama sekali saat ini. Pria itu memberikan penjabaran yang menurut Tulip terlalu berlebihan. Tulip jelas tahu bahwa Hippomenes tidak akan lari dari tanggung jawab karena selama ini selalu tercetak jelas dari gaya bekerja Hippomenes di sana. Namun, Tulip yang tak siap menjebak atasannya sendiri dengan cara licik semacam itu. Sayangnya jika ia menolak, maka hutang orangtuanya tidak akan pernah lunas bahkan hingga Tulip pensiun bekerja nanti.

"Bagaimana, Tulip?"

Bagaimana? Tulip tidak tahu jawabannya, karena sekarang pikirannya sangat buntu.

"Apa saya boleh memikirkannya, Pak?"

Agungsyah menyeringai dan memberikan jawaban yang tidak menjadi jalan keluar bagi Tulip. "Sayangnya tidak, Tulip. Lakukan atau kamu akan menanggung risikonya."

Ini bukan pilihan, ini adalah perintah.

*

Keluar dari ruangan Agungsyah—orang paling berkuasa di SYAH CORP dengan banyak kejutan—semua lorong tampak sepi. Tulipa Dewi Atalanta sekejap saja merasa dunianya kacau karena kedua orangtuanya yang membuat ulah dan hilang begitu saja. Harusnya, sekarang masih menjadi masa berkabung bagi Tulip, bukan? Namun, keadaan memaksanya untuk sadar bahwa menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Tulip bahkan bingung antara sedih atau ingin marah kepada kedua orangtuanya yang memilih mengakhiri hidup bersama tanpa mempertanggung jawabkan tindakan mereka. 

Jika bukan karena kedua orangtuanya, Tulip tidak akan ada di posisi ini. Posisi layaknya terjun ke jurang paling dalam.

"Begitu kamu keluar dari ruangan ini, kamu akan dipindah tugaskan menjadi sekretaris Hippomenes, anak saya. Jangan bertanya mengenai alasannya, dan jangan berpikir bisa mundur. Penentuan adalah urusan saya. Sekarang, tanda tangani kertas itu dan hutang orangtua kamu lunas saat saya menyatakan demikian."

Intinya, Tulip harus mengikuti semua titah Agungsyah. Meski dipecut bagai kerbau, Tulip tidak bisa melakukan apa-apa. Tulip bukan pihak berkuasa dan dihimpit tekanan sana sini saja. Ya, ini sudah seperti takdirnya.

"Kamu sekretaris Pak Hippomenes yang baru, kan?" Lamunan Tulip buyar seketika. Perasaan tadi nggak ada orang.

"Be—benar."

"Mari ikut saya. Tugas kamu yang baru sudah menanti."

Tugas baru sudah menanti. Semoga Tulip tetap baik-baik saja dengan semua tugas baru ini.

The Wedding Debt / TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang